Menuju konten utama

Dominasi Pemain Berpostur Pendek dalam Sepakbola

Melihat hegemoni pesepakbola berpostur pendek di atas lapangan hijau.

Dominasi Pemain Berpostur Pendek dalam Sepakbola
Pemain Barcelona Lionel Messi dan Daniel Alves merayakan gol pada pertandingan penyisihan Grup H Liga Champions melawan Ajax Amsterdam di Camp Nou Stadium, Barcelona, Spanyol (18/9/13). AP Photo/Emilio Morenatti

tirto.id - Anda tentu sering mendengar bagaimana komentar klise para komentator Indonesia saban tim nasional kebobolan melalui gol sundulan atau tiap bek lawan terus menang dalam duel di udara: “Kalah postur!”

Sesungguhnya, persoalan menang-kalah dalam sepakbola tidak pernah sereceh ucapan para komentator tersebut. Ingatlah penganugerahaan FIFA Ballon d’Or edisi 2010 silam, ada dua hal menarik kala itu. Selain ketiga finalisnya adalah pemain Barcelona, semuanya juga memiliki postur tubuh yang mungil untuk ukuran orang Eropa: Lionel Messi (1,69m), Andres Iniesta (1,70m), dan Xavi Hernandez (1,70m).

Tentu saja anggapan soal postur tidak sepenuhnya salah. Seorang pesepakbola dengan postur tinggi memang memiliki keuntungan tersendiri. Di lini depan, pemain tinggi dapat memudahkan bermain dengan strategi umpan silang. Sementara di pertahanan, bek berpostur tinggi besar seperti Virgil van Dijk (1,93m), misalnya, lebih memberi kesan aman dibanding pemain yang bertubuh lebih mungil.

Namun, sekali lagi, persoalan hebat tidaknya sebuah tim sepakbola tidak sesederhana dari seberapa tingginya pemain yang mereka miliki. Lagi pula, ketika membicarakan fisik manusia pun ada banyak parameter fisik yang wajib disimak. VO2max (volume maksimal O2), kadar asam laktat dalam darah, persentase massa lemak tubuh, kekuatan aerobik, hingga kekuatan anaerik, hanyalah sekian kecil parameter umum yang jamak diketahui.

Kembali ke postur tubuh. Jika melihat aktivitasnya di lapangan, postur tubuh yang tinggi menjadi hal mutlak bagi kiper. Kendati ada juga kiper hebat yang memiliki tubuh mungil, bahkan untuk ukuran pesepakbola Asia sekalipun. Salah satu contoh terbaik dalam hal ini adalah Jorge Campos. Kiper legendaris asal Mexico yang memiliki kebiasaan menjahit seragamnya sendiri ini memiliki tinggi hanya 1,68m.

Berkebalikan dengan kiper, postur tubuh tinggi tidak terlalu diperlukan bagi seorang pemain sayap berdasarkan aktivitas mereka di lapangan. Lima tuntutan dasar untuk seorang pemain sayap adalah daya tahan (endurance), kecepatan, menggiring bola, mengumpan, dan terakhir adalah kemampuan bertahan.

Hal tersebut tetap berlaku kendatipun taktik sepakbola kini telah jamak mengenal pemain tipe inverted winger: pemain sayap yang menempati sisi lapangan yang berlawanan dengan kekuatan kaki terbaiknya dan lebih diberi kebebasan untuk menggiring bola menusuk ke kotak penalti. Dengan fakta tersebut, maka postur tinggi justru akan menyulitkan pemain sayap untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Anda tentu amat jarang bukan melihat pemain sejangkung Per Mertesacker (1,93m) menyisir pinggir lapangan?

Hegemoni Pemain Bertubuh Pendek

Sejatinya, kehebatan pesepakbola bertubuh pendek bukanlah yang mengejutkan. Sepanjang sejarah sepakbola, justru pemain dengan postur demikianlah yang acap mengguncang dunia. Gerd Muller, Jean-Pierre Papin, Diego Maradona, silakan sebut saja.

Salah satu alasan utama mengapa pesepakbola berpostur pendek dapat bermain lebih baik berhubungan dengan prinsip biomekanika. Dijelaskan bahwa pusat gravitasi individu seseorang dengan postur pendek lebih dekat ke tanah dan hal itu memberikan nilai plus dalam menjaga keseimbangan. Itulah kenapa, misalnya, Messi atau Diego Maradona amat mudah berbelok arah tanpa terjatuh meski tengah menggiring bola dalam kecepatan tinggi.

Ingat gol spektakuler Messi ke gawang Athletic Bilbao saat final Copa del Rey 2015? Tim ESPN Sports sampai melakukan analisis saintifik mengenai gol tersebut.

Kecepatan Messi ketika berlari menggiring bola mencapai 31,38 km/jam dalam tempo 2,73 detik. Ketika 3 bek Bilbao mengepungnya, Messi mengurangi kecepatan dan melakukan 3 sentuhan dalam tempo 1,2 detik untuk mengubah pergerakan. Saat menusuk ke kotak penalti, Messi hanya memiliki ruang seluas 5 kaki sebelum melepaskan tembakan gawang dengan kecepatan 77,24 km/jam. Seluruh pergerakan sepanjang nyaris 60 meter tersebut terjadi hanya dalam tempo 11,4 detik saja.

Berdasarkan penelitian Thomas Reilly, seorang ahli sports science asal Inggris, mengenai kekuatan, kecepatan, dan daya tahan tubuh dalam latihan sepakbola, ditunjukkan bahwa cara Messi menggiring bola sejauh 10 meter sesungguhnya jauh lebih melelahkan ketimbang berlari sprint sejauh 100 meter.

Pasalnya, Messi berkali-kali melakukan perubahan kecepatan saat menggiring bola, yang menyebabkan otot-otot juga harus melakukan kontraksi dan relaksasi secara berulang-ulang. Dalam kondisi tersebut, produksi asam laktak pada otot (yang memberikan sensasi rasa pegal) juga akan lebih besar, sehingga efeknya membuat seseorang lebih cepat merasa lelah.

Namun bukan hanya Messi dan juga Maradona, pemain berpostur pendek yang memiliki kekuatan seperti itu. Tengoklah bagaimana cara bermain duo Perancis Alain Giresse (1,62m) dan Jean Tigana (1,68m), Thomas Hassler (1,66m) dan Pierre Littbarski (1,68m) dari Jerman, legenda Skotlandia Jimmy Johnstone (1,57m) dan Archie Gemmill (1.67m), atau yang lebih fenomenal lagi: Garrincha (1.69m). Anda akan menemukan kemiripan yang nyaris presisi dengan Messi.

Hegemoni para pemain berpostur pendek mulai mewabah sejak taktik bermain mengandalkan umpan pendek cepat, pergerakan gesit, dan penguasaan bola bernama Tiki-Taka mulai berkembang di Spanyol. Rumus ini semakin paten tatkala Pep Guardiola memaksimalkan kemampuan para pemain di La Masia, yang kelak menghasilkan trinitas suci Barcelona: Messi, Xavi, Iniesta.

Tiki-Taka mengagumkan sekaligus dibenci karena obsesinya terhadap umpan dan dominasi bola. Namun, suka atau tidak, taktik tersebut menghasilkan gelar Piala Dunia pertama dan dua trofi Piala Eropa secara beruntun bagi Spanyol. Sementara bagi Blaugrana, Tiki-Taka menjadikan mereka menjadi tim pertama dalam sejarah sepakbola Eropa yang sukses merengkuh 6 gelar mayor dalam satu musim.

“Setelah Barcelona dan Spanyol berhasil di level tertinggi, para pemain pendek diuntungkan karena mereka menjaga bola di lapangan dengan menggunakan keterampilan teknis ketimbang fisik. Mereka mudah mengelabui Anda dengan pivot yang lebih cepat,” kata Tommy Thompson, gelandang San Jose Earthquakes, klub sepakbola di MLS.

Infografik Kesebelasan bertubuh mungil

Beberapa musim belakangan, ada dua pemain berpostur pendek lain yang tengah menjadi perbincangan hangat dalam dunia sepakbola. Mereka adalah N’Golo Kante (1,68m) dan Lucas Torreira (1,66m). Keduanya meneruskan tradisi (plus anomali) sebagai gelandang tengah berpostur pendek yang tak hanya piawai menjadi benteng pertahanan, tapi juga apik dalam menjaga keseimbangan tim seperti Claude Makelele (1,68m). Jangan lupakan pula pemenang Ballon d’Or terbaru adalah Luca Modric, jenderal lapangan tengah Real Madrid dan Kroasia yang memiliki tinggi 1,72m.

Terlepas dari segala penjelasan statistik terkait atletisisme pesepakbola berpostur pendek, hal utama yang menyebabkan mereka dapat bermain bagus di antara para pemain jangkung adalah kengototannya. Dan ini acapkali berasal dari berbagai pengalaman diremehkan yang sering mereka terima sejak kanak. Sebagaimana yang sempat diungkapkan oleh Bixente Lizarazu, mantan bek kiri Perancis saat menjuarai Piala Dunia 1998, kepada FIFA.

Ketika masih belia, Lizarazu sering dinilai tidak dapat menjadi pesepakbola pro karena tubuhnya terlampau pendek--tingginya kini 1,69m. Namun Lizarazu mempersetankan semua anggapan tersebut.

“Saya bukan orang yang mudah menyerah. Pada awal karir, saya memiliki berat 69 kg, tetapi tiap akhir musim saya selalu latihan maksimal di gym hingga akhirnya mencapai berat 75 kg. Saya mengasah fisik saya seperti seekor seorang bison kecil yang siap untuk bertempur. Terkadang mereka yang diberkati dengan segala hal menguntungkan tidak bekerja cukup keras. Bagi kami, orang pendek, ketika memutuskan untuk melakukan sesuatu kami akan memberikan 120 persen.”

Lizarazu tak asal ucap. Itu pula kenapa nasib Sergio Aguero jauh lebih bagus ketimbang Andy Carroll.

Baca juga artikel terkait ATLET SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono