Menuju konten utama

Ashley Young Bukan Kapten yang Tepat untuk Manchester United

Pada musim 2018-2019, Manchester United tak pernah meraih angka setelah kebobolan terlebih dahulu.

Ashley Young Bukan Kapten yang Tepat untuk Manchester United
Ashley Young. (AP Photo/Rui Vieira)

tirto.id - Kekalahan Manchester United dari Newcastle United di St James Park, markas The Magpies, pada akhir pekan pertama Oktober 2019, kembali membuat klub itu mendapat sorotan tajam.

Gol semata wayang Matthew Longstaff pada laga itu membuat Setan Merah sementara ini nangkring di posisi 12 Premier League, hanya mengumpulkan 9 angka dalam 8 pertandingan, dan unggul 2 angka dari Everton yang ada di zona degradasi.

Media-media Inggris lalu serentak memberitakan: itu adalah start terburuk Setan Merah selama 30 tahun terakhir.

Di halaman muka berbagai media pula, foto wajah-wajah lesu para pemain Man United ditampilkan. Sementara para pengamat sepakbola Inggris, yang mengisi kolom di media-media itu, tak luput mengeluarkan kritik penampilan buruk anak asuh Solskjaer tersebut.

Henry Winter, misalnya. Jurnalis kawakan The Times itu mempertanyakan semangat bertarung United yang tak tampak saat menghadapi Newcastle. Padahal selama ini, semangat bertarung di atas lapangan merupakan salah satu senjata utama Setan Merah untuk menguasai sepakbola Inggris.

Kata Winter kemudian, United tampil seperti baterai yang kehabisan daya. Bahkan, “Pendukung Setan Merah mampu menunjukkan semangat bertarung yang lebih besar dibanding pemain-pemain Setan Merah,” imbuh Winter.

Sementara itu, Jonathan Wilson, pakar taktik sepakbola Inggris, sampai mengibaratkan penampilan United saat menghadapi Newcastle seperti adegan dalam film horor. United, kata Wilson di Guardian, “tampak sedang berjalan sambil tidur dan menuju sesuatu yang amat buruk.”

Dasar kritik Wilson itu: bagaimana bisa United kalah dari Newcastle yang baru meraih satu kemenangan pada musim ini, yang pada pertandingan sebelumnya kalah 5-0, yang dilatih oleh Steve Bruce, pelatih yang gagal menang melawan United dalam 21 pertandingan sebelumnya?

Namun, di antara kritik yang mengarah ke United tersebut, kritik dari Tony Cascarino, mantan pesepakbola Inggris yang rajin mengisi kolom di The Times, bisa dibilang paling menarik. Saat ia melihat reaksi pemain-pemain United setelah Longstaff mencetak gol ke gawang De Gea, Cascarino mengaku kaget dan langsung mengambil kesimpulan tegas.

“Untuk menjadi pemain United [...] Anda harus punya keberanian. Namun, tim ini hanya bisa menundukkan kepala. Rasa-rasanya saat itu mereka seperti sedang bertanya kepada diri sendiri: ‘kepada siapa kami harus melihat?’ Tidak ada Eric Cantona, tidak ada Roy Keane [..] tidak ada masa lalu hebat yang bisa mengubah mereka semua,“ tulis Cascarino.

Dan ia juga memberi tambahan penting, “United tidak punya pemimpin yang bisa mendorong mereka untuk melakukan keberanian.”

Kritikan Cascarino tersebut tentu saja bisa membikin telinga Ashley Young merah.

Baca juga:

Plus Minus Young

Pada April 2019, saat Manchester United bertanding melawan Barcelona dalam pertandingan leg pertama perempat-final Liga Champions 2018-2019, Solskjaer memilih Young sebagai kapten Setan Merah.

Bermain sebagai wing-back kanan dalam formasi 3-5-2, tugas Young malam itu agak berat. Selain harus mampu memimpin rekan-rekannya di atas lapangan, ia juga harus mampu membendung Jordi Alba, full-back kiri Barca, sekaligus menyuplai serangan United dari sisi kanan.

Young ternyata hanya mampu tampil apik pada menit-menit awal. Setelah Luis Suarez membobol gawang United pada menit ke-12, Young tampil seperti "kakus mampat".

Ia kehilangan bola 32 kali, terbanyak di antara pemain-pemain lainnya. Dari 11 umpan silang yang dikirim Young, semuanya juga gagal menemui sasaran. Hari itu United akhirnya kalah 0-1 dari Barcelona.

Mantan pemain sayap Aston Villa tersebut lantas dihantam bertubi-tubi kritik oleh para penggemar Red Devils. Kritik itu tambah deras dan nyelekit ketika United kembali kalah dari Barcelona (3-0) di pertandingan leg kedua dan kalah telak dari Everton (4-0) di liga.

Hanya Gary Neville, yang juga mantan kapten United, yang menilai bahwa Young tidak pantas dijadikan sebagai sasaran tembak.

Menurut Neville, selama 10 tahun berseragam Manchester United, Young sebetulnya memiliki etos kerja yang nyaris tiada banding. Saat orang-orang menyebut jangan mainkan Young, kata Neville, “Ia tiba-tiba akan bermain bek kiri, bek kanan, bek kiri lagi, bek kanan lagi, untuk menutup keinerja buruk United di bursa transfer.”

Posisi-posisi itu padahal bukan posisi terbaik Young, tapi, menurut Neville: “Young akan selalu memberikan segalanya setiap mendapatkan kesempatan.”

Richard Jolly, dalam salah satu tulisannya dari FourFourTwo, juga mendukung pembelaan Neville tersebut. Ia menulis:

“Pada masa United tampil di bawah standar, Young mampu meraih banyak prestasi. Pada titik ketika komitmen orang lain terhadap United diragukan, komitmen Young tak usah dipertanyakan. Pada era di mana pemain yang lebih mahal gagal memenuhi eksptekstasi terhadap seorang pelatih, Young bisa bertahan di bawah kendali lima pelatih berbeda.”

Pembelaan Neville dan Jolly tersebut tentu saja ada benarnya. Young adalah pemain serba-bisa, tak pernah pamrih saat bermain di luar posisinya, dan siap menanggung segala macam kritik saat ia dan United tampil buruk. Selain itu, bertahan dalam tekanan besar selama 10 tahun lamanya tentu saja bukanlah sebuah perkara yang mudah.

Namun, saat Solskjaer lantas mempermanenkan status Young sebagai kapten Man United pada pada musim 2019-2020 dengan alasan-alasan tersebut, apakah itu sebuah keputusan yang tepat? Jawabannya masih memicu perdebatan, tapi Sir Alex Ferguson punya petunjuk untuk mencari tahu itu semua.

Baca juga:

Peran Penting Kapten

Dalam bukunya yang berjudul Leading (2015), Fergie pernah mengatakan bahwa sebesar apa pun pengaruhnya sebagai pelatih, ia tak akan bisa mengendalikan jalannya sebuah pertandingan. Maka ia akan membutuhkan seorang wakil yang dapat memimpin laju timnya di atas lapangan dan pemilihan kapten pun menjadi sebuah keputusan penting.

Soal kandidatnya, Fergie menulis, “Aku mempunyai kepribadian kuat, dan ketika aku memilih orang untuk menyampaikan gagasanku kepada orang lain, aku akan mencari orang dengan kualitas kepribadian yang sama denganku.”

Selain itu, orang-orang pilihan tersebut juga harus mempunyai empat atribut yang diinginkan Fergie: (1) mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin di atas lapangan, (2) bisa dipercaya, (3) dihormati pemain-pemain lainnya, dan (4) mampu beradaptasi untuk mengubah keadaan.

Jika melihat kapten-kapten United pada eranya, teori Fergie tersebut memang tak jauh panggang dari api. Meski memiliki karakter yang berbeda-beda, Bryan Robson, Steve Bruce, Eric Cantona, hingga Patrick Evra adalah pemain-pemain dengan kepribadian kuat.

Selain itu, apabila kapten-kapten United tersebut tidak mempunyai atribut sesuai dengan keinginan Fergie, United tentu saja akan kesulitan untuk berprestasi. Setidaknya beberapa momen terbaik United di era Fergie terjadi karena peran besar dari kapten-kapten United tersebut.

Saat United berhasil meraih gelar Premier League pertama pada musim 1992-1993, pemilihan Steve Burce sebagai kapten adalah salah satu alasan utamanya. Dalam pertandingan sengit melawan Sheffield Wednesday di Old Trafford, ia berhasil mencetak dua gol telat penentu kemenangan Setan Merah.

Bruce, kata Fergie, adalah “pria yang selalu muncul dalam waktu dan momen yang tepat.”

Sementara itu, kemenangan Setan Merah 1-0 atas Liverpool dalam laga final Piala FA 1996, juga tak lepas dari peran Cantona, sosok yang kerap dianggap sebagai kapten United terbaik sepanjang masa. Masih dalam buku Leading (2015), Fergie menulis:

”Aku menghabiskan waktu bersama Eric dan Schmeichel untuk mencari solusi tentang bagaimana kami akan mengatasi Steve McManaman. Eric menyarankan agar kami memainkan Keane agak dalam, persis di depan empat bek kami, untuk menjaga McManaman. Itu adalah pengamatan cerdik dan kami mengikutinya. Hasilnya: MacManaman mati kutu dan [...] Eric berhasil mencetak gol kemenangan.”

Peran Roy Keane saat United melakukan comeback di Turin, Italia, dalam laga leg kedua semifinal Liga Champions 1998-1999 kontra Juventus, tentu saja tak bisa dilupakan. Kala itu, United sempat ketinggalan 2-0 terlebih dahulu, digempur Juventus sejak awal laga, dan tampak akan kalah sebelum laga benar-benar bubar.

Namun, Keane berjuang seperti orang barbar.

Menurut Sam Walker, dalam bukunya yang berjudul The Captain Class (2016:hlm 233), Keane selalu tampak sedang berlari ketika kamera televisi menyorotnya. Ia terus berusaha menutup arah umpan pemain-pemain Juventus dan selalu mengirim bola ke depan ke setiap kali mendapatkan kesempatan.

Bahkan, setelah berhasil membuat United memperkecil kedudukan lewat sundulan kepala, ia rela mengorbakan diri agar timnya meraih kemenangan.

“Keane melakukan tekel yang buruk terhadap Zinedine Zidane yang sedang merancang serangan berbahaya Juvetus. Ia lantas mendapatkan kartu kuning ketiganya di sepanjang turnamen. Artinya, sesuai dengan aturan Liga Champions, ia tak akan bisa tampil di laga final,” tulis Walker.

Meski begitu, usaha Keane ternyata tak sia-sia. Pemain-pemain United yang mulai menunduk jadi bangkit karena Keane. United akhirnya menang 2-3. Dan ketika para penggemar secara mengejutkan memberikan standing ovation untuk Keane sesudah pertandingan, Fergie mengatakan:

“Keane lebih baik mati daripada kalah di dalam pertandingan.”

infografik Derby Manchester

infografik Derby Manchester

Yang menarik, apa yang dilakukan Keane di Turin tersebut sebenarnya bisa menjadi salah satu alasan mengapa Ashley Young bukanlah pilihan tepat untuk menjadi kapten Setan Merah. Young barangkali mempunyai kepribadian kuat, juga punya keingingan menjadi pemimpin, bisa dipercaya, dan dihormati oleh pemain-pemain United lainnya.

Namun, pemain kelahiran 9 Juli 1985 itu tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keadaan seperti Keane.

Selama era Keane, United terkenal sebagai raja comeback, dengan dogma yang terang benderang: “United tak pernah kalah, mereka hanya kehabisan waktu.” Sementara itu, pada musim ini saja, United tak pernah meraih angka setelah kebobolan terlebih dahulu. Terakhir kali Red Devils berhasil comeback di liga ketika Young menjadi kapten terjadi pada 6 Oktober 2018 di Old Trafford: menang 3-2 atas Newcastle.

Fergie menilai, kemampuan mengubah keadaan itu penting bagi seorang kapten. Ia menulis: “Tidak akan ada jendral yang mampu memenangkan perang kecuali dia mempunyai kolonel yang, di tengah pertempuran yang buruk, mampu mengerahkan pasukan, mendorong mereka lewat tindakan, dan membantu mereka menantang peluang.”

Sebagai kapten sekaligus full-back, Young masih menjadi pengumpan silang yang buruk. Whoscored mencatat, bahwa dari 49 percobaan umpan silang yang dilakukan Young di Premier League musim ni, 2/3 umpan tersebut melenceng gagal menemui sasaran.

Dengan melihat fakta tersebut, atau setidaknya dalam persepsi Fergie, Young sepertinya memang bukan kapten yang tepat untuk United. Lalu siapa sosok yang pas untuk mengisi peran tersebut di skuat United sekarang?

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Eddward S Kennedy