Menuju konten utama

Bagaimana Perusahaan Mengkriminalisasi Reviewer demi Rating Bagus

Seorang Youtuber pengulas pelayanan maskapai penerbangan dilaporkan ke polisi setelah mengkritik pelayanan penerbangan kelas bisnis Garuda Indonesia.

Bagaimana Perusahaan Mengkriminalisasi Reviewer demi Rating Bagus
Pekerja PT Aerofood Indonesia menyiapkan makanan untuk sejumlah maskapai penerbangan, di Tangerang, Banten, Rabu (30/11). PT Aerofood Indonesia yang memiliki sekitar 700 chef melayani sekitar 18 maskapai nasional dan internasional dengan kemampuan penyediaan makanan mencapai 35 ribu porsi/hari. ANTARA FOTO/Lucky R./ama/16

tirto.id - Rius Vernandes, seorang Youtuber yang kerap mengulas pelayanan maskapai penerbangan, harus berurusan dengan hukum ketika ia dan pasangannya menerima surat panggilan dari Kepolisian Resort Kota Bandara Soekarno Hatta pada Selasa (16/7).

Keduanya dipanggil bukan karena melakukan aksi pencurian atau membawa barang terlarang, tetapi karena unggahan Rius yang mengulas pelayanan penerbangan Garuda kelas bisnis relasi Sydney-Denpasar.

Salah satu unggahan Rius yang menunjukkan daftar menu makanan yang hanya ditulis di secarik kertas memo. “Menu yang dibagiin tadi di Business Class @garuda.indonesia tadi dari Sydney – Denpasar. ‘Menunya masih dalam proses percetakan pak 🤦‍♂️’ tulis Rius di Instastory-nya pada Sabtu (13/7) sambil terlihat foto secarik kertas menu masakan bertulis tangan.

Unggahan tersebut langsung viral di media sosial. Warganet pun langsung beramai-ramai mengeluarkan uneg-uneg terkait pelayanan Garuda Indonesia.

Akun Twitter Garuda Indonesia pada Minggu (14/7) membalas kicauan seorang warganet yang menunjukkan gambar tangkapan layar Instastory Rius. Garuda menjawab, "Dapat kami sampaikan bahwa ini bukan kartu menu untuk penumpang, melainkan catatan pribadi awak kabin yang tidak untuk disebarluaskan. Terima kasih."

Menanggapi keriuhan di dunia maya, Rius pada Minggu (14/7) mengunggah video blog (vlog) di Youtube berdurasi 21:08 menit yang isinya ulasan menaiki pesawat Garuda kelas bisnis rute Sydney–Denpasar sekaligus membantah keterangan Garuda Indonesia di Twitter.

Sambil menunjukkan video sebagai bukti, Rius mengaku bahwa para pramugari memang menyodorkan kartu menu bertulis tangan itu kepada para penumpang termasuk dirinya. Ia pun akhirnya dapat memaklumi keberadaan kartu menu yang tidak lazim itu ketika pramugari menjelaskan alasannya dengan sopan.

Dalam vlog tersebut, Rius juga menyoroti pelayanan Garuda kelas bisnis berisi 40 penumpang yang kehabisan stok wine ketika baru dua jam penerbangan pertama. Penumpang di kelas bisnis yang mayoritas asal Australia itu pun kecewa berat.

"Menu ditulis di kertas, kadang-kadang itu terjadi. Itu bisa dimengerti, itu tidak masalah. Itu bisa dimaafkan. Tapi kehabisan wine tidak bisa dimaafkan," ungkap dua warga Australia yang diwawancarai Rius. Meski begitu dua warga asing tersebut sangat memuji layanan Garuda Indonesia dari segi kenyamanan tempat duduk dan makanan yang disajikan.

Tampaknya konten ulasan Rius tersebut membikin berang pihak maskapai plat merah Garuda Indonesia. Sambil mengunggah foto berisi dua surat panggilan polisi di Instagram, Rius menjelaskan bahwa ia dan pasangannya dilaporkan atas dugaan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Rius merasa dirinya tidak melakukan tindakan pencemaran seperti yang dituduhkan.

"Gw harap kalian bisa bantu share dan support gw dalam masalah ini karena gw gak mau di masa depan ketika kita review sesuatu dengan apa adanya, ketika kita memberikan kritisi yang membangun, kita bisa di pidana," tulis Rius.

Selain menyeret Rius dan pacarnya ke kepolisian, Garuda Indonesia juga menerbitkan surat larangan mendokumentasikan kegiatan di pesawat bagi penumpang dan awak kabin pada 14 Juli 2019, tidak lama setelah kemunculan video ulasan dari Rius. Surat tersebut pun viral dan jadi pergunjingan warganet.

"Awak kabin harus menggunakan bahasa yang assertive dalam menyampaikan larangan kepada penumpang... kecuali sudah mendapat surat izin dari perusahaan," tulis poin kedua pada surat berlogo Garuda Indonesia yang diterima Tirto, Selasa (16/7/2019).

Pihak Garuda Indonesia melalui VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, M. Ikhsan Rosan beralasan, imbauan ini ditujukan agar penumpang menghormati privasi sesama penumpang dan awak kabin yang sedang bertugas.

Infografik Cara Perusahaan Membungkam Kritik

Infografik Cara Perusahaan Membungkam Kritik. tirto.id/Sabit

Anti-Kritik demi Rating Bagus

Perusahaan yang menuntut konsumen karena review yang buruk bukan hal baru.

Pada September 2017, di Kota Edmonton, Kanada, seorang pria bernama David Dube yang kesal dengan pelayanan TechPro Computer Solutions dan memutuskan untuk memberi bintang satu dari total lima bintang di Google. Dube mengatakan TechPro berjanji akan menghubunginya, namun ternyata tidak.

Tak terima, perusahaan menghubungi Dube dan memaksanya mengubah ulasannya di dunia maya. TechPro juga mengancam akan menuntut Dube sebesar $150.000 atas dasar tuduhan pencemaran nama baik.

Meski diancam, Dube tetap bersikeras menolak mengubah ulasannya itu. "Saya seharusnya tidak dihukum karena mengatakan yang sebenarnya," ujar Dube kepada CTV News. "Ini semua soal bagaimana Anda memperlakukan pelanggan Anda."

Di Kalamazoo, Michigan, Amerika Serikat, pada April 2010, sebuah perusahaan derek T&J Towing menuntut seorang mahasiswa bernama Justin Kurtz sebesar $750.000 atas tuduhan pencemaran nama baik, dilansir dari New York Times.

Perkaranya, mobil Kurtz yang terparkir di area parkir apartemen kena derek oleh perusahaan tersebut. Kurtz diminta membawa uang denda $118 jika hendak mengambil mobil. Kurtz yang merasa tidak melakukan kesalahan apapun meluapkan kemarahannya di sosial media dengan membuat halaman Facebook bertajuk "Warga Kalamazoo melawan T&J Towing". Tindakan itulah yang membikin perusahaan berang.

Nasib digugat perusahaan juga dialami oleh Yang Wen, seorang kritikus film di Cina. Pada Januari 2019 pengadilan di Distrik Chaoyang Beijing memutuskan Wen harus membayar denda sebesar 80.000 yuan atau senilai $11.800 sebagai ganti rugi pencemaran nama baik terhadap sebuah rumah produksi bernama Mahua FunAge.

Perusahaan swasta itu mempermasalahkan ulasan Wen terhadap film komedi mereka yang berjudul Goodbye Mr. Loser (2015). Wen menilai film tersebut menjiplak film Amerika tahun 1986 berjudul Peggy Sue Got Married. Dilansir dari Sixth Tone, Mahua FunAge tak terima dan menuduh Wen telah melakukan penyimpangan fakta serta penghinaan. Wen mendapat simpati publik yang menggalang dana untuk meringankan denda.

Di Indonesia satu dasawarsa lalu, Prita Mulyasari dituntut oleh sebuah rumah sakit karena curhatannya yang beredar di internet.

Pada 2008, ibu rumah tangga ini memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang, Banten. Merasa tak puas dengan pelayanan rumah sakit, Prita menulis keluh kesah di surel yang dikirimkan ke seorang teman dekat. Isi surel itu belakangan bocor di dunia maya. Pihak rumah pun sakit merasa tidak terima dengan ulasan Prita.

Kedua belah pihak sempat melakukan mediasi, akan tetapi menemui jalan buntu. Rumah sakit akhirnya melaporkan Prita ke kepolisian yang kemudian memprosesnya secara pidana.

Selama proses persidangan, Prita ditahan di Lapas Wanita Tangerang pada 2009 dan diwajibkan bayar denda tuntutan ratusan juta. Gerakan "Koin Untuk Prita" pun menggema. Para pegiatnya menggalang dana untuk melunasi denda yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan.

Kasus ini mendapat sorotan besar di jajaran politisi karena bertepatan dengan tahun pemilu. Pada 17 September 2012, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) Prita dan menganulir semua putusan pidana Pengadilan Negeri Tangerang. Prita dinyatakan bebas dari jerat hukum.

Perusahaan sangat paham bahwa satu ulasan negatif yang benar-benar buruk dapat meruntuhkan lima ulasan bagus di era digital. Bahkan ada perusahaan yang nekat memakai ulasan palsu (umum disebut "astroturfing"), untuk menaikkan reputasi. Tindakan tersebut sebenarnya rentan menyalahi hukum perlindungan konsumen karena informasi yang disampaikan tidak sesuai fakta.

Clay Calvert, pengajar Komunikasi Massa di University of Florida dalam esainya untuk The Conversation pada November 2015 mencatat, kadang beberapa perusahaan telah menyematkan sebuah klausul tersembunyi yang membatasi atau bahkan melarang konsumen mengkritik produk mereka. Klausul semacam ini biasanya sengaja ditulis dengan font berukuran kecil sehingga seringkali luput dari penglihatan konsumen.

Di Amerika Serikat, Kongres menyetujui diterbitkannya Consumer Review Freedom Act pada 2015 untuk melindungi ulasan konsumen dari tindakan kriminalisasi perusahaan. Undang-undang ini juga memperkuat Komisi Perdagangan Federal untuk menegakkan hukum ketika konsumen dirugikan oleh perusahaan. Namun, kekurangannya, aturan ini tidak mengakomodasi masalah ulasan palsu atau bayaran yang memuja-muji sebuah produk.

Baca juga artikel terkait PENGADUAN KONSUMEN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf