tirto.id - Rekonsiliasi politik menjadi topik perbincangan sejak pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani pada Minggu pagi, 18 Juni 2023 di Plataran Hutan Kota, Kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta.
Pertemuan ini mengundang banyak spekulasi, baik di kalangan pengamat maupun politikus. Sebab, Puan menyebut AHY masuk dalam radar salah satu kandidat cawapres yang akan mendampingi Ganjar Pranowo di Pilpres 2024.
Sebelumnya, hubungan antara Demokrat dan PDIP memang renggang. Pasalnya, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden selama 10 tahun, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu konsisten menjadi oposisi.
Oleh sebab itu, pertemuan antara pimpinan PDIP dan Demokat turut menjadi perhatian publik. Pasalnya, hampir dalam kurun waktu dua dekade terakhir, kedua partai selalu silang pendapat.
Partai Demokrat menilai pertemuan AHY dengan Puan Maharani memiliki semangat rekonsiliasi di tengah pasang surut hubungan kedua partai. “Untuk bangsa dan negara, politik rekonsiliasi semacam ini sangat dibutuhkan dan dinantikan oleh masyarakat Indonesia,” tutur AHY.
Apa Arti Rekonsiliasi Politik?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan.
Pengamat politik, Andrew Schapp dalam studinya pada tahun 2003 berjudul Political Reconciliation menjelaskan, rekonsiliasi politik adalah sebuah aspirasi yang menopang politik dengan membingkai sebuah pertemuan antara musuh-musuh, di mana mereka dapat memperdebatkan kemungkinan dan syarat-sayarat untuk bersatu.
Dalam teori perdamaian, rekonsiliasi juga digambarkan sebagai produk penutupan dan penyembuhan; “Penutupan dalam arti tidak membuka permusuhan, penyembuhan dalam arti direhabilitasi” (Galtung 1998: 65).
Rekonsiliasi merupakan inisiatif penting untuk menghilangkan ketidakpercayaan dan kebencian yang memicu berulangnya konflik, mencapai konsolidasi perdamaian, dan memungkinkan terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan.
Sebagaimana ditulis Nutfa dan Anwar dalam Jurnal Kritis tahun I (I) 2015 bahwa tujuan dari rekonsiliasi adalah untuk mendorong proses perdamaian berkelanjutan pasca-konflik denga melakukan pendekatan.
Profesor asal Amerika, John Paul Lederach dalam jurnal online soka.ac.id mengilustrasikan konsepsi rekonsiliasi sebagai berikut: Dalam istilah yang lebih spesifik, rekonsiliasi dapat dilihat sebagai tiga paradoks spesifik.
Pertama, dalam arti keseluruhan, rekonsiliasi mendorong pertemuan antara ekspresi terbuka dari rasa sakit masa lalu, di satu sisi, dan pencarian artikulasi jangka panjang, masa depan yang saling bergantung.
Kedua, rekonsiliasi menyediakan tempat untuk kebenaran dan belas kasihan untuk bertemu, di mana kekhawatiran untuk mengungkap apa yang telah terjadi dan untuk melepaskan demi hubungan yang diperbarui divalidasi dan dipeluk.
Ketiga, rekonsiliasi mengakui kebutuhan untuk memberikan waktu dan tempat bagi keadilan dan perdamaian, di mana pemulihan yang salah dilakukan bersamaan dengan membayangkan masa depan yang sama dan terhubung.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto