tirto.id - Inter Milan memang harus mengakui keunggulan Juventus dalam laga Internasional Champions Cup (ICC) 2019 pada Rabu (24/7/2019) kemarin. Setelah bermain imbang 1-1 dalam waktu 90 menit, anak asuh Antonio Conte tersebut kalah 4-3 lewat drama adu penalti.
Meski begitu, tim yang bermarkas di salah satu kota mode dunia ini mampu menunjukkan sesuatu yang menarik.
Ceritanya, di tengah-tengah laga, saat mendapatkan tendangan gawang, dua bek tengah Stefan de Vrij dan Milan Škriniar berdiri amat dekat dengan kiper Samir Handanović. Tahu bahwa Handanović akan mengumpan pendek ke arah dua bek tersebut, para pemain depan Juventus bersiap melakukan pressing.
Handanović benar-benar mengumpan ke salah satu bek tengah untuk memulai build-up serangan dari belakang. Pemain-pemain depan Juventus langsung melakukan counter-pressing. Namun, pressing yang dilakukan Juventus ternyata terlambat sepersekian detik, dan serangan Inter berhasil sampai ke lini depan.
Jika dilihat saksama, pemain-pemain Juventus sebetulnya tidak melakukan kesalahan. Jarak antar lini Si Nyonya Tua dari belakang hingga depan begitu rapat sehingga pemain-pemain Inter seharusnya tidak punya celah melakukan umpan-umpan pendek.
Lalu mengapa pressing itu bisa gagal?
Posisi de Vrij dan Škriniar-lah sebab utama kegagalan counter-pressing Si Nyonya Tua. Saat Handanović melakukan tendangan gawang, sementara pemain-pemain Juventus tak boleh memasuki area penalti Inter sebelum bola ditendang, mereka dapat menerima umpan meskipun bola masih berada di dalam kotak penalti Inter.
Sebelumnya, cara seperti itu tidak diperbolehkan. Seorang pemain hanya boleh menyentuh bola di luar kotak penalti setelah tendangan gawang dilakukan. Namun, berdasarkan aturan anyar yang diresmikan oleh International Football Association Board (IFAB) pada 1 Juni lalu, apa yang dilakukan Inter jadi tidak menyalahi aturan.
Aturan terbaru IFAB (PDF) mengenai tendangan gawang menyebut bahwa “bola dapat dimainkan setelah tendangan gawang dilakukan meskipun bola itu diterima sebelum meninggalkan kota penalti.” Alasannya: aturan itu memungkinkan sebuah tim untuk memainkan bola lebih cepat, baik secara dinamis atau konstruktif, setelah bola mati.
Dan Inter berhasil menerapkannya dengan baik.
Memantik Inovasi
Aturan tendangan gawang tersebut sebetulnya bukan satu-satunya perubahan yang dilakukan IFAB menjelang bergulirnya musim 2019-2020. Masih ada perubahan peraturan lain seperti posisi kiper saat penalti, drop ball, hingga soal pergantian pemain.
Meski begitu, dibanding yang lain, perubahan aturan tendangan gawang tersebut paling mungkin memicu inovasi taktik baru. Alasannya, seperti perubahan aturan offside pada tahun 90/91, aturan tersebut bisa berdampak langsung terhadap jalannya pertandingan.
Menurut Pandit Football, Arrigo Sacchi, pelatih legendaris Milan, berhasil memperkenalkan garis pertahanan tinggi dan seni bertahan zonal marking karena perubahan aturan offside. Saat itu, karena seorang pemain baru dinyatakan dalam posisi offside apabila berdiri di depan bek terakhir, Sacchi meyakini bahwa bertahan mendalam tidak akan menguntungkan timnya.
Dari sana Sacchi kemudian menyuruh para pemain bertahannya memainkan garis pertahanan tinggi--berdiri sampai di tengah lapangan dalam fase bertahan, dengan jarak antara lini belakang dan lini depan tak boleh lebih dari 25 meter. Tujuannya: ia ingin penyerang lawan berada di belakang pertahanan Milan ketika menerima bola, sehingga berada dalam posisi offside.
Selain itu, agar garis pertahanan tinggi tersebut tidak menjadi blunder, Sacchi pun mengombinasikannya dengan zonal marking, cara bertahan yang tak lagi berorientasi terhadap man-to-man marking, melainkan menjaga daerah yang berada di sekitar pemain Milan.
Berdasarkan pengalaman Sacchi tersebut, Josh Lawless, penulis senior Sport Bibble, berpendapat perubahan aturan tendangan gawang bisa memberikan dampak serupa. Setidaknya, tim-tim yang mendewakan penguasaan bola akan memanfaatkan aturan itu sebaik-baiknya lantaran aturan amat cocok dengan cara bermain mereka.
Kata Lawless, jika Inter saja berhasil memanfaatkannya, hal serupa dapat dengan mudah dilakukan tim-tim yang memang mendewakan penguasaan bola seperti Barcelona, Manchester City, atau Ajax Amsterdam.
Ia kemudian menambahkan, “aku mulai membayangkan bagaimana caranya Frenkie de Jong (gelandang Barcelona) akan mengatur permainan dari dalam kotak penaltinya sendiri atau melihat Ederson (kiper Manchester City) mengoper bola lebih banyak daripada sebelumnya.”
Menunggu Respons Pep Guardiola
Antonio Conte barangkali menjadi pelatih pertama yang mencoba memanfaatkan perubahan aturan tendangan gawang tersebut, tetapi respons Pep Guardiola, pelatih Manchester City, jelas paling menarik untuk ditunggu. Alasannya sederhana: Guardiola bisa dibilang pelatih modern yang paling mendewakan penguasaan bola dan pelatih yang paling gemar menyuguhkan temuan-temuan anyar.
Dalam film dokumenter Barcelona yang berjudul Take The Ball Pass The Ball: The Making of Greatest Team of The World (2018), Javier Mascherano, mantan pemain Barcelona, pernah menyebut bahwa Pep Guardiola adalah pelatih yang berani mengambil risiko. Keberaniannya itu akhirnya melahirkan dua inovasi: counter-pressing dan build-up serangan dari lini paling belakang.
Karena saking hebatnya temuan itu, terutama soal cara Barcelona melakukan build-up serangan dari lini belakang, Victor Valdes, kiper Barcelona, bahkan sempat menyebut Guradiola gila.
Kala itu, menggunakan papan taktik serta dua magnet, Guardiola menjelaskan kepada Valdes bagaimana caranya mereka membangun serangan dari lini paling belakang. Ia menaruh dua magnet itu di persis di samping kotak penalti Barcelona. Dia menyebut dua magnet itu adalah dua bek tengah Barcelona.
“Ketika kamu melakukan tendangan gawang, aku ingin mereka ada di posisi itu,” kata Guardiola kepada Valdes. “Kamu harus mengumpan bola ke arah mereka, dan dari mereka itulah kita bisa memulai serangan.”
Karena pendekatan itu sangat berisiko, Valdes lalu mengatakan bahwa kedua bek itu harus mempunyai keberanian untuk menerima bola dari kakinya. Guardiola lalu menjawab enteng: “jangan khawatir, sudah menjadi tugasku untuk membuat mereka selalu menginginkan bola.”
Barcelona akhirnya benar-benar menerapkan keinginan Guardiola tersebut. Seperti kekhawatiran Valdes, pada awalnya pendekatan tersebut memang sering berakhir dengan blunder. Namun, seiring berjalannya waktu, pendekatan itu akhirnya menjadi kunci sukses Barcelona. Barca nyaris tak tersentuh hingga akhirnya mampu meraih segalanya.
Yang menarik, pendekatan itu kemudian menjadi pedang bermata dua bagi Pep Guardiola. Selain ditiru, pelatih lain juga mulai menemukan cara menghentikannya.
Maka, saat Pep tetap menerapkannya ketika menjadi pelatih Bayern Muenchen dan Manchester City, risiko dari pendekatan itu tentu bertambah besar: Bayern Muenchen dan Manchester City seringkali kalah dalam pertandingan-pertandingan krusial karena Pep tak mau mengubah pendekatannya.
Meski begitu, Guardiola adalah seorang pelatih keras kepala yang lebih senang gagal dengan idenya sendiri daripada meraih keberhasilan dengan menggunakan gagasan orang lain. Oleh karena itu, aturan anyar mengenai tendangan gawang itu barangkali akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pelatih asal Catalan tersebut.
Entah bagaimana hasilnya nanti, BBC setidaknya sudah mengingatkan: “perubahan itu tentu bisa memberikan dampak besar bagi Manchester City yang para pemain belakangnya bisa dengan tenang menerima bola di dalam kotak penalti sendiri ketika Ederson melakukan tendangan gawang.”
Editor: Rio Apinino