tirto.id - Kalian yang sering mengolok para fan K-Pop dengan diksi-diksi semacam “plastik”, “alay”, “fanatik”, atau “toksik”, sebaiknya minggir dulu. Kalian agaknya musti berterima kasih kepada mereka karena militansinya dalam kampanye digital menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja. Tak hanya itu, sebagian dari para K-Poper juga ikut turun langsung ke jalan.
Poster-poster yang dibawa oleh fan K-Pop saat berdemonstrasi boleh dikata unik, tapi sekaligus menunjukkan bahwa mereka punya pendirian politik. Dalam sebuah demonstrasi pada Kamis, 8 Oktober 2020, misalnya, beberapa fan K-Pop terpantau membentangkan poster dengan tulisan “Cuti streaming MV K-Pop, drama DPR-RI jinja (sangat) seru”, “Kami Big Hit Stan, tapi hari ini stan ke rakyat Indonesia”, atau “Ava Korea juga mahasiswa. Indonesia nomor satu, oppa nomor dua”.
Aksi-aksi itu membantah stereotipe lawas yang selalu mengidentifikasi K-Poper sebagai anak-anak muda doyan ribut di media sosial dan hiperbolis saat membahas idolanya. Pun mereka sering disalahpahami sebagai fanatik dan irasional. Padahal, perilaku semacam itu hanya bagian kecil dari identitas besar kelompok.
Satu hal yang luput dipahami publik Indonesia, K-Poper juga punya potensi sosial-politik yang besar. Potensi gerakan K-Poper bukan main-main belaka dan bisa bersifat global. Kelompok ini terkenal royal memberi bantuan kepada masyarakat yang terdampak bencana sebagaimana tindakan yang dicontohkan idola mereka.
“K-Ppopers itu beda, mereka belajar dari publik figur internasional, di sana ada kemanusiaan, solidaritas, dan kekuatannya riil,” ujar Founder Drone Emprit Ismail Fahmi kepada Tirto.
Solidaritas dan jiwa humanis K-Poper tampak ketika boygroup BTS membatalkan konser Map Of The Soul Tour di Seoul pada April silam. Ketimbang menarik kembali uang mereka, para ARMY—julukan untuk penggemar mereka—lebih memilih mendonasikannya untuk penanggulangan wabah COVID-19 di Korea.
Situs lembaga penyalur donasi Hope Bridge Korea Disaster Relief Association bahkan sempat lumpuh karena lalu lintas donasi yang terlalu banyak. Sehari sebelum pengumuman pembatalan konser, anggota BTS Suga telah lebih dulu berdonasi melalui Hope Bridge.
Majalah Weverse bikinan Big Hit Entertaiment—agensi yang menaungi BTS—mengklaim bahwa donasi dari ARMY ke berbagai lembaga sosial sudah mencapai Rp25,5 miliar selama 2020. Donasi tersebut tersalurkan ke berbagai isu publik seperti COVID-19, bencana alam, penanggulangan penyakit, pendidikan, pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, hingga untuk isu-isu kemanusiaan seperti keadilan rasial, anak-anak, perempuan, disabilitas, dan satwa.
Jika satu kelompok fan K-Pop bisa melakukan aksi sosial semasif itu di Korea, potensinya tentu akan lebih besar lagi dengan melibatkan kelompok fan lain di berbagai negara.
Bukan Kelompok Kaleng-kaleng
K-Poper Indonesia pun sangat aktif dalam aksi-aksi sosial.ARMY Indonesia, misalnya, pernah melakukan aksi tanam seribu bakau kala salah satu anggota BTS berulang tahun. Beragam kelompok penggemar K-Pop di Indonesia juga aktif menggalang donasiuntuk penanggulangan pandemi COVID-19.
Tak hanya terpusat di satu daerah, aksi-aksi sosial semacam itu mereka lakukan di berbagai wilayah Indonesia. Gerakannya bisa begitu masif karena informasinya terdistribusi di dunia maya seperti sistem pohon berakar. Mereka bukan kelompok kaleng-kaleng karena memiliki metode aktivisme yang khas.
“Fans K-Pop itu sudah terorganisir, kami punya goals tersendiri, dan fan activism itu termasuk gerakan akar rumput digital,” ungkap Jasmine, salah satu penggemar BTS dalam diskusi santai bertajuk “K-Popers Menolak Omnibus Law.”
Para K-Poper sudah sangat terbiasa menggaungkan topik-topik populer di Twitter. Tagar atau topik yang mereka cuitkan hampir selalu menjadi tren harian di Twitter. Mereka punya agenda untuk menaikkan volume perbincangan tentang idolanya sebagai salah satu upaya mendukung kariernya di industri K-Pop.
Strategi ini, menurut Jasmine, juga dilakukan untuk merespons isu lain. K-Poper mampu memobilisasi banyak orang melalui grup-grup kecil di setiap basis penggemar. Isu yang dibawa lantas disebarkan ke basis penggemar lain. Cara yang sama juga digunakan untuk menangkal rumor atau hoaks terhadap isu tersebut.
“Mutual hashtag kita kencengin, nanti fandom lain akan replydengan tambahan opini mereka,” kata Rara, seorang penggemarutamaboygroup BIGBANG.
Saat isu penolakan UU Cipta Kerja sedang ramai diperbincangkan, Rara meminta setiap kicauan fan tidak menggunakan lebih dari dua tagar. Itulah cara efektif dan cepat untuk mempopulerkan sebuah isu. Setiap K-Poper juga menambahkan kalimat baru dalam Retweet agar substansi isu terus diperbaharui.
Tidak hanya itu, para K-Poper juga terus berkicau dengan jeda yang konstan agar tagar yang diusung tetap bertahan sebagai topik populer dalam waktu lama.
“Ketika itu, kita semua sampai tahan-tahanin untuk nggak naikin isu idola. Kalau ada yang naik, langsung minta untuk di-take down atau sensor,” lanjut Rara.
Gerakan di ranah digital semacam itu sudah lama dilakukan oleh para fan K-Pop Indonesia, meski baru mendapat sorotan saat mereka ikut menolak revisi UU KPK pada September 2019 lalu. Kala itu, mereka menaikkan tagar #DiperkosaNegara dan sebagian ikut pula berdemonstrasi.
Saat komika Bintang Emon dituduh menggunakan narkoba beberapa bulan lalu—buntut komentarnyaatas kasus hukum Novel Baswedan, para K-Poper memberi dukungan padanya dengan menaikkan tagar #BintangEmonBestBoy.
Sementara itu, komunitas K-Poper di Amerika Serikat bisa menyabotase kampanye Donald Trump. Mereka beramai-ramai memesan tiket untuk acara pidato Trump, tapi tidak menghadirinya.
K-poper juga berpartisipasi dalam gerakan antirasisme Black Lives Matter (BLM), menyemarakkan tagar #WeWantJustice sebagai dukungan untukaksi protes di Bangladesh, dan menyebar komentar antipolisi untuk mendukung penyelesaian isu ketimpangan kelas sosial dan upah di Chile.
Masih Distigma
Sejak jadi sorotan karena berhasil memopulerkan isu penolakan Omnibus Law Cipta Kerja hingga ke ranah internasional, komunitas K-Poper semakin berani menunjukkan preferensi sosial-politik mereka ke publik.
Fahmi menilaikomunitas K-Poper punya potensi untuk memengaruhi percakapan dan gerakan di dunia maya. Pun banyak di antara mereka yangmelek isu sosial-politik. Sayangnya, kelompok ini masih sering distigma dan dianggap tak memiliki nalar kritis individual.
“Kita distigma karena didominasi oleh perempuan, diharuskan jinak, nggak boleh memperlihatkan antusiasme karena masyarakat tidak terbiasa dengan hal itu,” kata Jasmine.
Sebagian orang menganggap fanatisme para K-poper sebagai penyimpangan, terlebih jika itu dilakukan oleh fan perempuan. Respons seperti teriakan atau tangisan fan perempuan untuk idolanya secara tidak adil dianggap sesuatu yang berlebihan. Padahal, apa bedanya respons itu dengan laki-laki yang biasa berteriak atau berjingkat bersama kala mendukung klub sepak bola favoritnya.
Menjadi K-Poper adalah respons dari hobi, sama belaka dengan menggemari sepak bola atau memilih jadi anak indie. Jikaada sebagian kecil K-Poperyang bertingkah negatif, kelompok penggemar lain pun bisa juga demikian. Sebagian penggemar sepak bola, misalnya, ada juga yang bikin ribut dan tawuran. Penggemar musik indie garis keras pun menganggap hanya jenis musiknya yang paling oke.
Pada dasarnya, militansi kelompok penggemar pasti memiliki sisi positif maupun negatif. Menilik militansi komunitas K-Poper dalam penolakan UU Cipta Kerja, publik semestinya paham bahwa mereka juga bisa berperan lebih besar dalam gerakan sosial-politik jika dirangkul.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi