tirto.id - Graeme Souness adalah atlet brilian. Sejak 1978 hingga 1984, ia bertanding 358 kali dan mencetak 56 gol untuk Liverpool, dan memenangkan lima gelar juara kompetisi teratas Inggris, tiga piala Eropa, serta empat Piala Liga. Ia dikenal sebagai pemain yang memiliki paket kemampuan lengkap: pandai menyerang dan bertahan, kuat, cepat, punya visi permainan yang bagus, plus “keras”—bahkan untuk standar Inggris di masa itu.
Dalam salah satu video seri “The 100 Players Who Shook the Kop” yang ditayangkan Liverpool F.C. TV, Steven Gerrard menyebut Souness sebagai “pemain agresif yang kerap menciptakan umpan-umpan dan gol-gol hebat, dan pemimpin tim yang baik.” Sedangkan Jamie Carragher, dengan bunyi-bunyian yang agak sukar dicerna, menyampaikan: “Bagiku dia gelandang penyeimbang (holding midfielder) terbaik yang pernah bermain di negara ini.”
Sebagai pelatih, prestasi Souness pun lumayan bagus. Dua tahun setelah tutup buku sebagai pemain Liverpool, ia membangun ulang tim Skotlandia Glasgow Rangers, memenangkan tiga gelar juara dan empat Piala Liga, dan mengawali kisah sukses yang bertahan selama satu dekade. Saat melatih Liverpool selama tiga musim dan klub Turki Galatasaray selama semusim, ia menyumbangkan satu piala untuk tiap klub.
Selain piala, Souness juga gemar menghimpun reputasi sebagai orang yang gemar melempar tahi ke kipas angin. Pada musim 1989, ia diamuk pendukung Rangers karena mendatangkan Mo Johnston, pesepakbola Katolik termahsyur yang pernah berjaya di Glasgow Celtic, saingan terpahit Rangers, ke Ibrox.
“Saya tidak membeli orang Katolik,” ujar Souness kepada BBC. "Saya membeli pemain-pemain bagus, tak peduli apa agama mereka."
Tentu saja, meski menyembah semak-semak gosong atau akar dedalu atau kapur barus, seorang pesepakbola patut dapat tempat jika ia terampil bermain sepakbola. Namun, di Glasgow, tempat golongan Katolik dan Protestan memisahkan diri dalam urusan apa saja, keputusan Souness itu menghasilkan akibat yang lebih rumit.
Menurut Ewan Murray dari The Guardian, "Luka yang digoreskan transfer Johnston" masih basah di Glasgow meski 20 tahun sudah berlalu.
Di Liverpool, Souness memusuhi beberapa pemain senior yang kerap mempertanyakan keputusan-keputusannya, dan dimusuhi penggemar karena ia mau meladeni The Sun, koran yang mereka anggap kurang ajar dan mereka boikot. Kemudian, pada 24 April 1995, Souness mengangkut polahnya ke tingkatan baru: Ia menancapkan bendera Galatasaray di tengah-tengah lapangan Fenerbahçe setelah pihak pertama mengalahkan pihak kedua dalam pertandingan final Piala Turki.
Bagi para penggemar Fenerbahçe, makna gestur Souness terang belaka: stadion Fenerbahçe adalah Konstantinopel, Galatasaray adalah pasukan Ottoman, dan Souness adalah pahlawan Turki Ulubatli Hasan. Dengan kata lain, para penggemar Fenerbahçe adalah kaum kafir Byzantine yang takluk. Hari itu, Souness nyaris menciptakan kerusuhan besar di Turki.
Berpuluh-puluh tahun sebelum peristiwa itu, ketika ia baru berumur 15 tahun dan terikat kontrak dengan Tottenham Hotspurs, Souness kesal karena tak kunjung dilibatkan dalam tim utama. Maka ia menghampiri pelatihnya, Bill Nicholson, dan memberitahu Pak Nicholson bahwa dirinya ialah pemain terbaik di klub tersebut.
Selepas mengalami kekalahan pertamanya dalam derby Merseyside, Souness menyatroni pencetak angka Everton, Andy King, yang sedang minum-minum di pub. “Ayo kembali ke lapangan Goodison dan bertanding satu lawan satu,” katanya.
Pada semifinal Piala Eropa '84 antara Liverpool dan Dinamo Bucharest, Souness melumat rahang Lica Movilla. Sebabnya, beberapa menit sebelum itu, Souness merangsek Movilla tetapi malah terjungkal sendirian.
Tindakan-tindakan Souness itu bukan hanya mencerminkan nyali besar, tetapi juga sifat kompetitif yang disetel sampai mentok. Asal sifat itu adalah rasa benci terhadap kekalahan. “Bagi dia, kekalahan bukan pilihan dan, andai itu terjadi, ia tak bisa menerimanya begitu saja,” tulis redaksi Liverpool Echo tentang Souness.
Souness ditempeli label “Hard Man” sepanjang kariernya di dunia sepakbola. Orang tak berani macam-macam dengannya. Robbie Savage, dalam buku I'll Tell You What..., menceritakan bahwa ia pernah dimarahi Steve Bruce, pelatihnya di Birmingham, usai melaporkan bahwa ia baru saja menang adu bacot dari Souness.
“Kalau sampai tertangkap, kau bakal dihabisinya. Ia bukan orang yang bisa kau bacoti,” kata Bruce. Savage ketakutan sampai berminggu-minggu kemudian.
Namun, Souness tak dapat melakukan apa-apa buat membalas kekalahan terbesarnya pada 1996. Ia, yang waktu itu melatih Southampton, dipecundangi oleh Aly Dia, seorang pria kecil dari Senegal. Aly masuk dengan mengetuk pintu, menggondol duit, mempermalukan tuan rumah di hadapan ribuan orang, lalu menghilang seperti ninja.
Impian Aly
“Aly” atau “Ali” berarti “yang dimuliakan.” Nama itu dikenakan banyak orang. Sebagian di antara mereka, Cassius Clay dan putra Abu Talib, misalnya, adalah manusia-manusia hebat yang bakal terus dikenang. Seperti mereka, Aly Dia juga mengguratkan tanda yang sukar terhapuskan. Namanya dinyanyikan orang-orang, meski dalam lagu yang tak menerbitkan haru.
"ALY DI-A, is a LI-AR, is a LI-AR," teriak orang-orang dari bangku-bangku stadion. Ia tersenyum lebar-lebar setiap kali mendengarnya.
Matthew Le Tissier, legenda Southampton, mengatakan bahwa Aly tampak seperti pelanduk kecil yang tergelincir ke sana-kemari di lapangan, bahwa menontonnya bermain sepakbola ialah pengalaman yang memalukan.
Mungkin Le Tissier benar, tetapi bagaimanapun, Aly berhasil menyentuh impiannya.
Berapa banyak orang di dunia ini yang sanggup berkata demikian? Berapa banyak orang yang mengaku rela menukar semua yang mereka miliki untuk bermain di Liga Primer Inggris, kompetisi sepakbola termegah di dunia, tetapi tak pernah memperolehnya karena mereka bercokol saja di kandang masing-masing dan tidak berani bertaruh melawan hidup?
Suatu pagi, ketika berumur 15 tahun, Aly melamun di tepi tanah lapang, membayangkan diri jadi Michel Platini, Arie Haan, dan Rob Rensenbrink. Ibunya, yang mendapat kabar dari sekolah bahwa ia absen, menemukan Aly dan mengantarkannya ke sekolah. Namun, si ibu tak pernah bertanya apa yang terjadi atau mengapa anaknya berada di tempat itu. Ia tahu cita-cita Aly, tetapi menganggapnya tak cukup penting buat dibicarakan.
“Saya tidak pernah menonton Aly main sepakbola,” kata sang ibu kepada Kelly Naqi dari Bleacher Report yang melacak keberadaan Aly sampai ke Dakar, Senegal, kampung halamannya, bertahun-tahun kemudian. “Karena saya ingin dia belajar saja. Seperti semua ibu, saya ingin anak saya masuk fakultas kedokteran setamat sekolah menengah atas.”
Pada 1987, semasa kuliah di Prancis, Aly bermain untuk Tonneau, sebuah klub sepakbola semi-profesional, tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Menurut Mady Toure, sahabat, kawan serumah, dan rekan setimnya, Aly bisa menjadi pesepakbola hebat. Aly punya kecepatan dan sanggup menari bersama bola, katanya. Kini Toure telah jadi bos akademi sepakbola terkenal di Senegal dan mengaku punya andil dalam keberhasilan penyerang West Ham United Diafra Sakho dan gelandang Liverpool Sadio Mane.
Selepas makan malam, sambil mengaso, Aly dan Toure kerap berkelakar: “Bung, enak sekali, ya, kalau nanti kita menandatangani kontrak profesional.”
Sejak awal Toure tahu Aly bercita-cita menjadi pesepakbola sungguhan. Yang ia ketahui belakangan: “sungguhan” dan “profesional” dalam benak Aly berbeda dari yang ia bayangkan. Pada satu titik, Aly memutuskan untuk berterus terang kepada orangtuanya. “Insyaallah,” katanya. “Kalau Allah mengizinkan, aku sanggup bermain di kelas tertinggi.”
Di dunia ini, ada orang-orang yang mendekati cita-cita dengan berjalan dan cita-cita itu menghampiri dengan berlari. Sebaliknya, ada pula yang berusaha sekeras mungkin tetapi memperoleh hasil yang kacrut. Pada 1995, atau ketika ia berumur 30 tahun, Aly menyadari keadaan dirinyalah yang terburuk: ia seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri.
Maka, Aly menempuh cara lain. Ia menunggangi ombak minat klub-klub Eropa terhadap pesepakbola Afrika dan memilih tempat-tempat baru ketika orang tak dapat melacak asal usulnya. Mula-mula, ia melamar ke FinnPa, salah satu klub divisi teratas Finlandia. Setelah bertanding lima kali sonder gol, Aly menghilang.
Beberapa pekan kemudian, ia mecungul lagi di Jerman dan menandatangani kontrak dengan VfB Lubeck, yang baru saja naik tingkat ke kompetisi kelas dua. Ia mencetak lima gol dalam sebuah pertandingan ujicoba, main dua kali di liga, lalu kembali mengepak koper.
Tujuannya yang terbaru: Inggris.
Telepon dari Weah
November 1996, Souness mendapat panggilan telepon yang mengejutkan. Orang yang menghubunginya mengaku sebagai George Weah, pemain tim nasional Liberia, bintang AC Milan, dan peraih penghargaan “FIFA Player of the Year” dan Ballon d'Or 1995. Weah hendak merekomendasikan sepupu sekaligus mantan rekannya di Paris Saint-Germain, seorang pemain kwaliteit pilihan yang belum banyak dikenal orang, kepada Souness.
Siapakah orang yang dimaksudkan Weah? Aly Dia, tentu saja.
Berbeda dari Harry Redknapp, pelatih West Ham United, yang mendapat telepon serupa dari Weah, Souness sedang kekurangan pilihan. Beberapa anggota tim utamanya cedera dan ia perlu pelapis. Maka, ia menyambut tawaran Weah dan mengundang Aly mengikuti masa percobaan di Southampton.
Sebelumnya, juga lewat bantuan Weah, Aly sudah menjalani proses serupa di Port Vale dan Gillingham, yang kelasnya jauh di bawah Southampton. Komentar pelatih kedua klub itu tentang Aly: “Sampah.”
George Weah yang menjual Aly ke sana-kemari tentu bukan Weah yang sebenarnya. Itu trik lawas Aly dengan sentuhan sedikit modifikasi. Di Finlandia dan Jerman, ia sendirilah yang mengumumkan kekerabatannya dengan Weah kepada orang-orang. Namun, di Inggris, peran itu ia serahkan kepada orang lain, entah teman kuliahnya di Universitas Northumbria atau agen sepakbola yang kurang bermartabat.
Namun, belum tentu Aly dan Weah tak saling kenal, sebagaimana dikatakan Weah kepada pers setelah kasus Aly meledak. Dalam laporan Kelly Naqi, “Finding Ali Dia”, kakak Aly yang bernama Sophie mengaku bahwa Weah adalah teman baiknya, dan Weah tentu mengenal Aly.
Dalam tulisan yang sama, Naqi mencantumkan penjelasan Aly: ia tidak berbohong soal Paris Saint-Germain. Ia mengaku memang pernah bermain untuk klub tersebut pada 1986 hingga 1988, dan turut memenangkan Paris Cup pada 1986 atau 1987.
Paris Cup adalah kompetisi untuk anak-anak dan remaja. Pada 1986, usia Aly 21 tahun. Namun, misalkan ia tidak ngibul, ketiadaan namanya dalam daftar pemain Paris Saint-Germain jadi bisa dimaklumi. Klub sepakbola profesional memang tak lazim mencantumkan daftar pemain tim kanak-kanaknya.
Aly, sebagaimana ayah dan ibunya, senang menggunakan ungkapan relijius: “Biar Allah yang menilai kita.”
Menilai manusia barangkali memang urusan Tuhan dan hanya Yang Maha Pengampun yang berhak melakukannya. Namun, menilai pesepakbola jelas urusan pelatih dan timnya, untuk itulah mereka dibayar. Dan menilai pesepakbola adalah hak para penggemar suatu klub, sebab mereka membayar untuk itu.
Pada 23 November 1996, dalam pertandingan melawan Leeds United, Aly masuk ke lapangan menggantikan Matt Le Tissier. Ia berlari dengan siku yang terkepak-kepak. Kemudian, ia menampilkan sepakbola yang ajaib: ia menghindari bola. Dan sewaktu mendapatkan satu peluang ciamik di depan gawang lawan alias tak mungkin menghindar lagi, ia malah mengoper bola ke kiper.
Sepanjang 53 menit Aly Dia bermain di Liga Primer Inggris. Semua orang yang menyaksikannya sepakat bahwa itu adalah pengalaman yang memalukan.
Peristiwa itu membuat Souness ditertawakan hingga kini. Namun, bagi Aly, hidup tetap berjalan seperti biasa. Orang-orang boleh saja mengelap terus kisahnya seperti sebongkah artefak, tetapi ia hanya terus angkat koper dan menentukan tujuan baru.
Pada 2003, Aly mendapat gelar akademik Master di bidang Administrasi Bisnis dari San Fransisco State University di Amerika Serikat. Kini, ia tinggal di London dan mengaku sedang mengurusi bisnis besar.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Fahri Salam