tirto.id - Hari ini, Senin (13/2/2019), tepat 11 tahun lalu, Kevin Michael Rudd, Perdana Menteri Australia periode 2007-2010 dari Partai Buruh, menyampaikan pidatonya berisi permintaan maaf kepada Masyarakat Adat Australia yang kehidupannya telah dirusak oleh kebijakan pemerintah.
Momen tersebut akhirnya dikenal sebagai Hari Pemintaan Maaf Nasional atau National Apology Day.
Pemerintah Australia mengaku, telah memindahkan paksa dan asimilasi paksa terhadap masyarakat Aborigin serta Kepulauan Selat Torres, yang kemudian para korbannya dikenal dengan “Generasi yang Dicuri”.
Untuk hal ini, Australia membentuk sebuah komisi Aborigin dan Kepulauan Selat Torres dengan Dewan Aborigin yang mengatur agar Hari Permintaan Maaf Nasional dirayakan tiap tahun untuk memperingati sejarah pemindahan paksa beserta dampaknya.
Salah satu penyintas kebijakan itu ialah Brian Morley. Morley mengatakan bahwa dirinya telah diambil paksa oleh polisi dari ibunya pada 1960-an.
Melansir dari Aljazeera, ia dipisahkan dari ibunya hanya karena alasan bahwa ibunya, yang Aborigin, berintelektual rendah, dan karena itu dianggap tak layak, meski pada waktu itu ibu Morley tengah bekerja untuk merawat Morley beserta dua saudaranya.
Enam bulan pertama sejak ia dipisahkan dari sang ibu, Morley tinggal di sebuah lembaga anak-anak di Turana.
Saat itu, kisah Morley, sebagai konsekuensi bahwa dirinya telah dipindahkan paksa, dirinya merasa sendirian di dunia, bahkan ketika bersama orang-orang.
“Saya masih merasa sendirian dan saya pikir itu tidak akan pernah pergi,” ujarnya.
Tak pelak, ketika Rudd mengucapkan permintaan maaf atas nama pemerintah, banyak korban atas kebijakan merasa terharu. Salah satunya Steve Hodder Watt dari Pulau Mornington, barat laut Queensland.
Satu dekade lalu, ia melakukan perjalanan ke Canberra manyaksikan Pidato Rudd di tengah kerumunan orang di halaman Gedung Parlemen.
“Itu adalah emosi yang campur aduk, Anda tahu, melihat para penyintas. Anda mendapatkan perasaan beapa lebih berarti bagi mereka daripada sekadar isyarat simbolis,” ujarnya seperti dikutip dari SBS.
Kisaran 1900 hingga 1970, diperkirakan terdapat 100.000 anak Aborigin telah dipindah paksa, dicabut dari rumah dan akar komunitas mereka. Lantas, ditempatkan dengan keluarga dan lembaga kulit putih.
Pelanggaran hak asasi itu bermula ketika Jaksa Agung Federal pada 1995 membuat penyelidikan Nasional Pemisahan Anak Aborigin dan Kepulauan Selat Torres.
Dua tahun berselang, Komisi Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Peluang (HREOC) menerbitkan laporan bertajuk The Bringing Them Home dan diajukan ke parlemen saat itu juga.
Namun demikian, tindakan Rudd bukan dimaksudkan agar peristiwa itu berakhir begitu saja. Bahkan, permintaan maaf atas Generasi yang dicuri itu baru seperlima dari satu rekomendasi dari total 54 rekomendasi dalam laporan The Bringing Them Home itu.
Khusus untuk bagian rehabilitasi, pada 2009, berdirilah Healing Foundation, organisasi bertujuan menyembuhkan trauma yang berkelanjutan yang disebabkan oleh peristiwa itu.
CEO Healing Foundation, Richard Weston, mengatakan, “Permintaan maaf itu sendiri merupakan tonggak penting bagi seluruh bangsa.
Ini adalah contoh yang sangat baik dari apa yang bisa dilakukan negara ini ketika mereka terlibat dalam pengungkapan kebenaran dan mengakui warisan masa lalu.”
Melalui pekerjaan itu, lanjutnya, mereka telah mendukung dan bermitra dengan masyarakat dan telah membantu sekitar 45 ribu orang penduduk Aborijin dan Kepulauan Selat Torres.
Namun, kata dia, seperti dikutip dari The Courier, “Jika orang tidak memiliki kesempatan untuk sembuh dari trauma, itu terus berdampak pada cara mereka berpikir dan berperilaku, yang mengarah ke berbagai hasil negatif termasuk kesehatan dan isolasi yang buruk, yang pada gilirannya menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi.”
Ian Hamm, salah seorang pegiat Healing Foundation juga mengatakan bahwa para korban itu kini kebanyakan sudah berusia sepuh dan memilik permasalahan finansial, sosial, kesejahteraan, dan kesehatan.
Editor: Yandri Daniel Damaledo