Menuju konten utama

Bacaan Doa Niat Puasa Ramadhan: Dalam Hati atau Dilafalkan Lisan?

Bacaan niat puasa Ramadan "Nawaitu sauma ghadin an'adai fardi syahri ramadhani hadzihisanati lillahita'ala" dapat diucapkan dalam hati, meski disunahkan juga dilafalkan dengan lidah.

Bacaan Doa Niat Puasa Ramadhan: Dalam Hati atau Dilafalkan Lisan?
Ilustrasi Makan Bersama. foto/istockphoto

tirto.id - Niat puasa Ramadan termasuk rukun puasa, sehingga mesti dikerjakan, meski tidak wajib dilafalkan. Dalam praktiknya sehari-hari, ada yang membaca niat puasa dalam hati, sendiri, atau bersama-sama dalam jamaah.

Niat sangat penting dalam beribadah. Nabi Muhammad bersabda, "(Sebuah) Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan (hasil amal itu) sesuai niatnya."

Menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu (juz 6, hlm. 248), niat itu memang adanya di dalam hati, dan tidak disyaratkan pengucapannya secara lisan. Namun, disunahkan untuk melafalkan niat dengan lidah bersamaan dengan niat di dalam hati.

Ketika Ramadan tiba, seringkali dijumpai jamaah di berbagai masjid yang membaca niat puasa secara bersama-sama selesai tarawih. Niat yang dibaca tersebut lafalnya adalah sebagai berikut.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لله تَعَالىَ

Nawaitu sauma ghadin an'adai fardi syahri ramadhani hadzihisanati lillahita'ala

Artinya, "Aku sengaja berpuasa esok hari untuk menunaikan ibadah fardu di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala."

Dalam kondisi pandemi virus Corona (COVID-19) melanda Indonesia, terdapat panduan dalam Surat Edaran Menag Nomor 6 Tahun 2020 tengan Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441H di tengah Pandemi Covid-19. Salah satu anjuran adalah salat tarawih dilakukan secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah.

Dengan demikian, mungkin saja ada sebuah keluarga yang mengucapkan niat puasa secara bersama-sama dengan keras (jahr) seperti yang biasa dilakukan di masjid.

Dalam "Asal-usul Susunan Lafal Niat Puasa Ramadhan" oleh Aang Fatihul Islam di laman NU Online disebutkan, masyarakat yang terbiasa melafalkan niat, tidak perlu menjadikan lafal niat itu seakan-akan bagian rukun, atau harus mutlak dilafalkan, padahal tidak ada ulama yang mewajibkannya.

Di sisi lain, melafalkan niat puasa secara bersama-sama adalah langkah preventif agar seorang muslim tidak lupa untuk mengucapkan niat tersebut. Diriwayatkan, Nabi bersabda, "Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya" (H,R. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah, dari Hafshah).

Menilik hadis tersebut, juga dapat diketahui bahwa waktu untuk melafalkan niat puasa Ramadan adalah pada malam harinya sampai menjelang fajar. Apabila baru niat pada saat fajar terbit ataupun setelahnya, maka puasa Ramadan yang dijalankan tersebut dianggap tidak sah.

Meskipun demikian, jika seseorang benar-benar lupa berniat puasa pada malam harinya, lantas ia terbangun pada saat sahur, atau bahkan ketika azan subuh sudah berkumandang, ia dapat mengikuti petunjuk Imam Nawawi dalam Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab sebagai berikut.

"Disunahkan (bagi yang lupa mengucapkan niat puasa pada malam hari untuk) berniat puasa Ramadan pada pagi harinya. Karena yang demikian itu mencukupi menurut Imam Abu Hanifah, maka diambil langkah kehati-hatian dengan berniat."

Artinya, ketika seseorang lupa berniat puasa pada malam hari, ia sesegera mungkin berniat pada saat sahur/pagi harinya begitu ingat. Ditambah, ia mesti meniatkannya sebagai langkah taqlid kepada terhadap Abu Hanifah. Menjajagi kemungkinan terburuk itulah, membaca niat puasa setelah salat tarawih dapat dijadikan solusi.

Ramadhana atau Ramadhani?

Terkait lafal رَمَضَانِ atau ramadhani dalam bacaan niat puasa ramadan, seringkali terdapat perbedaan penyebutan dalam kata ini dengan membacanya melalui kata رَمَضَانَ atau ramadhana.

Menurut ilmu nahwu, seperti dijelaskan oleh Mahbib Khoiron dalam "Lafal Niat Puasa: Ramadlana atau Ramadlani?", penyebutan dengan رَمَضَانَ atau ramadhana adalah keliru.

Jika membaca dengan bacaan ramadhana atau dengan harakat fathah, maka kalimat selanjutnya adalah hâdzihis sanata (sebagai keterangan waktu), bukan hâdzihis sanati.

Sementara yang biasa digunakan adalah dengan membacanya melalui bacaan ramadhani atau dengan harakat kasrah. Maka, setelah ramadhani dibaca hadzihis sanati. Lantaran ramadhani sebagai mudhaf dan hadzihis sanati sebagai mudhaf ilaih dan harus dibaca kasrah.

Meskipun demikian, andai terjadi kesalahan dalam mengucap lafal niat puasa pada kalimat tersebut, tidak lantas bermakna puasa akan tidak sah atau batal.

Baca juga artikel terkait NIAT PUASA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Beni Jo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Beni Jo
Penulis: Beni Jo
Editor: Fitra Firdaus