tirto.id - Sejak perang saudara di Suriah meletus 2011 silam, untuk kali pertama Amerika Serikat melakukan intervensi secara terbuka. Kamis (6/4) malam, militer AS melepaskan 59 rudal Tomahawk Land Attack Missile (TLAM) dengan target sebuah pangkalan udara al-Shayrat milik pemerintah Bashar al-Assad di daerah Homs.
Misil dilepaskan oleh dua kapal perang AS, USS Porter dan USS Ross di Laut Mediterania. Dikutip dari BBC, rudal-rudal ini dilepaskan di Laut Mediterania dan mengenai sasaran serta menghancurkan pesawat, barak, persediaan amunisi, penyimpanan bahan bakar dan radar. Sampai tulisan ini diturunkan, pemerintah Suriah mengkonfirmasi enam tentaranya tewas akibat serangan ini.
Jumat (7/4) pagi, Presiden AS, Donald Trump menggelar konferensi pers terkait hal ini. Dia menuturkan serangan AS, sebagai balasan atas serangan kimia yang dilakukan Bashar Al-Assad kepada penduduk Idlib, dua hari lalu.
Kata Trump, tindakan Assad ini merupakan perilaku biadab. Membunuh dengan senjata kimia, kata Trump menyebabkan kematian yang begitu lambat menyiksa dan brutal. "Malam ini saya memerintahkan serangan militer yang ditargetkan pada lapangan udara di Suriah dari mana serangan kimia diluncurkan," kata Trump.
Di akhir pidatonya, Trump tidak menyebut tindakan nyata AS selanjutnya, apakah dia akan melakukan invasi darat Suriah atau tidak. Dia hanya mengatakan ini: "Malam ini saya sebut semua negara beradab untuk bergabung dengan kami untuk mengakhiri pembantaian dan pertumpahan darah di Suriah, dan juga untuk mengakhiri terorisme dalam segala hal apapun."
Sekutu-sekutu AS langsung bertempik sorak dan mendukung aksi ini: Inggris, Israel, Australia, Arab Saudi dan Turki menyetujui serangan Trump.
“Ini adalah respons pas untuk kebrutalan yang dilakukan rezim Assad, dilakukan di tempat dan waktu yang tepat.” kata Presiden Israel Reuven Rivlin dikutip dari Times of Israel.
Dukungan senada muncul dari Inggris. "Pemerintah Inggris mendukung penuh tindakan AS, yang kami percaya adalah respons yang tepat terhadap serangan senjata kimia barbar yang diluncurkan oleh rezim Suriah, dan dimaksudkan untuk mencegah serangan lebih lanjut," ucap Tom Kelly, juru bicara pemerintah Inggris.
Sementara itu, Rusia dan Iran, dua negara yang mendukung penuh rezim Assad mengecam aksi serangan AS ini. "Kami mengutuk keras serangan ini. Ini hanya akan memperkuat para teroris serta memperumit situasi di sana," ucap juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahram Qasemi dikutip dari kantor berita Iran, IRNA.
Sedangkan Kremlin menilai AS telah melanggar hukum internasional secara serius. Ancaman keretakan hubungan AS-Rusia kini ada di depan mata.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan Presiden Vladimir Putin, sekutu setia Bashar al-Assad melihat Trump ini sebagai "tindakan agresi" terhadap sebuah negara berdaulat.
“Putin memandang serangan AS terhadap Suriah sebagai agresi terhadap negara berdaulat yang melanggar norma-norma hukum internasional dan dalih yang dibuat-buat berlebihan,”Mr Peskov dikutip mengatakan.
Menarik untuk melihat langkah Rusia selanjutnya. Seperti diketahui Rusia adalah sekutu terbesar yang membuat Assad dalam satu tahun terakhir sukses memenangkan beberapa front pertempuran, mulai dari Lattakia, Darraya, Palmyra dan Allepo.
Tidak hanya di medan pertempuran, di meja perundingan, Rusia pun selalu hadir membela Suriah. Saat serangan gas kimia terjadi di Ghoutta, pada 2013 silam dan membunuh sekitar 1000 warga sipil tak berdosa, Barack Obama memunculkan wacana di PBB mengajak sekutu menghukum Assad. Namun, Rusia berhasil menveto usulan itu.
Berbeda dengan Obama, Trump melakukan serangan ini secara tiba-tiba. Di sisi lain, serangan Trump ini lebih berisiko ketimbang jika Obama menyerang Suriah pada 2013 lalu.
Sejak Rusia menggelar operasi militer di Suriah per 2015 lalu, setidaknya ada sekitar 10.000 tentara Rusia yang kini hadir di Suriah. Para tentara ini disisipkan ke dalam militer Suriah, pasukan garda revolusi Iran, Hizbullah dan milisi-milisi pendukung Assad. Suriah saat ini adalah pangkalan pasukan Rusia terbesar di luar dari tanah air mereka.
Sampai tulisan ini diturunkan belum ada kabar rinci mengenai korban jiwa dari pasukan Rusia. Dikutip dari kantor berita Interfax, legislator Rusia Dmitry Sablin, mengatakan tidak ada tentara Rusia yang terluka dalam serangan itu.
Jubir Pentagon, Jeff Davis menuturkan sebelum menyerang, AS memang sudah terlebih dahulu memberitahu Kremlin. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan risiko kematian para personel tentara Rusia. “Analisis militer AS telah mengambil tindakan pencegahan untuk meminimalkan risiko bagi personil Rusia atau Suriah yang berada di pangkalan." katanya lagi.
Meski begitu, ucapan ini bertolak belakang dengan pernyataan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson. Dia menyebut Trump tidak membocorkan informasi ini terlebih dahulu kepada Presiden Rusia Vladamir Putin. “Kami tidak menunggu dulu persetujuan dari Moskow,” katanya dikutip dari TIME.
Pensiunan Jenderal AD, John Allen, yang mengkoordinasikan kampanye melawan ISIS selama pemerintahan Obama menilai tindakan Trump ini amat gegabah. “Ini jauh lebih sulit sekarang,” kata Allen dikutip dari Washington Post.
“Amerika Serikat harus bertanya pada diri sendiri: Sejauh mana kita ingin berada di masalah ini? Apakah kita siap untuk mengambil tindakan jika kemungkinan ada tentara Rusia yang mati?”
Allen pun mengkhawatirkan masalah lainnya. Kuat kemungkinan Rusia akan kembali mengaktifkan sistem pertahanan udara yang mereka pasang di Suriah. Dan ancaman ini telah diungkapkan Rusia. Ini tentu ancaman bagi AS dan sekutu-sekutunya karena sering memakai wilayah udara Suriah untuk menyerang ISIS.
Andrew Exum bekas staf pertahanan Pentagon di era Obama menyebut jika pertahanan udara S-300 dan S-400 Rusia diaktifkan ini akan memaksa pasukan koalisi keluar dari pertempuran melawan ISIS di Timur tengah.
"Jika Anda melancarkan serangan terhadap rezim, ini akan jadi alasan untuk menembak pesawat koalisi dengan sistem antipesawat,” ucap Exum kepada Washington Post.
Ia menambahkan jika pesawat AS ditembak jatuh maka ini akan menarik AS dalam perang lebih jauh. Tak ayal, Perang Dunia III kemungkinan besar bisa terjadi. Namun lagi-lagi, semua ini tergantung bagaimana respons Rusia. Sampai sekarang, Rusia hanya sebatas mengecam dan belum melakukan tindakan.
Trump bagaimanapun juga dikenal sebagai sahabat Rusia. Saat Pilpres AS lalu, Moskow mendukung penuh Trump. FBI dan NSA bahkan menemukan dugaan kuat Kremlin terlibat dalam peretasan data-data Partai Demokrat dan Hillary Clinton - rival Trump saat Pilpres lalu.
Ketika terpilih jadi Presiden, Trump pun menjanjikan akan lebih ramah terhadap Rusia. Banyak yang menyebut serangan Trump ke Suriah hanyalah retorika belaka, sebuah gimmick yang telah di setting sedemikian rupa.
Muncul pertanyaan kenapa S-400 milik Rusia yang dipasang di pangkalan Khmeimim - 140 mil dari al-Shayrat tidak mengintersepsi misil AS itu. Dikutip dari Al-Arabiya, sehari sebelum serangan dimulai Rusia memang terlihat mengevakuasi para personelnya.
Lawrence Korb, mantan sekretaris pertahanan AS kepada Al Jazeera menuturkan kuat dugaan serangan gas di Idlib membuat Rusia marah besar kepada Assad. Kata Korb, serangan ini akan disikapi lunak oleh Rusia. Sebuah dorongan segar untuk proses perdamaian Suriah di Jenewa.
"Mereka (Rusia) akan menginginkan 'sudah kami tidak akan bereskalasi lebih lagi'. Rusia akan memikirkan gencatan senjata sementara waktu dan membicarakan hal soal pembagian Suriah. Dan kemudian kemungkinan besar AS dan Rusia kemungkinan besar akan menurunkan Assad pada 2020 mendatang," ujarnya.
Pascaserangan ini, semua tergantung respons Rusia. Dan respons Rusia itu tergantung oleh bagaimana Trump mengurangi beberapa risiko dengan meyakinkan Rusia bahwa serangan ini semata-mata hanya untuk menghukum Assad agar tidak menggunakan senjata kimia. Tidak lebih.
“Trump ingin menyampaikan sebuah pesan politik, bahwa agresi yang dilakukannya adalah pendekatan yang sama sekali berbeda dari pemerintahan sebelumnya,” kata Andrew Tabler, Ahli Suriah di Washington Institute kepada New York Times.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti