tirto.id - Untuk kesekian kalinya Hamas dan Israel terlibat pertikaian. Pada Mei 2021, roket dari milisi Palestina, Hamas, menyerang Israel. Roket dari Hamas ini kemudian memicu serangan balik udara dari Israel yang menewaskan sedikitnya 24 orang termasuk anak-anak.
Pemicu konflik kali ini adalah penggusuran oleh polisi Israel terhadap warga Palestina dari sekitar situs masjid Al-Aqsa, tempat tersuci ketiga dalam agama Islam. Bagi orang Yahudi sendiri, komplek itu juga termasuk salah satu tempat penting di Yerusalem, yang beberapa tahun belakangan diklaim sebagai milik Israel.
Polisi Israel menembakkan peluru karet, gas air mata, dan granat kejut dengan memakai perlengkapan lengkap anti huru-hara melawan warga Palestina yang bersenjatakan pecahan batu.
Sebelum konflik di masjid Al-Aqsa, bentrokan polisi Israel dan warga Palestina juga terjadi di Sheikh Jarrah di mana warga Palestina terancam digusur. Polisi Israel sudah meluncurkan meriam air untuk mengusir warga.
Ultimatum Hamas agar polisi Israel menarik diri diabaikan. Hamas akhirnya meluncurkan sekitar 150 roket ke kawasan Israel, menyusul 50 di hari berikutnya. Tidak ada korban jiwa berskala besar yang tercatat dari serangan tersebut.
Sedangkan serangan balasan Israel ke jalur Gaza menewaskan puluhan orang dan satu komandan Hamas bernama Mohammed Fayyad.
Serangan Hamas terus berlanjut selama Israel terus melakukan penggusuran di kawasan masjid Al-Aqsa. Sedangkan bagi Israel, serangan harus dilakukan karena Hamas telah melewati “garis merah” --dengan kata lain, menyerang Yerusalem.
Krisis ini berlangsung sebelas hari sebelum gencatan senjata pada hari Jumat (21/5/2021).
Negara Kubah Besi
Berdasar catatan Associated Press, serangan misil pertama Hamas memang cukup masif namun tak memberi dampak signifikan. Satu misil mendarat di rumah warga kawasan Yerusalem dan menimbulkan percikan api di beberapa bagian bangunan. Satu misil lain mendarat di kendaraan bermotor dan melukai satu orang.
Sisanya? Israel berhasil menangkis dengan sistem pertahanan Kubah Besi.
Sistem ini pertama kali resmi digunakan Israel pada 2011 untuk mengatasi serangan Hamas di Beersheba, Israel. Pada tahun yang sama pula, tidak sampai 1 bulan sejak pemasangannya, sistem ini berhasil menangkal serangan misil dari Hamas di kota Ashkelon, Israel. Ashkelon adalah kota kedua di mana sistem Kubah Besi dipasang.
Penangkal misil ini dikembangkan oleh Rafael Advanced Defense Systems dan Israel Aerospace Industries. Dalam sebuah tes pada 2012, Israel mengklaim sistem Kubah Besi bahkan bisa menangkal sampai 85% serangan misil dari Hamas. Saat itu ada sekitar 400 misil yang dilarangkan Hamas ke Israel.
Kendati diproduksi dalam negeri, Israel tidak mendanai sendiri sistem pertahanannya. Mereka mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat. Congressional Research Service (CRS) mencatat setidaknya ada hampir 1,6 miliar dolar AS yang diperoleh Israel dari 2011-2020 untuk mendanai proyek Kubah Besi.
Amerika memang sudah puluhan tahun membantu Israel dalam persenjataan militer. Pada 2016, Trump menandatangani perjanjian kerjasama untuk 10 tahun. Amerika memberikan bantuan senilai 38 miliar dolar AS sampai 2028.
Sebagai timbal baliknya, Amerika punya akses untuk teknologi kubah besi. Sampai dengan Januari 2020, Kubah Besi berhasil menangkal 2.400 tindakan.
Kubah Besi memang tercatat sebagai salah satu teknologi pertahanan militer yang paling canggih sejauh ini. Sistemnya sederhana, jika ada misil yang ditembakkan ke wilayah jangkauan Kubah Besi, maka radar akan menangkap gerakannya kemudian memperkirakan dampak dari serangan tersebut.
Setelah kalkulasi, sistem Kubah Besi akan menembakkan roket balasan untuk menghentikan laju misil lawan di udara. Ledakan di udara itu sudah diperkirakan tidak akan melukai warga sipil di darah. Hebatnya lagi, sistem ini bisa digunakan setiap saat.
Sistem ini tidak murah. Energi baterai yang digunakan oleh Kubah Besi bisa menghabiskan 80 ribu dolar AS dan hanya bisa menjangkau hingga 156 kilometer persegi.
Namun, Israel tidak hanya punya kecanggihan teknologi penangkal misil. Israel tercatat sebagai negara ke-8 yang paling sering melakukan ekspor senjata api ke negara lain. Sasaran pasar yang paling besar adalah India, Azerbaijan, dan Vietnam.
Bisnis senjata api memang hanya memerankan sebagian kecil perekonomian Israel dengan nilai sekitar 345 juta dolar AS Serikat pada 2020. Angka ini masih tertinggal jauh daripada dagangan utama mereka, yakni berlian dengan nilai ekspor mencapai 11,2 miliar dolar AS Serikat pada 2019. Namun, Israel bisa mendapat dana dari Eropa untuk mengembangkan teknologi persenjataannya selama ini.
Laporan dari European Coordination of Committees and Associations for Palestine berjudul EU and Israel: The Case of Complicity (2019) mencatat bahwa selama bertahun-tahun, persekutuan Uni Eropa telah menyalurkan dana kepada perusahaan Elbit Systems dan perushaan pemerintah Israel Aerospace Industries. Kedua perusahaan ini memproduksi alat-alat yang bisa digunakan untuk kebutuhan militer. Total ada lebih dari 9 juta Euro yang digelontorkan kepada dua perusahaan ini.
Israel juga tidak hanya mendapatkan dana dari luar negeri, tapi juga menggelontorkan uang yang besar untuk kebutuhan militernya. Pada 2020 saja, Israel menghabiskan 21,7 miliar dolar AS untuk persenjataan. Dia merupakan negara ke-14 yang paling banyak menghabiskan uang untuk kebutuhan militer.
Dalam sebuah tulisan di New York Post, kontributor bernama Yaakov Katz mencatat Israel adalah salah satu negara yang paling unggul dalam teknologi militer. Bukan hanya karena teknologi Kubah Besi, tapi juga penggunaan robot untuk patroli. Israel adalah negara pertama yang mempercayakan daerah perbatasan kepada robot pada 2010.
Israel tetap merupakan salah satu importir persenjataan dari AS yang terbesar. Sebanyak 92 persen impor senjata Israel berasal dari Amerika Serikat, tapi tentu saja produksi dalam negeri mereka tidak main-main.
BBC mendeskripsikan kemampuan persenjataan Israel tentu saja “jauh lebih kuat [dari Palestina]. Mulai dari angkatan udara, drone dan kemampuan intelijen yang memungkinkan mereka menyerang target manapun di daerah Gaza.”
Bagaimana Hamas Bertahan?
Pertahanan dan serangan balik di Jalur Gaza yang menjadi target serangan Israel dimotori oleh kelompok militan Palestina, Hamas. Beda dengan Israel, Hamas memang tidak punya sumber dana yang stabil ataupun teknologi mutakhir.
Dana Hamas kebanyakan diperoleh dari negara pendukung seperti Iran, Qatar, dan Suriah. Iran pernah mengatakan akan menaikan sumbangan ke Hamas sebesar 30 juta dolar AS Serikat per bulan pada 2019. Sedangkan Qatar diperkirakan telah menyumbangkan sekitar 1,8 miliar dolar AS ke Hamas.
Ketika Hamas menguasai jalur Gaza, uang yang masuk juga kian beragam, bukan dari Iran dan Suriah belaka, tapi juga dari pemerintah Palestina, sampai dengan Israel sendiri. Dana itu tidak serta-merta diperuntukan untuk persenjataan, tapi juga pemulihan jalur Gaza. Masalahnya, tidak ada laporan resmi dari Hamas tentang pemanfaatan dana tersebut.
The Economic Times mencatat, Hamas sudah berkembang dari gerakan milisi menjadi semi-militer. Gerakan intifada ini berhasil membuat roket secara mandiri. Pada 2001 misalnya, Hamas berhasil membuat misil Qassam dengan jangkauan tembak mencapai 10 kilometer.
Sejak Israel menarik mundur pasukan dari Gaza pada 2005, Hamas kian sukses mengumpulkan persenjataan dari Iran dan Suriah melalui Sudan dan Mesir. Beberapa misil dengan jarak tembak yang berbeda-beda juga dibuat oleh Hamas.
Roket Grads adalah salah satunya. Rutin digunakan Hamas sejak 2006, roket ini merupakan rakitan dari Iran dan China dengan jarak tembaknya mulai dari 18 hingga 40 kilometer. Kemudian ada roket FAJR-5 dengan jarak tembak lebih dari 75 kilometer. Business Insider menyatakan roket ini adalah senjata bergengsi dari Iran untuk Hamas.
Kemudian ada roket Khaibar M-302 yang berasal dari Suriah. Israel meyakini bahwa roket ini belum bisa dibuat secara mandiri oleh Hamas. Jarak tembaknya mencapai 150 kilometer dan dibawa ke Jalur Gaza oleh Iran.
Tahun 2019 adalah tahun sulit bagi Hamas untuk mendapat pasokan roket melalui Mesir. Selain karena diktator Sudan, Omar al-Bashir digulingkan, Hamas juga fokus pada penguatan industri lokal. Salah satu video memperlihatkan militan Hamas sedang merakit roket dengan jarak tembak 80 kilometer dengan merontokkan misil-misil bekas Israel yang ditembakkan ke Jalur Gaza.
Persenjataan terbaru Hamas adalah dan roket Ayyash dengan jarak tembak mencapai 250 kilometer. Perkiraan harga misil tersebut adalah 300–800 dolar AS dan tentu sangat jauh dibandingkan dengan keseriusan Israel untuk mendanai Kubah Besi.
Namun Hamas juga meluncurkan kapal tanpa awak (drone) bawah laut atau unmanned underwarter vehicles (UUV). Israel memperkirakan UUV itu dirakit dari kendaraan komersil yang kemudian diubah bentuk menjadi senjata dan membawa 30-50 kilogram bahan peledak. Hamas memang sudah berusaha membuat kendaraan tanpa awak ini sejak 2014. Baru belakangan ini saja UUV digunakan.
Senjata Hamas kian canggih, tapi dibandingkan Israel, jalan masih sangat panjang. Tidak heran korban jiwa dari serangan Israel mencapai 248 nyawa dan 66 orang di antaranya adalah anak-anak. Di Israel sendiri 14 orang meninggal dunia, termasuk 1 orang anak kecil.
Setelah gencatan senjata akhir Mei 2021, baik Hamas dan Israel sama-sama mengklaim kemenangan, tapi bagi kolumnis Washington Post, Max Boot, kemenangan tertutup bagi kedua pihak.
“Bagaimanapun Hamas berusaha memborbardir Israel dan seberapa lama Israel menyerang Jalur Gaza, perang ini tidak akan mencapai apapun selain keadaan status quo seperti sebelumnya,” catat Max.
Editor: Windu Jusuf