tirto.id - Kesehatan indra pendengaran merupakan hal penting yang harus diperhatikan orang tua pada anaknya. Jika anak mengalami gangguan pendengaran, kemampuan bahasa dan berbicaranya pun akan terhambat.
Akibatnya, anak akan mengalami hambatan untuk berkembang secara optimal dan kesulitan untuk tumbuh seperti anak-anak pada umumnya.
Data yang dikutip dari Jurnal Medicina pada 2019 menunjukkan bahwa persentase gangguan pendengaran secara umum pada balita berada di angka 3-4%, sedangkan gangguan pendengaran saraf terjadi pada 1 dari 1000-2000 anak.
Dampak negatif gangguan perkembangan berefek pada kemampuan anak menyerap bahasa, adaptasi personal-sosial, kurangnya kemampuan akademik, serta hambatan kognitif dan emosional.
Oleh karena itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan orang tua untuk melakukan skrining pendengaran anak sejak dini.
Tes skrining ini dapat dilakukan pada bayi baru lahir, balita, atau yang sudah menginjak usia lebih dari empat tahun, tergantung dari alat tes yang digunakan.
Skrining pendengaran menjadi lebih urgen lagi, terutama jika diketahui bahwa terdapat riwayat keluarga yang mengalami gangguan pendengaran sebelumnya, adanya infeksi janin dalam kandungan, gangguan sindrom Down, berat lahir di bawah 1500 gram, atau jika ibu menggunakan obat-obatan yang bersifat toksik ke saraf pendengaran.
Selain itu, sebenarnya skrining pendengaran pada bayi hanya menunjukkan ada atau tidaknya respons terhadap rangsangan atau suara, dan tidak mengukur beratnya gangguan pendengaran ataupun membedakan jenis tuli, baik itu tuli konduktif atau tuli saraf.
Apa saja jenis skrining yang dapat dijalani anak? Laman Kid's Health menuliskan beberapa jenis skrining yang biasa digunakan dokter untuk mengukur gangguan pendengaran anak sebagai berikut:
1. Tes respons batang otak auditorius atau auditory brainstem response (ABR)
Untuk tes ini, penyuara telinga ditempatkan di saluran telinga dan elektroda kecil ditempatkan di belakang telinga dan di dahi.
Biasanya, akan ada suara “klik”, dikirimkan melalui penyuara telinga, dan elektroda mengukur respons saraf pendengaran anak terhadap suara tersebut.
Bayi di bawah usia 6 bulan dapat tidur selama tes, tetapi bayi yang lebih tua mungkin memerlukan obat penenang untuk tes ini. Tes ABR tergolong sederhana dan dilakukan dalam durasi singkat
2. Tes respons kondisi tunak auditori atau auditory steady state response (ASSR)
Skrining ini mirip dengan ABR, meskipun bayi biasanya perlu tidur atau dibius untuk tes ASSR.
Pada skrining ini, suara dimasukkan ke saluran telinga, dan komputer menangkap respons otak terhadap suara tersebut, kemudian secara otomatis memutuskan apakah anak mengalami gangguan pendengaran ringan, sedang, atau berat.
3. Uji emisi otoakustik atau otoacoustic emissions (OAE)
Tes OAE ini dapat dilakukan pada bayi yang sedang tidur atau anak yang duduk tenang.
Caranya, sebuah probe kecil ditempatkan di saluran telinga, kemudian beberapa suara berdenyut ditransmisikan, dan probe merekam respons "gema" dari sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Rekaman ini direkam melalui data oleh sistem komputer.
Menurut IDAI, rumah sakit biasanya menggunakan ABR atau OAE untuk men-skrining bayi baru lahir. Jika bayi gagal dalam pemeriksaan, tes biasanya diulang. Jika skrining gagal lagi, bayi direkomendasikan ke audiolog untuk evaluasi pendengaran lengkap.
4. Tes potensi membangkitkan pendengaran sentral atau central auditory evoked potential (CAEP)
Tes ini mirip dengan ABR, dan menggunakan penyuara telinga dan elektroda kecil sebagai alat skriningnya.
Tes CAEP ini memungkinkan audiolog untuk melihat apakah jalur dari batang otak ke korteks pendengaran bekerja dengan baik.
Audiolog dapat merekomendasikan tes CAEP untuk beberapa jenis gangguan pendengaran tertentu. Tes ini dapat dilakukan pada semua usia, mulai dari bayi baru lahir hingga anak-anak.
5. Tes refleks otot telinga tengah atau middle ear muscle reflex (MEMR)
Skrining MEMR atau juga disebut tes refleks akustik ini menguji seberapa baik telinga merespons suara keras dengan membangkitkan refleks. Pada telinga yang sehat, refleks ini membantu melindungi telinga dari suara keras.
Pada tes MEMR, ujung karet lembut ditempatkan di lubang telinga. Kemudian, serangkaian suara keras dikirimkan ke telinga, dan mesin tes merekam apakah suara tersebut memicu refleks.
Jika anak diketahui mengalami gangguan pendengaran, terdapat dua opsi yang dapat dilakukan.
Pertama, beberapa jenis perawatan medis dan operasi dapat menyembuhkan gangguan pendengaran. Orang tua harus merujuknya ke dokter spesialis ahli untuk perawatan medis atau operasi gangguan pendengaran ini.
Kedua, menggunakan alat bantu dengar untuk mengatasi gangguan pendengaran sensorineural. Jenis gangguan pendengaran yang paling umum biasanya melibatkan sel-sel rambut luar yang tidak berfungsi dengan baik.
Alat bantu dengar dapat membantu mengeluarkan suara lebih keras untuk mengatasi masalah pendengaran ini.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno