tirto.id - Kodak mengumumkan telah menghidupkan kembali produk Kodak Ektachrome Film akhir Januari lalu. Pengumuman bersejarah ini setelah Kodak mematikan bisnis ini sejak 1 Maret 2012 silam.
Kodak Ektachrome Film, sebuah film seluloid yang biasa dipakai fotografer dan juru kamera analog, menghasilkan foto atau gambar berwarna yang punya cita rasa tersendiri daripada produk digital.
Mengapa Kodak menghidupkan kembali film seluloid di tengah maraknya kamera digital?
Jawabannya tak lain adalah karena penjualan film seluloid meningkat. Kodak dalam sebuah pernyataannya, sebagaimana dikutip dari PetaPixel, mengatakan bahwa, “penjualan dari fotografi film profesional telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan fotografer dan para penggemar mengemas ulang kendali artistik melalui proses manual.”
Targetnya, ketersediaan film seluloid legendaris tersebut, akan tersedia di kuartal IV-2017. Kodak akan mengeluarkan Ektachrome bagi pengguna kamera foto analog maupun bagi pengguna kamera video analog. Pabrik Kodak di New York, Amerika Serikat, akan memproduksi Ektachrome untuk dunia video, sementara pabrik kodak di Inggris Raya akan memproduksi Ektachrome bagi dunia fotografi. Kembalinya Kodak Ektachrome akan membuat banyak kalangan bernostalgia dengan produk tersebut dan tentu saja memberikan perspektif artistik berbeda bagi fotografer atau videografer generasi baru.
Pada 1997, sebagaimana diwartakan Photography Life, adalah puncak penjualan kamera analog. Statista mencatat penjualan kamera analog mengalami penurunan. Pada 2003 merupakan tahun di mana kamera analog masih mengungguli penjualan kamera digital, 57 juta kamera analog terjual dan baru 50 juta kamera digital terjual di tahun yang sama. Namun setahun setelahnya, penjualan kamera analog telah disalip oleh kamera digital. Kala itu, penjualan kamera digital telah mencapai 76 juta unit, bandingkan dengan kamera analog yang hanya terjual 43 juta unit. Diprediksi, kamera analog hanya tinggal kenangan di masa depan.
Tapi sesungguhnya, baik fotografi analog maupun videografi analog belum benar-benar mati. Untuk itulah Kodak masih berani mengeluarkan produk film seluloid untuk mendukung kedua hal tersebut. Sebagaimana diwartakan Film Maker Magazine, di 2014 setidaknya ada 39 film Hollywood yang masih menggunakan kamera analog dan film seluloid untuk merekam aksi-aksi para aktor yang bermain.
Jurrasic World, Spectre, dan Batman vs Superman: Down of Justice merupakan film-film besar yang masih menggunakan pita seluloid dalam proses produksinya. Dikatakan John Schwartman, seorang pekerja Hollywood sebagaimana dikutip dari Film Maker Magazine “Saat ini (2013), ada sebelas film dengan dana lebih dari $100 juta yang syuting dan mempersiapkan diri di London. Tujuh di antaranya adalah film (seluloid/analog).”
Berdasarkan Stephenfollow.com, banyak film-film Hollywood yang masih menggunakan kamera analog adalah karena efek “realisme” yang tidak bisa digantikan oleh kamera digital. Di 2010 hingga 2015, mereka melakukan kalkulasi data melalui IMDB atau Internet Movie Database, disebutkan bahwa hanya 33 persen film bertema perang yang menggunakan kamera digital dalam proses produksinya.
Selebihnya, film bertema perang lebih suka dengan kamera analog. Efek “jadul” adalah alasan bagi film-film bertema perang, lebih suka menggunakan kamera analog. Selain itu Hariz Zambarloukos, seorang sinematografer Hollywood mengatakan bahwa, “saya mengingat film yang saya tonton dan saya mencintainya (film analog).” Efek nostalgia, merupakan efek yang akan timbul dalam penggunaan kamera analog.
Namun, tema-tema tertentu jauh lebih cocok dengan kamera digital daripada kamera analog. Sebanyak 77 persen film bertema Sci-fi menggunakan kamera digital dalam proses produksinya. Hal tersebut dipengaruhi oleh anggapan bahwa Sci-fi adalah filmnya teknologi. Dan kamera digital adalah medium yang pas untuk itu.Di dunia fotografi, kamera analog juga masih sering digunakan. Lomografi adalah biang dari hal tersebut. Kamera lomografi, menghadirkan efek nostalgia dan pembelajaran dengan memanfaatkan pita seloluid dan berbagai macam cairan kimia demi menghasilkan sebuah foto.
Apakah kualitas kamera analog benar-benar unggul daripada kamera digital?
Dalam kamera digital, orang menyebut resolusi dalam satuan MP atau mega pixel sebagai ukuran kualitas. Kamera analog sesungguhnya tidak mengenal resolusi dengan ukuran MP. Jika dikonversikan, kamera analog memiliki banyak variasi dalam kualitas MP. Kamera analog mengenal beberapa jenis pita seluloid. 16mm, 35mm, dan 65mm. jenis 35mm merupakan jenis yang paling populer. Kodak Ekachrome merupakan pita seluloid 35mm, jenis 65mm sering disebut sebagai standar IMAX.
Berdasarkan PitaPixel, film seluloid atau pita seluloid menghasilkan beragam ukuran resolusi, meskipun berjenis sama. Roger N. Clark, seorang fotografer profesional mengungkapkan bahwa Fujifilm Provia 100 ekuivalen dengan resolusi 7MP atau mega pixel seperti yang dihasilkan kamera digital. Sedangkan Fujifilm Velvin 50, menghasilkan resolusi yang setara dengan 16MP. Yang lebih mencengangkan, beberapa film mampu menghasilkan resolusi 400MP. Sesuatu yang sangat sulit dicapai oleh kamera digital.
Wally Pfister, salah satu pekerja Hollywood di film Transcenden mengatakan bahwa, “tidak ada yang salah dengan film 35mm (analog).” Ia lantas menambahkan, “untuk merekam seluruh resolusi dari anamorphic (merek pita selulod) 35mm, kamu membutuhkan pemindai antara 8K dan 12K. Jadi, orang-orang yang berbicara tentang kamera digital 4K, kami sesungguhnya merekam aksi dengan kamera digital 10K.”
Kamera analog dan filmnya ataupun digital hanyalah sebuah pilihan. Silakan memilih dan berkarya, dan Kodak sebagai produsen film kamera telah memilih membangkitkan kembali produk andalannya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra