tirto.id - Pemerintah tetap mengizinkan ekspor mineral bagi perusahaan yang tak mencapai target pembangunan fisik fasilitas pemurnian atau smelter. Ketentuan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri ESDM 46/2021 dan Surat Edaran Dirjen Minerba No. 1/2021.
Dua aturan itu merelaksasi ketentuan dalam Pasal 51 Permen ESDM No. 17/2020. Menurut beleid itu, ekspor hanya diizinkan jika perusahaan telah memenuhi target pembangunan fisik yang sudah diverifikasi. Lewat peraturan ini diharapkan pengusaha berupaya keras merealisasikan pembangunan smelternya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif beralasan relaksasi ditetapkan karena banyak perusahaan tambang babak belur terdampak pandemi COVID-19, yang membuat keterlambatan kali ini bisa dimengerti. Salah satunya Freeport yang proses pembangunan smelternya baru mencapai 6 persen alias di bawah target 10 persen di 2020.
Dalam rapat Komisi VII DPR RI, Senin (22/3/2021), Arifin menyatakan, “kalau tidak diberikan izin ekspor, akan memberikan dampak kepada penerimaan negara dan dampak sosial terhadap karyawan Freeport.”
Meski direlaksasi, pemerintah tetap akan mengenakan sanksi denda atau penalti 20 persen dari pendapatan tahun berjalan. Relaksasi ini juga terbatas bagi 7 jenis mineral saja, tidak berlaku, misalnya, bagi nikel. Relaksasi juga hanya diberikan secara terbatas yaitu satu tahun.
Kementerian ESDM menegaskan bahwa relaksasi ini tidak memengaruhi target penyelesaian masing-masing perusahaan.
Alasan lain relaksasi adalah kenaikan harga komoditas di pasar internasional, misalnya tembaga. Ekspor tentu akan menghasilkan keuntungan yang signifikan dan sayang untuk dilewatkan.
Masalahnya, menurut Pakar Hukum Pertambangan dan Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara Ahmad Redi, relaksasi ini juga mendatangkan banyak masalah. Yang paling jelas adalah pemerintah tampak semakin tidak konsisten pada kebijakan hilirisasi. Relaksasi terus berulang sejak 2009.
“Pemerintah semakin konsisten untuk tak konsisten. Berkali-kali relaksasi saja terus,” ucap Ahmad kepada reporter Tirto, Selasa (23/3/2021).
Relaksasi terus-menerus ini menurutnya juga bertentangan dengan amanat konstitusi. Kewajiban hilirisasi juga sudah diatur dalam Pasal 102, 103, dan 170 UU 4/2009 tentang Minerba, diperkuat Pasal 170A UU 4/2020 tentang revisi UU Minerba, dan Putusan Mahkamah Konstitusi 10/2014.
Ahmad khawatir relaksasi ini hanya akan membuat program hilirisasi semakin berjalan lamban. Sebab setiap dilakukan relaksasi, target pembangunan smelter urung tercapai dan selalu diikuti dengan relaksasi-relaksasi berikutnya.
“Sudah 12 tahun kewajiban [pembangunan smelter] dimulai tapi gara-gara tidak konsisten ya tidak jalan,” ucap Ahmad.
Selama 12 tahun terakhir, pemerintah sudah menunda sedikitnya 3 kali dari selesai 2014 menjadi 2017, lalu 2022, dan 2023. Setiap penundaan itu selalu disertai dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) yang intinya membolehkan lagi ekspor.
Belakangan realisasi smelter pun menjadi lamban. Per 2012 saja hanya ada 3 smelter yang terealisasi sejak 2009. Jumlah ini hanya bertambah menjadi 17 per 2019 padahal totalnya pemerintah ingin membangun 68.
Menurut Ahmad, kebijakan yang berubah-ubah bakal membuat pelaku usaha menganggap enteng pemerintah dan kebijakannya. Para pengusaha, katanya, akan berpikir, “nanti juga akan dibuka lagi kok ekspornya.”
Jumlah perusahaan yang belum selesai membangun smelter cukup banyak. Data Kementerian ESDM, per November 2019 hanya ada 6 smelter non nikel yang sudah selesai 100 persen. Sebanyak 5 smelter non nikel di kisaran 40 persen atau lebih dan ada 15 smelter non nikel prosesnya masih di bawah 40 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan plinplan ini berbahaya bagi iklim investasi dan kepastian berusaha. Konsekuensinya, investor bisa enggan datang.
Tauhid beralasan relaksasi ini sedikit banyak bakal memengaruhi cadangan mineral yang ada di Indonesia. Pengurangan yang terjadi di tahun 2021 tentu akan memengaruhi perhitungan keekonomian di masa mendatang. Di sisi lain, relaksasi ini juga bakal mementahkan upaya perusahaan yang sudah serius mencapai target pembangunan fisik apalagi yang sudah selesai konstruksi.
“Besok direlaksasi, besok diperketat. Investor akan lihat tidak ada kepastian buat mereka,” ucap Tauhid kepada reporter Tirto, Selasa.
Kebijakan plinplan ini menurutnya juga punya konsekuensi melemahkan Indonesia dalam menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO yang memprotes larangan ekspor nikel. Menurut Tauhid, pernyataan pemerintah yang ingin memprioritaskan hilirisasi dan mengolah sendiri bahan baku di dalam negeri justru terbantahkan lewat relaksasi ekspor mineral baru-baru ini.
“Ini kontraproduktif di tengah upaya kita menghadapi gugatan Uni Eropa. Jadi membuka kemungkinan diri kita untuk kalah,” ucapnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino