tirto.id - Silang pendapat antara politikus pendukung Prabowo Subianto dan Joko Widodo semakin “garing” dan jauh dari substansi masalah. Misalnya, saat Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengkritik iklan Jokowi di bioskop, Ruhut Sitompul sebagai relawan Jokowi justru meresponsnya dengan sinis. Ia bahkan meminta Fadli untuk minum cairan pembasmi nyamuk Baygon.
Perdebatan lainnya yang dinilai tidak substansial adalah soal wacana debat capres menggunakan bahasa asing. Hal ini bermula saat Fadli Zon dan Ketua DPP PAN Yandri Susanto mengusulkan agar terdapat sesi Bahasa Inggris saat debat Pilpres 2019. Alasannya, karena pemimpin Indonesia akan banyak bergaul dengan pemimpin internasional sehingga mesti cakap berbahasa Inggris.
Sontak, wacana itu menuai respons kubu Jokowi-Ma'ruf Amin. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar bahkan menilai usulan debat Bahasa Inggris sebagai upaya untuk mendiskreditkan Jokowi. “Jangan dikira Pak Jokowi bahasa Inggris-nya jelek, enggak. Lumayan bagus juga,” kata pria yang akrab disapa Cak Imin ini, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (14/9/2018).
Menurut Imin, sesi Bahasa Inggris bukan hal penting dalam debat capres. Sebab, menurutnya, yang penting adalah penyampaian visi, misi, dan programnya. Imin pun berkelakar kalau memang kubu Prabowo-Sandiaga mau adu keren bahasa, sebaiknya ditambahkan adu Bahasa Arab. Menurut dia, banyak di kubu Jokowi yang mumpuni dalam bahasa itu, termasuk dirinya.
Perdebatan yang Tak Substansial
Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menilai, silang pendapat soal pentingnya bahasa asing dalam debat Pilpres 2019 sebagai wacana yang tidak substansial. Menurut dia, seharusnya para kandidat dan para tim suksesnya lebih bicara program kerja dan solusi-solusi yang ditawarkan terkait sejumlah masalah yang dihadapi negara ke depan.
“Pernyataan itu menunjukkan kualitas dari orang yang mengusulkan ide tersebut. Saya prihatin dengan usulan itu, karena kita ingin memilih kepala negara Indonesia. Seharusnya kita junjung Bahasa Indonesia,” kata Emrus kepada Tirto.
Menurut Emrus, sesi debat capres-cawapres itu digelar agar rakyat memahami visi, misi serta program para kandidat. Ia menilai, penggunaan bahasa asing dalam debat pilpres akan sulit dipahami oleh seluruh masyarakat, karena banyak calon pemilih yang lebih mengerti Bahasa Indonesia, ketimbang bahasa lainnya.
“Sesi debat untuk [kepentingan] rakyat sebelum mereka menentukan pilihan,” kata Emrus.
Yang lebih tepat, kata Emrus, kandidat semestinya fokus bicara perihal program dan gagasan yang dimiliki masing-masing.
Selain itu, Emrus menambahkan, penggunaan Bahasa Inggris maupun Arab juga harus sesuai konteks. “Jika dalam konteks debat untuk menjadi Sekjen PBB [Perserikatan Bangsa-Bangsa] atau Kedubes Indonesia, penggunaan Bahasa Inggris sudah tepat,” kata dia.
Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan mengaku, lembaganya akan mendengar semua usulan dari peserta pemilu untuk format debat kandidat, termasuk soal bahasa yang akan digunakan. Namun, Viryan mengingatkan harus ada kajian mendalam sebelum menentukan ragam bahasa yang digunakan di acara debat kandidat.
“Sabar, kami selesaikan satu dulu tahapan, baru masuk tahapan berikutnya. Tentu [akan libatkan tim kandidat dalam menentukan format debat]” kata Viryan di kantornya, Jumat (14/9/2018).
Menurut Viryan, selama ini belum ada debat kandidat Pilpres yang menggunakan bahasa asing. Alasannya, penonton debat kandidat adalah rakyat Indonesia yang mayoritas tidak menggunakan bahasa asing dalam keseharian.
“Pertanyaannya berapa persen dari seluruh masyarakat yang memahami selain bahasa Indonesia? Coba cari data berapa masyarakat Indonesia yang mengerti bahasa lain selain Bahasa Indonesia. Sementara kami harus melayani seluruh lapisan masyarakat,” kata Viryan.
Bagaimana sikap resmi tim kampanye Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga?
Ketua DPP PKS Bidang Politik, Pipin Sopian mengatakan di internal kubu Prabowo-Sandiaga belum ada kesepakatan soal penggunaan Bahasa Inggris dalam debat.
“Koalisi belum ada kesepakatan, itu baru usulan pribadi dari PAN. Setiap calon capres-cawapres dapat memperlihatkan kemampuan, tapi perlu dikaji ulang [debat menggunakan bahasa asing]” kata Pipin.
Namun demikian, Pipin menyatakan tidak menjadi persoalan bila nantinya KPU mengadakan debat menggunakan bahasa asing, baik Inggris maupun Arab. Namun, sebaiknya KPU mendengarkan usulan banyak pihak sebelum memutuskan soal bahasa apa yang akan digunakan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni mengatakan acara formal kenegaraan wajib menggunakan Bahasa Indonesia. “Debat yang diselenggarakan oleh KPU itu merupakan acara formal kenegaraan, tidak mungkin pakai bahasa lain,” kata Raja Juli.
Raja Juli menilai KPU akan melanggar konstitusi bila terbukti mengizinkan debat menggunakan bahasa asing. Pada Pasal 32 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan menyebutkan Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.
“Kalaupun iya [menggunakan bahasa asing], Pak Jokowi seorang pebisnis, bisnisnya ekspor-impor, ia terbiasa bernegosiasi. Di forum internasional juga terbukti, dunia mengapresiasi pidatonya. Tidak ada masalah [menggunakan bahasa asing]” kata Raja Juli.
Selain itu, kata Raja Juli penggunaan Bahasa Indonesia dalam debat, penting bagi masyarakat. Sebab rakyat sedang ‘menggali’ para calon capres-cawapres. Raja Juli menegaskan tidak ada urgensinya soal debat menggunakan bahasa asing.
“Apa sisi objektif dari debat? Rakyat sedang menginvestigasi para calon, bagaimana rekam jejak presiden kita. Masyarakat yang tidak bisa berbahasa Inggris, ingin memahami apa yang disampaikan oleh pemimpin,” kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz