tirto.id - Rekonsilisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan.
Dalam teori perdamaian, rekonsiliasi juga digambarkan sebagai produk penutupan dan penyembuhan; “Penutupan dalam arti tidak membuka permusuhan, penyembuhan dalam arti direhabilitasi” (Galtung 1998: 65).
Rekonsiliasi merupakan inisiatif penting untuk menghilangkan ketidakpercayaan dan kebencian yang memicu berulangnya konflik, mencapai konsolidasi perdamaian, dan memungkinkan terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan.
John Paul Lederach dalam jurnal online soka.ac.idmengilustrasikan konsepsi rekonsiliasi sebagai berikut; Dalam istilah yang lebih spesifik, rekonsiliasi dapat dilihat sebagai tiga paradoks spesifik.
Pertama, dalam arti keseluruhan, rekonsiliasi mendorong pertemuan antara ekspresi terbuka dari rasa sakit masa lalu, di satu sisi, dan pencarian artikulasi jangka panjang, masa depan yang saling bergantung, di sisi lain.
Kedua, rekonsiliasi menyediakan tempat untuk kebenaran dan belas kasihan untuk bertemu, di mana kekhawatiran untuk mengungkap apa yang telah terjadi dan untuk melepaskan demi hubungan yang diperbarui divalidasi dan dipeluk.
Ketiga, rekonsiliasi mengakui kebutuhan untuk memberikan waktu dan tempat bagi keadilan dan perdamaian, di mana pemulihan yang salah dilakukan bersamaan dengan membayangkan masa depan yang sama dan terhubung.
Contoh proses rekonsiliasi di tanah air pernah terjadi terkait tragedi 1965 di Solo dan Palu.
Melalui artikel bertajuk “Working from the Margins: Initiatives for Truth and Reconciliation for Victims of the 1965 Mass Violence in Solo and Palu” yang dimuat dalam kompilasi tulisan berjudul The Indonesian Genocide of 1965: Causes, Dynamics and Legacies (2018), peneliti Sri Lestari Wahyuningroem menbedah dua kasus perubahan strategi rekonsiliasi di tingkat lokal, yakni Sekber 65 di Solo dan SKP HAM di Palu.
Ketika proses rekonsiliasi dan pelurusan sejarah berhenti di tingkat nasional, dua inisiatif ini berimprovisasi mencari keadilan di tingkat lokal.
Sri Lestari Wahyuningroem adalah pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia. Ia banyak terlibat dalam penelitian seputar kekerasan massal 1965.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Yandri Daniel Damaledo