Menuju konten utama

Aturan Uji Kompetensi Dokter: Menggantung Nasib Mahasiswa FK

Para dokter muda protes soal uji kompetensi ini, lantaran ijazah mereka baru dikeluarkan setelah mereka lulus uji kompetensi.

Aturan Uji Kompetensi Dokter: Menggantung Nasib Mahasiswa FK
Para lulusan fakultas kedokteran yang tergabung dalam Pergerakan Dokter Muda Indonesia (PDMI) menggelar aksi unjuk rasa di pelataran Gedung Kemenristekdikti, Jakarta, Jumat (5/4/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Pergerakan Dokter Muda Indonesia (PDMI) melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo terkait ijazah sarjana kedokteran, Ahad (7/4/2019). Mereka protes lantaran ijazah yang seharusnya mereka terima setelah lulus kuliah malah tertunda dan baru diberikan setelah mereka lulus uji kompetensi.

Hal ini diatur dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 (PDF) tentang Pendidikan Kedokteran. "Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi," bunyi Pasal 36 ayat (1).

Lalu dalam Pasal 36 ayat (2) tertulis: "Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi."

Pasal ini kemudian memunculkan Surat Edaran No.598/E.E3/DT/2014 (PDF) dari Dirjen Dikti Kemendikbud, kemudian Permenristekdikti Nomor 18 tahun 2015, dan dilanjutkan Surat Edaran Dirjen Belmawa Kemenristekdikti Nomor 1053/B/SE/2015, dan diperbaharuhi dengan Permenristekdikti Nomor 11 tahun 2016 (PDF).

Juru Bicara PDMI, Haswan mengatakan seluruh aturan tersebut berisikan hal yang sama. Ia menjelaskan sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi dikeluarkan bersamaan satu tahap. Artinya, calon sarjana kedokteran baru akan mendapatkan ijazahnya jika sudah lulus uji kompetensi.

"Seharusnya mendapatkan ijazah dulu, baru uji Kompetensi," kata Haswan kepada reporter Tirto, Senin (8/4/2019).

Haswan mengutip pertimbangan hukum dalam salinan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 (PDF) halaman 306. Isinya: "sertifikat profesi [ijazah] sebagai salah satu syarat memperoleh sertifikat kompetensi, sedangkan sertifikat kompetensi merupakan persyaratan untuk mendaftar ke KKI guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter (STR)."

Menurut Haswan, ijazah merupakan syarat untuk mengikuti uji kompetensi, bukan dibalik menjadi uji kompetensi sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah. Dengan pemahaman terbalik ini, kata Haswan, uji kompetensi menjadi momok bagi ribuan calon sarjana kedokteran.

"Padahal tidak ada hubungan antara ijazah dokter dan uji kompetensi. Yang ada ijazah dokter menjadi syarat untuk mengikuti Uji kompetensi," tuturnya.

Dalam surat terbuka yang dikirimkan kepada Presiden, Ketua PDMI Tengku A. Syahputra mengatakan ijazah dapat digunakan untuk bekerja di luar bidang klinis jika tidak lulus uji kompetensi. Namun karena peraturan ini, calon sarjana kedokteran terus dianggap sebagai mahasiswa sampai masa studi habis yakni 12 tahun.

"Setelah itu, kami bisa di DO secara otomatis, padahal sudah dinyatakan LULUS dari program studi dokter di masing-masing Fakultas Kedokteran. Bahkan sebagian dari kami masih harus membayar SPP," tulis Syahputra.

Tanggapan Kemenristekdikti

Menanggapi itu, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Ismunandar mengaku akan mempelajari hal yang dipersoalkan PDMI. Ia juga akan mempelajari salinan putusan MK yang dikutip dalam surat terbuka yang dikirim PDMI kepada presiden.

"Detailnya harus kami cek ke bagian hukum kami. Persisnya tentang masalah apa putusan MK tersebut dan Apakah kutipan di atas adalah putusan," kata Ismunandar, Senin (8/4/2019).

Ismunandar menjelaskan, berdasarkan Pasal 36 UU Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, calon sarjana kedokteran harus mengikuti uji kompetensi terlebih dahulu untuk menjadi dokter atau dokter gigi.

"Ijazah itu untuk tahap pendidikan akademik dan vokasi, untuk pendidikan profesi tidak dikenal ijazah. Adanya sertifikat," ujarnya.

Peningkatan Kualitas Pendidikan

Namun Ketua Majelis Pengembangan Keprofesian (MPPK) PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pudjo Hartono punya pandangan lain terkait polemik ijazah dan uji kompetensi ini. Menurutnya, sejak awal seharusnya ada standarisasi Fakultas Kedokteran.

"Memang seharusnya kualitas pendidikannya yang dulu diperbaiki. Yang distandarisasi itu proses pendidikanya," kata Pudjo.

Pudjo mengatakan kebijakan Kemenristekdikti menerapkan uji kompetensi dengan dalil untuk mendapatkan dokter-dokter yang berkualitas adalah jalan pintas. Ia menilai pemerintah tidak mampu menerapkan standar untuk perguruan tinggi

"Jangan produknya yang harus distandarisasi. Kasihan FK [Fakultas Kedokteran] yang sudah berstandar bagus, mereka harus ujian lagi," tuturnya.

Dampaknya, lanjut dia, para mahasiswa yang sudah menahun menyelesaikan pendidikannya dinyatakan belum lulus secara nasional hanya karena belum mengikuti uji kompetensi tersebut.

Menurut Pudjo sebaiknya pemerintah memperbaiki dahulu kualitas pendidikan kedokteran ketimbang menguji dua kali calon sarjana kedokteran.

"Saya kira harus [pemerintah dan pihak terkait] duduk bersama dulu."

Baca juga artikel terkait DOKTER atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan