tirto.id - Mahkamah Agung (MA) menganulir atau menolak hukuman mati mantan Kadiv Propam Fedy Sambo menjadi penjara seumur hidup. Namun terkuak, bahwa sebelum memutuskan perkara kasasi itu, terjadi dissenting opinion pada tim hakim MA.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi menjelaskan pada Selasa, 8 Agustus 2023 bahwa dua dari lima hakim MA melakukan dissenting opinion adalah majelis 2 Jupriyadi dan anggota majelis 3 Desnayeti. Keduanya tolak kasasi dan menginginkan Sambo untuk tetap dihukum mati.
Dengan kata lain, putusan kasasi kasus Sambo oleh MA tidak diputuskan secara aklamasi melainkan dengan berdasarkan suara terbanyak. Kendati demikian, putusan kasasi oleh hakim sudah berkekuatan hukum.
Setelah keputusan MA dalam kasasi Sambo, publik banyak bertanya mengenai apa sebenarnya arti dari dissenting opinion?.
Arti Dissenting Opinion
Mengutip laman Balai Permasyarakatn Kelas I Jakarata Selatan, di Indonesia, awalnya dissenting opinion ini diperkenalkan pada pengadilan niaga, namun kini telah diperbolehkan di pengadilan lain, termasuk dalam perkara pidana.
Bagir Manan dalam "Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia", Majalah Hukum Varia Peradilan tahun 2006 menjabarkan arti dari dissenting opinion yaitu pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu, karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim.
Mengutip Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 20 No. 1, Maret 2020: 1-10, dissenting hukum dilihat sebagai alternatif referensi bagi hakim dalam melakukan pembaharuan hukum. Kendati tidak memiliki kekuatan hukum, dissenting opinion sebagai narasi hukum alternatif dapat memperkaya dan memberikan dorongan perkembangan hukum di masa depan.
Ni Luh Kadek RSD dan I Dewa Made Suartha dalam studi berjudul Nilai-Nilai Positif dan Akibat Hukum Dissenting Opinion dalam Peradilan Pidana di Indonesia menulis, dissenting opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama anggota majelis atau sesama hakim. Hal ini, sejalan dengan esensi kekuasaan kehakiman yang merdeka atau bebas dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pengaturan dissenting opinion dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tidak didapatkan istilah dissenting opinion, namun terdapat istilah pendapat berbeda.
Hal ini diatur dalam Pasal 14 (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Tegasnya Pasal tersebut berbunyi: “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra