tirto.id - Presiden Joko Widodo tak melarang warga di ibu kota mudik di tengah pandemi Corona atau COVID-19 yang meluas di 34 provinsi. Jokowi hanya mengimbau masyarakat agar tidak perlu mudik dan mengingatkan pemerintah daerah membuat kebijakan khusus terkait pemudik sesuai protokol WHO.
Pada 30 Maret 2020 misal, Jokowi mengatakan setidaknya ada 14 ribu penumpang dari 876 armada bus antar-provinsi sudah membawa pemudik dalam 8 hari terakhir. Jumlah tersebut masih belum termasuk pemudik lewat moda transportasi lain seperti kapal laut, pesawat maupun kendaraan pribadi.
Ia pun mengatakan perlunya mencegah arus mudik ini agar tak semakin membuat penyebaran COVID-19 makin meluas. Namun kenyataannya, Jokowi hanya melarang ASN, TNI dan Polri untuk tidak mudik, sementara warga hanya diimbau saja.
Akibat tak tegasnya pemerintah pusat mencegah perpindahan orang membuat penanggulangan virus Corona makin runyam. Pemerintah daerah pun diminta mengerahkan warga di daerah untuk dijadikan relawan desa seperti tertuang dalam Surat Edaran Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Nomor 8 tahun 2020.
Kepala Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Herjuno Wisono mengatakan, relawan desa ini terdiri dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), RT, RW, tokoh masyarakat, petugas desa, tokoh petani, dan tokoh pemuda.
“Desa sudah bikin tim desa siaga COVID-19 ini kemudian anggotanya terdiri dari lembaga-lembaga desa, ada Desa Tangguh Bencana (Destana) kemudian ada linmas, ada karang taruna, ada forum dari masyarakat. Kami dengan konsep kami sendiri untuk menghadapi ini [Corona]," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/4/2020).
Tim yang dibentuk ini punya beragam tugas yang berkenaan dengan upaya penanggulangan dan pencegahan virus Corona di daerahnya masing-masing.
Secara rinci, tugas relawan ini adalah membuat pusat informasi tentang penanganan COVID-19, pencegahan, gejala penularan, hingga penanganan kasus corona di daerahnya masing-masing.
“Saat ini kami masih sosialisasi RT, RW. Dikasih tahu ke satgas-satgas yang di RT itu untuk memberikan edukasi agar kalau ada pendatang dari Jakarta dan kawasan yang sudah terdampak Corona untuk dilaporkan ke kami dan kemudian akan ditindaklanjuti oleh puskesmas kalau orang itu sudah ada gejala,” kata Mulyono, salah seorang relawan di Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, kepada reporter Tirto.
Namun menjadi relawan di tengah penyebaran virus Corona menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mereka. Salah satu yang menjadi kekhawatiran Mulyono sebagai relawan adalah tertular virus Corona ketika berhubungan dengan pendatang dari Jakarta atau daerah lain yang masuk zona merah.
“Takut iya. Takut karena belum pernah, kan, penyakit seperti ini kejadian seumur umur saya hidup. Apalagi yang karang taruna ini ya, yang muda-muda,” kata Mulyono.
Kekhawatiran relawan pencegahan COVID-19 di desa ini bisa dipahami. Sebab, meski punya tujuan baik, tapi program ini justru menyimpan risiko besar menimbulkan kegaduhan di tataran masyarakat, kata pengamat kebijakan publik, Danang Girindrawardana.
Danang mengatakan, masalah utamanya adalah mereka umumnya tak punya pemahaman yang memadai perihal penanggulangan virus Corona itu sendiri.
"Jadi konteksnya, kan, ini adalah masyarakat desa yang jadi relawan tanpa ada pengalaman dan pengetahuan yang memadai untuk mengetahui untuk mencegah penyebaran COVID-19,” kata Danang saat dihubungi reporter Tirto.
Danang juga khawatir tentang efektivitas program relawan desa ini. Lantaran, program ini tak dibarengi dengan kebijakan mitigasi lain yang mendukung. Contoh saja, pemerintah hingga saat ini belum menutup akses mudik.
Artinya, kata Danang, gelombang masyarakat dari daerah rawan Corona ke daerah lain tetap berlangsung. Ini membuat risiko penularan Corona akan semakin luas, kata Danang.
Menurut Danang, relawan desa yang disiapkan bisa tak berdaya menghadapi gelombang pemudik yang berisiko besar membawa virus Corona ketika tiba di desa.
“Mobilisasi penduduk dalam jumlah besar dari satu daerah ke daerah lain justru ini akan lebih berbahaya dan bisa merusak konstruksi kesehatan ekonomi dan psikososial secara lebih masif,” kata Danang.
Relawan Jadi Sasaran Empuk Penularan Corona
Hal senada disampaikan pengamat kebijakan publik dari Perkumpulan Prakarsa, Herni Ramdlaningrum. Menurut dia, efektivitas program ini semakin diragukan bila melihat kesiapan aparat desa selama ini.
Menurut dia, jangankan untuk melakukan pemantauan, mengendalikan diri mereka untuk berkumpul dan melakukan social distancing saja masih sulit. Apalagi ketersediaan alat pelindung diri (APD) di desa kurang memadai.
“Yang jadi isu adalah apakah pergerakan relawan ini akan bekerja secara bergerombol. Itu kan kontra dengan kebijakan pemerintah kita yang meminta untuk social distancing, stay at home,” kata dia.
Herni menambahkan, “Itu kan si ralawan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Misalnya si relawan itu kan melakukan pendataan, itu pasti berdua. Pas kembali ke psoko itu kembali kumpul-kumpul. Apalagi kalau gak pakai masker," terang dia.
Dengan kondisi seperti itu, Herni justru khawatir para relawan ini malah semakin rentan tertular virus Corona mengingat peran mereka yang bakal menjadi garda terdepan yang langsung berhubungan dengan orang dalam pemantauan (ODP) yang dikhawatirkan membawa virus Corona dalam tubuh mereka.
“Mereka sudah sejauh apa memahami protokol medisnya. Misalnya sejauh apa mereka ada di posisi yang begitu dipatuhi oleh masyarakat," kata dia.
Masalah lain yang jadi persoalan adalah ketersediaan dan pemanfaatan anggaran desa untuk penanggulangan virus Corona, kata Herni.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memang telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No 6 tahun 2020 tentang pedoman perubahan kegiatan anggaran dalam rangka penanggulangan COVID-19. Aturan ini pada intinya membolehkan pemerintah daerah melakukan perombakan anggaran untuk dialokasikan ke penanganan virus Corona di daerahnya masing-masing.
Namun yang jadi pertanyaan, kata Herni, apakah daerah yang bersangkutan punya cukup anggaran untuk dialihkan?
Upaya pemerintah pusat yang jorjoran memberikan stimulus dalam berbagai bentuk seperti dana desa, padat karya cash dan lainnya, juga dipandang tak serta-merta bisa jadi jalan keluar. Tak adanya pendampingan serta kurangnya pengetahuan membuat para pejabat desa kesulitan membelanjakan dana yang ada untuk keperluan yang tepat.
“Komitmen anggaran ini akan sejauh mana sih transparansinya? Ini jangan sampai jadi sumber bancakan untuk daerah di tingkat bawah,” kata dia.
Mudik Harus Dilarang
Untuk itu, Herni menegaskan, bila pemerintah ingin menghentikan penyebaran virus Corona, maka satu langkah yang harus diambil adalah menutup segera akses perpindahan orang dan mengumumkan segera larangan mudik.
“Sebetulnya kan area yang akan pergi mudik itu kan rata-rata di area merah, Jakarta, Bogor dan sekitarnya. Kalau dari saya sendiri, aturan ketat tentang pelarangan mudik ini harus dilakukan oleh pemrintah," tegas dia.
Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan, memang ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian bila program ini mau dilanjutkan. Pertama adalah jaminan para relawan ini tak berinteraksi langsung dengan para ODP.
Hal ini perlu dipastikan mengingat para relawan ini bukan tenaga medis yang punya pemahaman mumpuni soal kesehatan, apalagi soal penanganan pasien Corona, kata Adib.
“Koordinasinya nanti harus tetap melibatkan pegawai puskesmas yang akan memberi tahu masyarakat bagaiamana juga mereka memproteksi dirinya bagaimana pemahaman COVID ini seperti apa. Termasuk edukasi kalau ada jenazah dan sebaganya," kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz