tirto.id - Saat menginjakkan kaki untuk kali pertama di Italia pada musim panas 1987, Marco van Basten, penyerang baru AC Milan, langsung dicegat pertanyaan sulit oleh seorang wartawan.
Wajahnya yang semula tampak semringah, saat memberi tanda tangan untuk para penggemar Milan, tiba-tiba berubah menjadi agak serius. Si wartawan menanyakan pendapatnya tentang pelatih baru Milan, Arrigo Sacchi.
“Sacchi?” jawab Basten. “Aku tidak tahu apa pun tentang dia, apakah kamu tahu?”
Wartawan itu jelas tahu siapa sosok Sacchi. Selepas pindah dari Parma ke AC Milan, Sacchi dikenal sebagai Signor Nessuno atau Mr. Nobody alias “bukan siapa-siapa” di kalangan pers Italia.
Sebutan itu muncul bukan tanpa sebab. Sacchi dinilai tidak cukup kredibel untuk menangani tim sekelas AC Milan. Selain sebelumnya cuma melatih Parma, ia juga hanya mantan penjual sepatu yang tidak pernah berkarier sebagai pesepakbola profesional. Pers Italia menganggap bahwa Sacchi merupakan wujud dari perjudian konyol yang dilakukan oleh Silvio Berlusconi, bos AC Milan.
Menariknya, van Basten ternyata ikut bertingkah layaknya pers Italia. Pada pekan kedua Serie A musim 1987-1988, AC Milan kalah 0-2 dari Fiorentina. Merasa tidak puas, pemain yang sebelumnya membela panji Ajax Amsterdam ini pun mempertanyakan taktik yang diterapkan Sacchi. Namun, alih-alih berang, Sacchi merespons protes van Basten dengan begitu cerdik. Pada pekan ketiga, ia memilih mencadangkan Basten, sembari berkata:
“Marco, karena kamu sangat paham menyoal taktik, kamu bisa duduk di sampingku sambil mengoreksi setiap kesalahanku di sepanjang pertandingan.”
Sekitar tiga musim setelah kejadian itu, tidak ada lagi yang mempertanyakan kualitas Sacchi. Pasalnya, Sacchi berhasil membawa Milan meraih satu scudetto (1987-1988) serta dua gelar Piala Champions Eropa secara berturut-turut (1988-1989 dan 1989-1990). Mulut pers Italia ia bungkam rapat-rapat, sementara anak didiknya ia bawa ke puncak dunia.
Hebatnya lagi, ketika meraih kesuksesan tersebut, Milan melakukannya dengan gaya bermain yang menyerang; mendobrak dogma sepakbola Italia pada umumnya yang hobi bertahan.
Sistem Permainan adalah Kunci
Suatu kali Sacchi pernah berkata, “Sistem [permainan] adalah pemimpin di atas lapangan; tidak pernah cedera dan lelah. Bukan para pemain yang memenangkan pertandingan besar. Itu adalah sistem permainan.”
Semula, prinsip Sacchi dianggap konyol oleh para pemain Milan. Liga Italia ketika Sacchi melatih adalah tanah surga bagi individu-individu brilian. Buktinya sudah banyak.
Milan pernah berjaya karena permainan ajaib Giovanni Rivera di pos trequartista; Napoli punya Maradona yang kemampuan olah bola maupun karismanya dipadang menyerupai Tuhan; dan Juventus, sempat mengandalkan Gaetano Scirea, seorang libero andal yang sangat susah untuk dilewati penyerang bertipe apa pun.
Namun, Sacchi tetap bersikukuh pada pendiriannya. Ia lantas memberi bukti bahwa argumennya bukan omong kosong. Maka, dibikinlah sebuah skema permainan untuk membuktikan klaim itu.
Sacchi menantang sepuluh pemain Milan━termasuk di dalamnya ada Ruud Gullit dan van Basten━untuk membongkar lima pemain bertahan yang sudah ia atur sedemikian rupa. Para pemain diberi waktu 15 menit untuk mencetak gol.
Namun, tantangan Sacchi gagal dituntaskan van Basten dan konco-konconya. Mereka tak sekalipun berhasil mencetak gol. Dari situ, mereka lalu sadar bahwa kolektivitas merupakan jantung permainan sebuah tim.
Di bawah komando Sacchi, Milan terbiasa bermain dengan formasi 4-4-2. Dalam formasi itu, kendati tujuan utamanya adalah bermain menyerang, cara bertahan tetap memainkan peranan penting.
Sacchi gemar sekali memainkan garis pertahanan tinggi di mana jarak pemain paling belakang dan pemain paling depan tak boleh lebih dari 25 meter. Tujuannya jelas: selain untuk melakukan jebakan offside, Sacchi ingin timnya mempersempit ruang yang dimiliki oleh lawan━sekaligus mempermudah Milan dalam melakukan pressing.
Menyoal pressing, Sacchi pun mempunyai tiga pendekatan yang berbeda. Jonathan Wilson, analis taktik sepakbola asal Inggris, pernah menjelaskan dalam bukunya yang terkenal: Inverthing The Pyramid: The History of Soccer Tactics (2008).
“Ada partial pressing yang tujuannya untuk saling berebut bola; ada total pressing untuk memenangkan bola; ada fake pressing, ketika Anda berpura-pura melakukan pressing, tetapi pada kenyataannya malah menggunakan pressing itu untuk memulihkan diri [menunda serangan lawan agar para pemain Milan dapat kembali ke posisinya],” demikian tulis Wilson, sebagaimana dilansir Bleacher Report.
Pendekatan Milan dalam bertahan kemudian dilengkapi dengan sistem zonal-marking. Dalam zonal-marking, semua pemain Milan━tak terkecuali pemain depan━mempunyai tanggung jawab untuk menjaga daerahnya. Mereka tidak diperbolehkan memberikan ruang sedikit pun bagi pemain lawan. Itu artinya, saat melakukan pressing, pemain-pemain Milan tidak melakukan tekanan terhadap pemain lawan, melainkan menekan ruang yang dimiliki oleh pemain lawan.
Hasilnya tokcer: Milan menjadi sulit ditembus oleh tim lawan. Saat meraih scudetto musim 1987-1988, misalnya, gawang Milan yang dikawal Filippo Galli hanya kebobolan 14 gol dalam 30 laga. Anda bisa membandingkannya dengan, ambil contoh, AS Roma, tim defensif nomor dua, yang justru kemasukan 26 gol dalam jumlah pertandingan yang sama.
Sementara pressing memudahkan Milan untuk menguasai bola, jarak antar lini yang cukup rapat turut pula memudahkan Milan dalam bermain menyerang secara kolektif. Pemain-pemain Milan bisa secara leluasa bertukar posisi, memainkan umpan-umpan kombinasi, sekaligus membuat pemain bertahan lawan tampak seperti orang linglung.
Guna membuat pemain-pemain Milan terbiasa melakukan pergerakan tanpa bola, Sacchi menerapkan metode latihan yang dikenal dengan istilah shadow-play━adu tanding 11 lawan 11 pemain Milandengan bola imajiner.
"Saya akan memberi tahu para pemain di mana bola imajiner berada dan para pemain harus bergerak sesuai petunjuk itu, mengumpan dengan bola imajiner ... [semuanya] berdasarkan reaksi dari para pemain," tukas Sacchi.
Walaupun mendatangkan efek yang signifikan, metode latihan Sacchi sempat ditertawakan oleh salah seorang scout Real Madrid yang diminta mengamati latihan Milan menjelang babak semifinal Piala Champions 1988-1989.
Entah berhubungan atau tidak, Madrid pun mesti menerima akibatnya: di pertandingan leg kedua babak semifinal mereka dihajar Milan lima gol tanpa balas. Pergerakan cair van Basten, Gullit, Frank Rijkaard, dan Roberto Donadoni di lini depan berhasil membuat area pertahanan Madrid berantakan.
“Penampilan Milan adalah gabungan dari keunggulan teknis, kecepatan dinamis, dan pergerakan inspiratif,” tulis Brian Galnville, jurnalis majalah World Soccer, tentang pertandingan Madrid melawan Milan.
Penampilan trengginas Milan saat menghadapi Madrid berlanjut di pertandingan final. Menghadapi Steaua Bucharest, Milan tak hanya menang 4-0, tetapi juga sukses menghancurkan mental tim asal Rumania tersebut.
“Aku kelelahan pada akhir pertandingan. Di sepanjang hidupku, aku tidak pernah menerima tembakan ke arah gawang sebanyak itu,” ungkap Silviu Lung, kiper Bucharest.
Satu musim setelahnya, tepatnya dalam gelaran Piala Champions 1989-1990, sihir Sacchi masih bertaji: Milan kembali meraih gelar dengan cara yang sama. Sacchi, yang sebelumnya dianggap bukan siapa-siapa oleh pers Italia, lantas dikenal sebagai salah satu pelatih revolusioner dalam sejarah sepakbola dunia.
Atas prestasinya tersebut, majalah World Soccer menobatkan Milan era Sacchi (1987-1991) sebagai salah satu tim yang paling berpengaruh dalam dunia sepakbola, berada di urutan keempat, setelah timnas Hungaria 1954, Brasil 1970, serta Belanda 1974.
Menyoal revolusi yang dibawa Sacchi, Paolo Maldini, mantan bek andalan Sacchi, pernah menjelaskannya secara sederhana:
“Sebelum Sacchi datang ke Milan, bentrokan antara dua pemain yang saling berlawanan adalah kunci, tetapi bersama Sacchi itu semua tentang pergerakan tanpa bola, dan dari situlah kami berhasil memenangkan pertandingan.”
Editor: Suhendra