tirto.id - Pelaku penganiayaan AY, seorang pelajar SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, disorot warganet karena kelakuan mereka yang seperti tak merasa bersalah. Saat diperiksa di kantor polisi, Selasa (9/4/2019) lalu, tiga perempuan yang diduga sebagai pengeroyok malah mengambil video boomerang via Instagram.
Dari sini kemudian muncul dugaan bahwa ada yang salah dari pola asuh orangtua para terduga pelaku tingkat SMA itu--yang kini sudah berstatus tersangka. Misalnya dari seorang pengguna Facebook bernama Hasanudin Abdurakhman.
“Sudah ada kasus, anak-anak itu masih bisa main media sosial. Artinya, tidak ada kepedulian orang tua mereka untuk mendidik lebih lanjut anak-anak mereka, sekaligus melindungi anak-anak itu dari penghakiman massal,” begitu katanya.
Hal serupa dikatakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise. Namun Yohana bicara secara umum, bukan kasus spesifik ketika para pelaku sedang diperiksa polisi.
"Boleh jadi kasus ini terjadi karena luputnya pengawasan orang dewasa. Ada yang keliru pada sikap anak-anak kita, berarti juga ada yang keliru pada kita sebagai orang dewasa," ujarnya di Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Psikolog anak Amanda Margia Wiranata berpendapat asumsi itu bisa jadi benar. Sebab faktanya anak sebagai pelaku kekerasan bisa belajar dari lingkungan terdekatnya, baik itu keluarga, sekolah, atau teman sebaya.
“Dia sulit menghargai orang lain bisa jadi karena merasa tidak dihargai oleh orang yang signifikan (seperti orang tua, guru, teman) atau dia melihat bagaimana orangtua memperlakukan orang lain dengan semena-mena dan meniru perilaku itu sebagai perilaku yang wajar,” kata Amanda kepada reporter Tirto, Rabu (10/4/2019).
Namun Amanda menggarisbawahi itu baru asumsi yang perlu pembuktian spesifik. Amanda menuturkan bisa saja pola asuh dari orangtua sudah tepat, tapi anak punya kondisi psikis tertentu yang membuat ia melakukan tindak kekerasan.
Jika ini yang terjadi, maka orangtua harus mengajarkan anak bahwa segala tindakan ada konsekuensi dan anak harus belajar menerima konsekuensi itu.
“Ketika anak belajar untuk menghindari konsekuensi, ia tidak akan belajar bahwa tindakannya membawa dampak negatif bagi hidup orang lain dan kemungkinan perilaku kekerasan berulang akan semakin besar,” jelas Amanda.
Anak dapat menjalani proses hukum yang berlaku dan orangtua mendampingi ketika ia menjalaninya.
Sementara menurut ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, karena kasus ini sudah masuk ranah hukum, maka orangtua pelaku tak bisa serta-merta divonis lalai mengawasi. Kalaupun lalai, maka mereka tak bisa dikenakan vonis tertentu karena sistem hukumnya tak mengizinkan itu.
Secara hukum, ini murni tanggung jawab pelaku.
“Yang penting saat ini lakukan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan) terlebih dulu, jangan bawa-bawa orangtua,” kata Hibnu kepada reporter Tirto.
Penyelesaian anak yang terlibat hukum, lanjut dia, jangan mengakibatkan trauma ke anak tersebut. Aparat, misalnya, bisa mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan benar.
“Banyak motif anak, tapi mereka melakukan kejahatan seperti orang dewasa. Saya kira itu harus berhati-hati,” ujar dia.
Informasi soal penganiayaan AY diketahui lewat pengguna Twitter bernama @syarifahmelinda. Ia mengatakan pengeroyokan bermula dari saling sindir soal asmara antara salah satu pelaku, DA dan kakak korban berinisial PO, yang tak lain mantan pacar dari pacar DA sekarang, di WhatsApp, pada 29 Maret lalu. DA dan PO berasal dari SMA 4 dan SMA 2 Pontianak.
Seluruh pelaku adalah teman-teman kakaknya. Pelaku memanfaatkan AY untuk meminta PO keluar. DA meminta AY memanggil kakaknya. Kakaknya pun keluar. Mereka kemudian digiring ke tempat sepi di belakang Aneka Pavilion Pontianak.
Di sinilah pengeroyokan terjadi, termasuk terhadap AY yang sebetulnya tak kenal dengan para pelaku. Kepala AY dibenturkan ke aspal, perutnya juga ditendang. Seorang pelaku, kata @syarifahmelinda, bahkan mencolok vagina AY dengan jari.
Cuitan @syarifahmelinda lantas viral.
Sebagian keterangan dari pengguna Twitter ini dibenarkan Kasat Reskrim Polresta Pontianak Kota AKP Husni Kamil, sebagian lagi tidak. Yang tidak salah satunya adalah soal mencolokkan jari ke vagina AY. Pun dengan hasil visum.
"Orangtua korban tidak memberikan keterangan itu [merusak vagina korban]," kata Husni ketika dihubungi reporter Tirto.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino