tirto.id - Sebagai negara yang pertama melakukan relaksasi pembatasan sosial sejak kemunculan pandemi COVID-19, ekonomi Cina sukses rebound pada Kuartal II/2020. PDB Negeri Panda sepanjang April-Juni 2020 tumbuh 3,2 persen. Rapor tersebut untuk sementara manjur menutup borok perekonomian Cina yang terkontraksi 6,8 persen pada Kuartal I/2020. Tapi bukan berarti tidak ada isu miring yang menyertai.
Ekonom menilai capaian PDB Cina tidak mencerminkan jaminan jangka panjang. Musababnya, kondisi tersebut tak diikuti dengan peningkatan konsumsi masyarakat.
Laporan Badan Statistik Cina menyebutkan penjualan sektor ritel pada Juni turun 1,8 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Padahal di saat bersamaan produksi meningkat 4,8 persen secara yoy. Jasa katering menjadi yang terpukul paling parah dengan penurunan penjualan yoy 15,2 persen.
Kepala Strategis Bank of Communications International Hong Hao menyimpulkan pertumbuhan ekonomi Cina lebih banyak dipicu peningkatan investasi infrastruktur oleh pemerintah. Beijing memang tengah getol menerbitkan obligasi guna membayar para pekerja proyek padat karya seperti pembangunan jalur kereta bawah tanah Dalian atau renovasi stasiun kereta di Xian.
Dari aspek peningkatan produksi pun, Hao memandang kondisi Cina lebih banyak dipantik iming-iming pemerintah memberikan pinjaman cepat kepada pengusaha dengan syarat tak mem-PHK karyawan. Bukan karena karena modal mereka dari hasil penjualan meningkat.
“Itu semua [PDB Kuartal II Cina] terjadi karena investasi pemerintah,” kata Hao kepada New York Times. “Konsumsi, aspek paling berkelanjutan dalam pertumbuhan ekonomi, masih tampak sangat lesu, sehingga pasar masih memandang ketahanan ekonomi Cina rentan.”
Bergeser ke belahan dunia lain, kendala rendahnya konsumsi masyarakat juga dialami Swedia.
Menempuh pendekatan esktrem ‘tanpa lockdown’ dengan tendensi herd-immunity, Swedia sebenarnya masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi 0,1 persen pada Kuartal I/2020. Namun seiring berjalannya waktu, perekonomian negeri kampung halaman Zlatan Ibrahimovic itu diprediksi bakal menurun.
Meski roda perekonomian nyaris tak terhambat, realitas menyiratkan bahwa warga Swedia tetap mengerem belanja mereka. Ketergantungan besar pada ekspor dan impor juga bikin nasib Swedia buram, sebab negara-negara lain masih melakukan penghematan.
“Seperti negara Skandinavia lain, Swedia memiliki perekonomian kecil, terbuka, dan sangat bergantung pada perdagangan internasional,” ujar ekonom BBC Maddy Savage. “Meski interaksi sosial lebih bebas, banyak orang Swedia tetap memilih menjauhi pusat perbelanjaan, restoran dan tempat fitness.”
Seolah-olah melengkapi berbagai polemik, Swedia juga dibebani lonjakan pengangguran. Tingkat pengangguran mereka pada Juli menyentuh 9 persen, naik drastis dari catatan 7,1 persen pada Maret. Statistik ini merupakan yang paling buruk di antara negara-negara Nordik.
Vaksin adalah Kunci
Cina dan Swedia memang terpisah jarak 6.375 kilometer. Namun, atas permasalahan pelik yang mereka alami, profesor Harvard University Carmen Reinhart menyebut kedua negara—dan tentunya negara-negara lain—punya satu jalan keluar yang sama: vaksin.
“Kita tidak akan mencapai kenormalan penuh—dalam hal apapun itu—kecuali dua hal telah tercapai; ditemukannya vaksin dan adanya akses [vaksin] kepada populasi global dalam skala besar,” kata Reinhart.
Alasan Reinhart berani mengutarakan argumen itu sederhana. Berbagai survei telah menunjukkan betapa masyarakat dari berbagai lapisan sama-sama punya kekhawatiran melakukan aktivitas luar ruang karena kasus penularan virus masih marak. Tanpa adanya kekebalan imun, menurutnya, ketakutan akan tetap menghantui.
“Dan bila itu [kekhawatiran publik] tak berakhir, pembatasan sosial dan penutupan bisnis tidak akan berhenti, dan artinya keseimbangan neraca perusahaan-perusahaan akan terganggu. Itu semua membuat krisis finansial mustahil diatasi, kecuali masalah kesehatan bisa dituntaskan lebih dulu.”
Laporan tengah tahun PBB yang dirilis pada 13 Mei 2020 menyebut tahun ini lebih dari 34,3 juta orang penduduk dunia diprediksi jatuh dalam kemiskinan ekstrem akibat COVID-19. Ekonomi global pada 2020 diproyeksi terkontraksi 3,2 persen dan kerugian global hingga 2 tahun ke depan ditaksir mencapai 8,5 triliun dolar AS.
Kepala Ekonom PBB Elliott Harris mengatakan pukulan telak itu sangat sulit dihindari. Sembari menanti vaksin ditemukan, yang bisa dilakukan setiap negara untuk meminimalisasi efek tersebut adalah berusaha responsif terhadap kebutuhan warganya.
“Kecepatan dan kemampuan pulih dari krisis bukan hanya bergantung pada efektivitas langkah kesehatan dalam memperlambat persebaran virus,” tutur Harris. “Tetapi, juga pada kemampuan negara-negara untuk melindungi pekerjaan dan pendapatan, terutama terhadap kalangan paling rentan di tengah masyarakat.
Masyarakat sebenarnya cenderung paham dengan vitalnya kehadiran vaksin. Setidaknya kecenderungan itu bisa dibaca dengan mudah dari kacamata pasar saham. Berita soal perkembangan pencarian vaksin, sekecil apapun itu, hampir tak pernah kehilangan pengaruh terhadap sentimen perusahaan-perusahaan farmasi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Tak usah jauh-jauh ke Amerika Serikat, Inggris, atau Rusia, fenomena itu juga tergambar di Indonesia. Misalnya menjelang akhir Juli 2020, ketika emiten perusahaan holding BUMN Farmasi Bio Farma (INAF) mengumumkan rencana impor 2.400 sampel vaksin asal perusahaan Cina Sanivac, saham mereka naik gila-gilaan. Dari 20 Juli ke 24 Juli 2020, saham INAF melonjak 133,04 persen dan berakhir pada posisi Rp2.610 per saham.
Tak lama berselang, ketika Bio Farma mengumumkan detail uji klinis vaksin Sanivac, kenaikan gila-gilaan itu berulang. Saking gregetannya, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat melakukan suspensi terhadap perdagangan saham INAF berikut anak usahanya sesama BUMN, PT Kimia Farma (KAEF), pada Kamis (7/8/2020).
Saat disuspensi, saham INAF berada di level harga Rp3.190 alias naik lebih dari 244 persen secara year to date (ytd).
“Penghentian sementara perdagangan saham INAF tersebut dilakukan di pasar reguler dan pasar tunai, dengan tujuan untuk memberikan waktu yang memadai bagi pelaku pasar untuk mempertimbangkan secara matang berdasarkan informasi yang ada dalam setiap pengambilan keputusan investasi saham INAF,” tulis Kepala Divisi Pengawasan Transaksi BEI Lidia M. Panjaitan dalam rilis pada Rabu (6/8/2020).
Analis Praus Capital Alfred Nainggolan memandang kenaikan saham emiten-emiten farmasi seperti Bio Farma (INAF), Kimia Farma (KAEF), atau Kalbe Farma (KLBF) kebanyakan dimulai dengan over-reaksi. Hal inilah yang kemudian membuat BEI akhirnya melakukan suspensi.
Kendati demikian, menurutnya, kenaikan yang dicatatkan perusahaan-perusahaan tersebut terbilang wajar. Dan bisa jadi fenomena ini akan terus berulang selama mereka melakukan upaya penemuan vaksin.
“Memang fenomena ini tidak bisa dihindarkan. Kenaikan saham perusahaan-perusahaan farmasi itu cukup menunjukkan gambaran betapa masyarakat saat ini menggantungkan harapan mereka pada vaksin,” kata Alfred kepada Tirto.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi daring Senin (10/8/2020) menyebut Bio Farma tidak cuma bekerja sama dengan Sanivac. Kerja sama juga dilakukan dengan Bill & Melinda Gates Foundation milik Bill Gates, salah satu pendiri Microsoft. Saat ini vaksin racikan Gates masih diuji klinis di AS.
Selain itu Kementerian Luar Negeri lewat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul juga telah memfasilitasi kerja sama pengembangan vaksin lain antara perusahaan swasta PT Kalbe Farma dengan perusahaan Korea Selatan Genexin. Dalam dalam konferensi pers daring pada 23 Juli 2020, Menlu Retno Marsudi tak ketinggalan membeberkan bahwa pihaknya tengah melobi agar Indonesia bisa masuk ke dalam Coalition for Epicemic Preparedness Inovations (CEPI).
CEPI merupakan salah satu aliansi kemitraan pemerintah dan swasta dari berbagai negara dalam pengembangan vaksin. Saat ini ada 6 kandidat vaksin COVID-19 yang dikembangkan melalui skema ini, masing-masing diinisiasi Inovio, Moderna, AstraZeneca, CureVac, dan Clover Biopharmaceuticals.
Per 10 Agustus 2020 WHO telah mendata ada 167 kandidat vaksin yang dikembangkan peneliti-peneliti di seluruh dunia. 28 Di antaranya telah berada dalam tahap uji klinis, sementara yang lain ada di tahapan preclinical.
Di tangan peneliti-peneliti itulah nasib perekonomian dunia akan ditentukan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan