Menuju konten utama

Bahaya di Balik Rahasia Pesan Terenkripsi

Facebook telah secara resmi mengumumkan layanan enkripsi pada aplikasi pesan instan milik mereka, mengikuti  teknologi yang kini hampir lazim ditemukan di seluruh aplikasi pesan instan yang beredar. Hal ini menegaskan, bahwa privasi telah menjadi kebutuhan netizen di dunia maya, di tengah kekhawatiran seputar bahayanya.

Bahaya di Balik Rahasia Pesan Terenkripsi
Demo mendukung penolakan Apple menerapkan layanan enkripsi untuk FBI. Pada kasus ini, FBI ingin mengakses ponsel pria bersenjata yang terlibat dalam pembunuhan 14 orang di San Bernardino, Amerika serikat, Antara Foto/Reuters/Lucy Nicholson

tirto.id - Dengan 900 juta pengguna per bulan, layanan pesan milik Facebook, Messenger, tentunya jelas menjadi penanda bahwa teknologi enkripsi akan menjadi bagian keseharian kehidupan netizen saat ini. Messenger akan bergabung dengan saudara tirinya yang juga bernaung di bawah Facebook, WhatsApp, yang telah lebih dahulu menerapkan teknologi enkripsi pada platform mereka awal tahun ini.

Sebagai catatan, berdasarkan data dari We Are Social, WhatsApp serta Messenger merupakan dua aplikasi pesan instan yang paling banyak digunakan di dunia. Apabila Messenger memiliki 900 juta pengguna, WhatsApp dilaporkan memiliki satu miliar pengguna.

Melalui laman resminya, Facebook melabeli fitur enkripsi dalam Messenger dengan istilah “Secret Conversation.” Raksasa teknologi itu mengatakan, fitur tersebut saat ini masih dalam tahap percobaan terbatas, tetapi akan diluncurkan dalam rentang waktu tahun ini.

“Kami akan membuat opsi [Secret Conversation] terbuka untuk khalayak yang lebih luas pada musim panas ini,” tegas Facebook dalam keterangan resminya.

Dari segi tingkat keamanan, Facebook mengatakan bahwa teknologi enkripsi mereka akan menggunakan Protokol miliki aplikasi pesan Signal yang dikembangkan oleh Open Whisper Systems. Protokol Signal sendiri sudah banyak digunakan oleh aplikasi pesan instan dan sudah terbukti keamanannya.

"Signal sudah teruji dengan baik dan mereka yang mengembangkannyacukup dihormati dalam komunitas kriptografi," kata ahli keamanan digital dari Surrey University, Professor Alan Woodward, seperti dikutip dari BBC.

Namun, tidak seperti WhatsApp yang menawarkan enkripsi end-to-end (hanya pengguna dan pengirim pesan yang memiliki akses terhadap isi pesan yang dikirimkan) secara default –yang artinya pengguna tidak dapat memilih layanan tanpa enkripsi pada aplikasi itu, Messenger memberikan opsi pada pengguna untuk memilih pesan mana yang ia kirimkan melalui enkripsi dan mana yang tidak.

"Memulai sebuah secret conversation dengan seseorang adalah opsional," jelas perusahaan tersebut.

"Hal ini karena banyak orang ingin Messenger bekerja ketika Anda beralih di antara perangkat, seperti tablet, komputer desktop maupun ponsel. Secret Conversation hanya dapat dibaca pada satu perangkat dan kita mengakui pengalaman itu mungkin tidak cocok bagi semua orang."

Bagi beberapa pengamat, langkah yang dilakukan Facebook itu merupakan upaya untuk menjejakkan kaki pada dua dunia. Pertama, adalah dunia bisnis teknologi, di mana jika mereka tidak menerapkan layanan enkripsi mereka akan tertinggal dari kompetitornya.

Kedua, dunia hukum, di mana negara-negara di dunia telah mendesak para raksasa teknologi untuk meniadakan layanan enkripsi, atau paling tidak, menyediakan jalan belakang (backdoor) bagi mereka untuk menembus protokol keamanan yang ada demi kepentingan-kepentingan "tertentu."

Kontroversi Layanan Enkripsi

Adalah Apple yang pertama kali menerapkan layanan enkripsi end-to-end dalam layanan pesan instan. Mereka menerapkannya pada aplikasi iMessage pada tahun 2011. Namun, pada saat itu pengguna layanan internet masih belum terlalu menaruh perhatian mereka pada masalah privasi.

Pada tahun 2013, mantan kontraktor National Security Agency (NSA) Edward Snowden membongkar praktik gelap bisnis perusahaan-perusahaan teknologi dan pemerintah Amerika Serikat. Keduanya menjalin kerja sama dengan mempermudah akses pemerintah terhadap data pengguna jasa dari perusahaan-perusahaan tersebut. Google, Microsoft dan Yahoo adalah segelintir nama besar yang disebut oleh Snowden.

Peristiwa itu kemudian menjadi titik tolak masyarakat sadar bahwa privasi mereka di internet adalah hal yang sangat penting. Ini pula yang menjadi titik tolak makin maraknya pengembangan layanan enkripsi di aplikasi pesan. Dari momen itu, aplikasi pesan serupa iMessage yang menggunakan layanan enkripsi mulai mendapatkan popularitasnya.

Salah satu aplikasi dengan layanan enkripsi yang populer adalah Telegram. Dirilis pada tahun 2013, Telegram dibuat dengan latar belakang keprihatinan sang penemu aplikasi tersebut, Pavel Durov, terhadap privasi pengguna layanan internet di Rusia, sebab pemerintah Negeri Beruang Merah itu mengawasi dengan ketat segala informasi yang beredar di dunia maya.

Namun demikian, maraknya penggunaan layanan tersebut tidaklah tanpa kontroversi. Serangan teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pada awal tahun ini di Eropa telah menjadi bukti nyata akan sisi gelap dari penerapan teknologi enkripsi pada aplikasi pesan instan.

Sesaat setelah serangan bom pada Bandara Zaventem dan stasiun Metro dekat markas Uni Eropa di Belgia, ISIS mengirimkan serangkaian pesan di saluran Telegram kepada "Saudara-saudara di Belgia," yang intinya meminta agar mereka berhati-hati dan menjauh dari internet, kecuali yang menggunakan enkripsi.

"Menjauh dari internet kecuali menggunakan software enkripsi seperti (Tor Network – i2P Network – VPN)."

"Menjauhlah dari situs media sosial, jangan membagi informasi apapun dengan saudara Anda sekarang. Tetap low profile hingga situasi mereda." Demikian bunyi rangkaian pesan tersebut.

ISIS dikabarkan mulai menggunakan Telegram sebagai sarana berkomunikasi dan propaganda sejak September 2015, setelah Telegram meluncurkan fitur "channel" (saluran) yang memungkinkan pengguna menyebarluaskan pesannya kepada pengguna tanpa jumlah yang terbatas.

Baru-baru ini, The Independent bahkan melaporkan jika ISIS menggunakan WhatsApp dan Telegram untuk menjual budak seks mereka.

"Kami mengutuk tidak adanya aksi dari situs media sosial seperti Telegram, Facebook, Twitter dan Whatsapp, yang memungkinkan terjadinya perdagangan perempuan dan anak-anak Yazidi," kata Ahmed Burjus, direktur Yazdan di Inggris, sebuah organisasi yang dibentuk untuk mendukung komunitas Yazidi pasca tragedi genosida tahun 2014, kepada media tersebut.

Pertarungan Enkripsi

Dengan adanya ancaman teroris, paranoia pemerintah dunia akan enkripsi menjadi beralasan. Mereka menggunakan alasan keamanan negara untuk menekan penggunaan enkripsi, dan di Amerika Serikat – tempat di mana raksasa-raksasa teknologi memiliki markas besar – proses tersebut telah berlangsung cukup lama.

Salah satu upaya yang paling tampak adalah dalam kasus penembakan di San Bernardino yang terjadi pada akhir tahun 2015, di mana Federal Bureau of Investigation (FBI) menggugat Apple Inc. dalam persidangan untuk membongkar enkripsi dalam iPhone milik salah satu pelaku penembakan, Syed Farook.

FBI terus mendesak Apple untuk menyediakan backdoor yang dapat digunakan untuk meretas iPhone tersebut.

Apple bersikukuh menolak melakukannya dan akhirnya FBI memutuskan untuk menarik gugatan mereka di pengadilan, setelah meminta bantuan hacker untuk meretas iPhone tersebut.

Sementara itu, Durov mendukung langkah Apple tersebut. Kepada CNN, Ia menegaskan bahwa "solusi terlalu sederhana" yang disarankan oleh FBI untuk memblokir akses ke aplikasi dan memungkinkan pemerintah untuk meretas jalur komunikasi yang aman bukanlah jawabannya.

Sang Mark Zuckerberg dari Rusia tersebut mengatakan bahwa teknologi pesan terenkripsi tidak dapat tebang pilih. Yang dapat disediakan oleh pengembang adalah layanan pesan yang aman atau tidak sama sekali.

"Jika langkah seperti itu diimplementasikan, sebagian besar korespondensi kami, rahasia bisnis kami, data pribadi kami akan terdampak risiko. Sebab jika ada pintu belakang, tidak hanya pejabat pemerintah bisa menggunakannya, tapi secara teoritis penjahat termasuk teroris [bisa juga menggunakannya]," jelasnya.

Durov tidak tutup mata bahwa aplikasinya digunakan oleh teroris untuk berkomunikasi dan melakukan propaganda. Ia mengatakan bahwa Telegram telah berusaha mematikan saluran pada aplikasinya yang digunakan oleh ISIS. Hingga Februari lalu, ia mengatakan bahwa Telegram telah menutup lebih dari 660 saluran yang digunakan oleh ISIS.

"Setiap hari empat atau lima saluran dilaporkan oleh pengguna kami dan kami menutupnya," jelas Durov.

Ia juga meminta seluruh pihak untuk tidak mengkambing hitamkan teknologi enkripsi dalam kasus ini.

"Setiap kali kemajuan teknologi dibuat, hal itu selalu dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk," katanya, seperti dikutip dari CNN.

"Anda dapat membandingkannya dengan penemuan mesiu misalnya: Ketika rahasianya sudah terungkap, tidak masuk akal untuk memaksa pengguna lokal dari mesiu Anda untuk membuat mesiu Anda kurang efisien ketika pihak lain masih bisa menggunakannya dan menggunakannya dengan efisien.

"Hal yang sama berlaku untuk aplikasi pesan. Teroris akan selalu menemukan cara untuk berkomunikasi Mereka akan selalu menemukan solusi," kata Durov, sembari menegaskan bahwa sebagian besar dari 100 juta pengguna Telegram merupakan masyarakat umum.

Baca juga artikel terkait TELEGRAM atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti