tirto.id - Ada lelucon cerdas yang dituangkan oleh komikus legendaris Randall Munroe dalam komiknya beberapa tahun silam. Dalam situs XKCD, diceritakan bahwa ada 14 standar bidang teknologi yang saling berkompetisi menjadi nomor satu. Hal tersebut membuat para ilmuwan kesal dan mencoba memecahkan masalah multistandar tersebut dengan menghasilkan sebuah standar baru yang diharapkan bisa diikuti oleh semua pihak. Hasilnya?
Kini, ada 15 standar yang saling berkompetisi. Beberapa tahun berselang sejak komik strip tersebut dimuat, industri teknologi informasi dan komunikasi masih saja berjibaku untuk urusan standar yang selalu bisa dijadikan pakem dan memudahkan pihak produsen, terutama konsumen.
Contoh paling mudah bisa dilihat dengan hilangnya jack audio 3,5mm pada seri Apple iPhone 7 dan beberapa seri ponsel Android. Setelah menjadi standar pada ponsel pintar selama belasan tahun. Berbeda pada era ponsel fitur, beberapa pabrikan tercatat menggunakan jack 2,5mm atau jack khusus. Sekarang, nasib jack audio 3,5mm tinggal menunggu waktu.
Dibandingkan dengan Floppy Disk dan CD-Rom, dua standar teknologi yang juga dibunuh pelan-pelan oleh Apple, jack audio 3,5mm merupakan standar yang baik dan minim masalah. Solusi Apple untuk melakukan pergantian pun menimbulkan isu baru, teknologi AirPods dipilih alih-alih Bluetooth (meski juga tersedia) yang juga sudah menjadi standar nirkabel untuk antar-muka.
Berita terakhir, Apple menghadirkan lini laptop MacBook baru yang uniknya masih menghadirkan jack audio 3,5mm. Lalu, apa yang dihilangkan dari laptop anyar Apple tersebut?
Dua hal, yang pertama adalah hilangnya slot SD Card yang membuat para fotografer kecewa. Kemudian penggunaan kabel daya USB-C yang tanpa fitur MagSafe.
Untuk masalah yang pertama, SD Card juga merupakan standar yang baik. Di masa silam, saat produsen kamera dan perangkat elektronika mini saling bersaing untuk membuat kartu penyimpan data miliknya menjadi standar, SD Card berhasil menjadi pemenang.
Untuk kalangan fotografer profesional, SD Card memang sering dipandang sebelah mata. Maklum saja, untuk kamera digital yang memang diperuntukkan untuk level profesional, kartu penyimpan data yang digunakan bukanlah SD Card melainkan Compact Flash (CF). Jadi hilangnya slot SD Card dari MacBook bukan masalah, toh mereka tidak bergantung dengan itu.
Philip Schiller, eksekutif bagian marketing Apple, mengatakan alasan hilangnya slot SD Card pada MacBook terbaru kepada The Independent. Intinya, Schiller menganggap slot tersebut cenderung tidak berguna dan beralasan bahwa transfer secara nirkabel akan menjadi standar.
Argumen tersebut bisa jadi tepat, namun tidak berlaku di beberapa kasus. Meski CF dikenal memiliki kecepatan baca-tulis yang lebih cepat dan stabil dibandingkan SD Card, perkembangan terakhir dari SD Card membuatnya sanggup bersaing.
Tidaklah heran jika produsen kamera—bahkan untuk level kamera profesional—akan menggantikan CF dengan SD Card di masa depan. Lagipula, jika mau dibandingkan, jumlah fotografer yang memanfaatkan MacBook dan menggunakan SD Card jauh lebih banyak dibandingkan CF.
Membahas hal yang kedua, MacBook terbaru mengusung USB Type C atau yang disebut Apple sebagai USB-C, merupakan port atau koneksi antar-muka utama. Port ini memang praktis. Selain bisa digunakan untuk menghubungkan perangkat lain, kecepatan transfer datanya pun tinggi. Tak lupa, port USB-C yang ada pada MacBook juga bisa dimanfaatkan sebagai port untuk mengecas MacBook, selain bisa digunakan untuk mengecas ponsel dan perangkat elektronik mini apapun dengan kabel yang sesuai.
Uniknya, pemilihan USB-C untuk MacBook tidak berlaku untuk iPhone. Padahal, pada ponsel dan perangkat elektronika lain, USB-C merupakan penyempurnaan dari port USB yang menggabungkan kecepatan USB 3,1 dan kepraktisan ukuran dari Micro-USB. Penggunaannya pun perlahan mulai ramai, khususnya untuk ponsel kelas menengah dan atas. Produk iPhone, iPad serta iPod seri terbaru masih setia memaksakan koneksi Lightning yang sebenarnya bisa digantikan oleh USB-C.
Langkah menggunakan USB-C di MacBook patut diapresiasi, MagSafe, teknologi khas Apple yang memanfaatkan magnet untuk menghubungkan charger dengan MacBook, terpaksa dikorbankan. Tujuannya jelas, Apple menginginkan port USB-C sebanyak mungkin di MacBook mereka, sehingga mengubah salah satunya menjadi MagSafe bukanlah pilihan.
Rugikan Konsumen
USB-C dan SD Card berhasil menjadi standar ketika pihak-pihak yang memiliki kepentingan bersatu dan duduk bersama. Meski sedikit lambat, USB-C secara perlahan mulai diadopsi secara luas seperti yang terlihat pada Google Pixel, Sony Xperia XZ, LG V20, HTC 10 dan Samsung Galaxy S7. Semua ponsel tersebut merupakan andalan masing-masing vendor. Khusus untuk Samsung lantaran seri Note 7 mengalami recall, sama-sama mengusung USB-C.
Sejarahnya, USB-C merupakan hasil buah pikiran USB Implementers Forum (USB IF) Apple, Hewlett-Packard dan Intel merupakan anggota, sedangkan SD Card merupakan pengembangan dari SD Card Association (SDA).
Sebelum menyepakati standar, di masa lalu, para anggota SDA memiliki standar masing-masing yang bertarung untuk menjadi standar. Sony dikenal dengan seri Memory Stick (Memory Stick PRO, Memory Stick PRO Duo, Memory Stick Micro), Olympus dan Fuji Film memperkenalkan xD-Picture Card, Toshiba dengan SmartMedia, dan SanDisk beserta Siemens AG untuk MultiMediaCard (MMC).
Meski mirip dengan SD Card, MMC yang merupakan hasil kreasi SanDisk dan Siemens AG bukanlah pemenang persaingan standar kartu memori. Bila mau ditelusuri lebih lanjut, SD Card berhasil menjadi standar lantaran sumbangsih teknologi dari anggota-anggota SDA lain yang jumlahnya mencapai seribu lebih.
Sayangnya, kisah sukses SDA untuk menyatukan standar di kartu memori tidak diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain yang berkutat di industri teknologi informasi dan teknologi, dan berminat mempromosikan cata charge secara nirkabel (Wireless Charging). Tercatat hingga saat ini ada tiga standar yang berkompetisi, meski dua diantaranya sudah menyatakan bergabung.
Wireless Power Consortium (WPC) yang dikenal dengan Qi Wireless Charging dan Power Matters Alliance serta Rezence merupakan tiga konsorsium yang kerap mempromosikan teknologi menge-charge secara nirkabel. Dua yang terakhir pada akhirnya bersatu dan membentuk AirFuel Alliance pada Januari 2015 dan, sayangnya, belum ada itikad untuk bersatu dengan WPC.
Seperti dibahas di awal, perbedaan standar ini justru merugikan konsumen. Penyerapan teknologi yang lambat membuat perkembangan standar teknologi juga ikut tertunda. Sebagai contoh, ponsel yang mengusung teknologi Qi Charging tidak dapat memanfaatkan charger dari AirFuel Alliance, dan sebaliknya.
Banyaknya standar untuk Wireless Charging, meski dalam hal ini kini tinggal dua, membuat sebagian produsen enggan memilih dan malah menghilangkan fitur tersebut dari ponsel mereka. Contoh paling relevan adalah Google Pixel. Pada era Nexus, khususnya sejak Nexus 4, ponsel andalan Google setia mengusung Qi Wireless Charging. Namun pada Pixel, Google memilih untuk membuang fitur tersebut.
Meski demikian, penyatuan standar di bidang teknologi tidak serta-merta bisa dipaksakan. Contoh mudahnya bisa dilihat dari 15 standar berbeda di negara atau wilayah tertentu untuk colokan listrik. Indonesia misalnya, menggunakan standar colokan yang umum digunakan di wilayah Eropa, kecuali Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran, Amerika Selatan dan beberapa negara Asia. Standar tersebut mendukung colokan dengan tipe C, E, dan F.
Meski demikian, ada standar yang tetap berlaku di Indonesia khusus untuk AC atau pendingin ruangan. Semuanya tetap menggunakan colokan Type G atau yang umum digunakan di Inggris. Alasannya karena colokan tipe G diakui lebih aman, terutama dengan penggunaan tiga pin dibandingkan dua pada tipe C, E, dan F. Kesimpulannya, yang lebih aman dan lebih baik belum tentu menjadi standar. Semuanya kembali lagi ke pemangku kepentingan dan bagaimana konsumen tak jadi pihak yang dirugikan.
Penulis: Andry Togarma Hermawan
Editor: Suhendra