tirto.id - Kalender saat itu menunjukkan 25 Desember 1991. Ketika umat kristiani bungah merayakan natal, Mikhail Sergeyevich Gorbachev yang meninggal dunia pada 30 Agustus 2022 lalu memutuskan undur diri sebagai pemimpin Uni Soviet. Kisah Soviet yang dimulai sejak Revolusi 1917 juga selesai. Mereka terpecah menjadi banyak negara.
Keputusan untuk tak lagi menjabat adalah ujung dari kegagalan kebijakan bernama perestroika dan glasnost. Keduanya adalah seperangkat reformasi yang tujuannya hendak membuat sistem Soviet lebih canggih, efektif, dan manusiawi.
Salah satu bentuk kebijakannya adalah desentralisasi ekonomi. Gorbachev mendorong swasta lebih banyak terlibat setelah sebelumnya semua hal ditentukan oleh pusat. Dengan cara ini Gorbachev berharap ekonomi yang rapuh, korup, dan tidak efisien bisa diubah.
Kebijakan lain misalnya membebaskan tahanan politik yang dianggap membangkang, juga membuka keran berekspresi dan beragama yang selama puluhan tahun direpresi.
Masalahnya, semua transformasi ini berlangsung secepat kilat, drastis, dan masif. Akibatnya jauh dari yang Gorbachev bayangkan. Prosesnya jadi tidak efektif dan malah menimbulkan beragam konsekuensi liar.
Derasnya arus informasi, misalnya, justru membuat otoritas Kremlin tergerus, demikian pula keutuhan Soviet yang berusaha Gorbachev jaga. Sentimen nasionalisme di negara-negara anggota merebak tak bisa ditahan.
Proses produksi dan distribusi barang juga tersendat. Harga barang-barang melejit. Harga roti naik 300 persen. Daging sapi per kilogram naik 400 persen. Satu liter botol susu melonjak 350 persen. Di sisi lain, upah pekerja cuma naik 20-30 persen.
Pemerintah gagal meredam inflasi dan sejak April 1991 ekonomi Soviet resmi remuk.
Wajah baru kemudian menggantikan Gorbachev di Kremlin. Dialah presiden pertama Federasi Rusia yang terpilih pada musim panas tahun itu: Boris Yeltsin.
Politikus populis yang satu ini hobi mengkritisi Gorbachev sejak lama. Dalam sebuah siaran televisi, Yeltsin pernah blak-blakan menyerukan agar Gorbachev mundur dari jabatan tertinggi Soviet karena reformasinya terbukti gagal.
Yeltsin banyak menyorot kegagalan Gorbachev dalam mengatur negara. Menurutnya hal tersebut disebabkan oleh dasar karakternya yang “suka hidup enak, dalam kenyamanan dan kemewahan.” Gorbachev juga dituding sudah haus “kekuasaan pribadi yang mutlak” dan sudah “menipu rakyat.”
Lewat karya memoarnya, Yeltsin menuding Gorbachev “tidak konsisten” dan “penakut” yang setengah-setengah dalam mengambil keputusan.
Autobiografi Yeltsin, alih-alih fokus pada kisah hidup sendiri, bisa dibilang jauh lebih efektif untuk menggerus citra Gorbachev di mata publik.
Yeltsin bahkan turut menyasar istri Gorbachev, Raisa, yang selalu bepergian ke mana-mana dengan mobil limosin. Ia membandingkannya dengan anak-istri sendiri yang hidup biasa-biasa saja, dapat jatah sabun mandi bulanan, dan harus mengantre berjam-jam saat belanja di pasar.
Demonisasi pada masa-masa suram menjelang kejatuhan Soviet itulah yang kelak membuat Gorbachev semakin mudah dikenang sebagai pemimpin serba salah dan tidak sensitif terhadap kesusahan rakyat.
Krisis Tak Lenyap
Boris Yeltsin boleh saja mengkritik Gorbachev dengan cara apa pun. Masalahnya karut-marut sosioekonomi dan hiperinflasi masih ditemui selama dia berkuasa.
Di bawah komando Yeltsin, yang berkuasa sampai 1999, bukan berarti krisis langsung lenyap. Rusia terus bertransisi jadi negara yang berorientasi pasar bebas. Dan, tentu saja, proses penyesuaiannya juga kacau balau dan menuai kritik.
Privatisasi besar-besaran terus digencarkan. Lebih dari 200 ribuan BUMN dijual dengan harga yang sangat murah. Langkah itulah yang mendorong kelahiran kelas sosioekonomi baru di Rusia modern: pengusaha tajir melintir yang bisa ikut memengaruhi kehidupan politik. Dalam literatur, mereka disebut oligark.
Fenomena lain yang muncul kala itu adalah pengangguran tersembunyi, yaitu orang-orang yang bekerja tapi upahnya rendah atau malah tidak digaji. Dilansir dari studi oleh Jo Crotty di The Conversation, salah satu penyebabnyaadalah kebijakan administrasi Yeltsin itu sendiri.
Yeltsin menarik pajak ekstra bagi perusahaan yang menggaji karyawan empat kali lebih tinggi dari upah minimum. Artinya, perusahaan selalu merasa didukung untuk terus menggaji rendah karyawannya.
Pengangguran tersembunyi juga muncul karena perusahaan kerap menyuruh pegawainya ambil cuti tak dibayar—atau dibayar dengan upah sangat rendah—sementara lainnya diminta kerja tanpa bayaran atau jam kerjanya dikurangi. Sepanjang 1991-1998, diperkirakan satu dari empat orang Rusia pernah berada pada situasi tersebut.
Di samping situasi pasar kerja yang lesu, angka harapan hidup juga kian merosot. Rata-rata usia laki-laki turun dari 63,4 jadi 57,4 sepanjang 1994-1991. Kematian yang tinggi selama dekade 1990-an ini dikaitkan dengan tingginya konsumsi alkohol dan kasus bunuh diri— sebagai ekspresi pelarian masyarakat dari kesulitan ekonomi.
Semenjak itu juga, populasi jiwa mulai melandai dan angka kelahiran turun—sampai hari ini.
Masalahnya, bukan Yeltsin yang disalahkan atas segala situasi ini. Sekali lagi, wajah Gorbachev-lah yang masih diingat publik Rusia pada masa-masa sulit itu. Gorbachev dianggap sebagai penyebab Soviet runtuh dan biang keladi kekacauan sosio-ekonomi yang mengiringinya.
Atas itu semua, wajar jika Gorbachev tak pernah jadi figur populer di Rusia.
Gorbachev pernah nekat maju dalam pemilihan presiden dalam pemilu tahun 1996. Hasilnya memalukan dan memilukan. Hanya 0,5 persen dari total pemilih di Federasi Rusia yang mendukung anak petani itu jadi presidennya. Pada pemilihan tersebut Yeltsin-lah yang kembali terpilih untuk periode kedua.
Dua dekade kemudian, citra Gorbachev masih juga terpuruk. Survei pada 2017 mengungkap hanya 15 persen responden Rusia punya pandangan baik tentangnya.
Status Gorbachev sebagai paria politik bahkan tampak tidak berkurang saat ia telah meninggal. Media yang yang berafiliasi dengan pemerintah, misalnya, tidak sungkan menunjukkan sikap yang dingin.
Pemerintah Rusia juga tidak menyelenggarakan upacara pemakaman untuknya dan Presiden Vladimir Putin memutuskan tidak ada hari berkabung nasional sebagaimana saat Yeltsin meninggal pada 2007 lalu.
Editor: Rio Apinino