Menuju konten utama

Apakah Masker Kain Masih Aman Cegah Varian Baru COVID-19?

Masker kain sudah tidak dianjurkan, saat ini masker bedah juga sudah banyak tersedia dan harganya terjangkau.

Apakah Masker Kain Masih Aman Cegah Varian Baru COVID-19?
Ilustrasi Masker Kain. foto/istockphoto

tirto.id - Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Vaksinolog Dirga Sakti Rambe mengatakan, saat ini penggunaan masker kain tiga lapis tidak lagi disarankan, kecuali bila Anda melapisinya dengan masker bedah agar bisa lebih terlindung.

"Masker kain sudah tidak dianjurkan, lagipula masker bedah sudah banyak tersedia dan harganya terjangkau, gunakan hanya masker berkualitas," kata Dirga melansir Antara.

Dirga mengatakan penggunaan masker sangat penting dalam mencegah penularan dalam protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Masker medis terbukti masih paling efektif jika digunakan dengan tepat.

"Saya menyarankan untuk mengganti masker maksimal 6 jam, atau ganti segera setelah masker sudah basah atau kotor," katanya.

Hati-hati pula saat membuka masker di tempat umum, pastikan hanya membuka masker untuk alasan penting seperti makan dan minum, juga praktikkan cara yang benar.

Menurutnya cara melepaskan masker yang benar adalah lepas tali elastis dari telinga, jauhkan masker dari pakaian dan wajah untuk menghindari permukaan masker yang bisa saja terkontaminasi. Buang di tempat sampah, kemudian bersihkan tangan dengan sabun dan air mengalir atau cairan pembersih berbahan alkohol.

Pemerintah Indonesia saat ini juga terus menggencarkan percepatan program vaksinasi nasional sebagai upaya melindungi masyarakat. Pemerintah menargetkan pemberian vaksinasi kepada 181,5 juta penduduk atau 70 persen dari total populasi untuk mencapai kekebalan komunal.

Meski demikian, dalam menangani pandemi COVID-19, masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan satu proteksi kesehatan saja, perlindungan dari luar dengan penerapan protokol kesehatan pun penting untuk terus digalakkan.

“Saat ini, persentase penduduk Indonesia yang telah divaksin 1 kali sebesar 11 persen dan vaksinasi lengkap sebesar 6,3 persen. Angka tersebut masih terbilang kecil dari total populasi Indonesia saat ini. Apalagi, saat ini kita dihadapkan pada ancaman berupa mutasi virus baru yang mulai ditemukan di tanah air," katanya.

Ia juga mengatakan bahwa kewaspadaan perlu semakin ditingkatkan karena kehadiran vaksin memang menjadi langkah pencegahan yang penting diambil untuk membentuk kekebalan komunal, namun tidak ada langkah pencegahan yang 100 persen efektif.

"Memadukan perlindungan dari dalam dan luar menjadi upaya yang bisa kita lakukan bersama, untuk mengurangi risiko terpapar atau tertular virus," jelas dia.

Mengenal mutasi virus Corona varian Delta

Mutasi virus Corona varian Delta menjadi salah satu jenis virus yang diteliti oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) berdasarkan kasus di Kudus, Jawa Tengah.

Menurut hasil penelitian UGM, ditemukan 28 dari 34 atau sekitar 82% merupakan varian Delta (B.1.617) dari COVID-19.

“Varian Delta ini terbukti meningkat setelah adanya transmisi antarmanusia. Dan sudah terbukti di populasi di India dan di Kudus. Hal tersebut juga memperkuat hipotesis para peneliti bahwa peningkatan kasus di Kudus tersebut adalah karena adanya varian Delta," ujar dr. Gunadi, Ketua Tim Peneliti, dikutip laman Kemenkes.

Gunadi juga menambahkan hipotesanya dengan penelitian terbaru dari The Lancet, yaitu varian Delta berhubungan dengan usia pasien.

“Semakin tua pasien COVID-19 maka varian Delta ini akan memperburuk kekebalan tubuh pasien tersebut,” terangnya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) varian Delta, juga dikenal sebagai B.1.617.2, varian ini pertama kali terdeteksi di India tetapi sejak itu kemudian muncul di lebih dari 70 negara.

Lantas, menurut data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat, varian tersebut menyumbang lebih dari 6 persen sampel virus yang diurutkan. Ini adalah lompatan dari sekitar 1 persen sebulan yang lalu.

Varian ini tidak hanya menyebar lebih mudah daripada strain sebelumnya tetapi juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah. Ini sangat mengkhawatirkan bagi orang yang tidak divaksinasi dan mereka yang memiliki respons kekebalan yang lebih lemah terhadap virus.

Apa ciri atau gejala varian Delta?

Melansir The New York Times Dokter di China menemukan bahwa ketika varian Delta menyebar ke seluruh negeri, orang-orang memiliki gejala yang berbeda dan lebih parah daripada yang dilaporkan sebelumnya dalam pandemi.

Berikut beberapa ciri atau gelaja varian Delta, melansir laman Healthline

1. Demam

Demam biasa terjadi sebab tingkat virus dalam tubuh meningkat lebih tinggi dari sebelumnya dan pada beberap orang menjadi lebih parah dalam 3 atau 4 hari.

2. Sakit kepala

3. Sakit tenggorokan

4. Pilek

5. Batuk

6. Sesak nafas

7. Kelelahan

8. Kehilangan indera perasa atau penciuman

Seberapa menularkah varian Delta?

Amerika Serikat dan Inggris telah sepenuhnya memvaksinasi sekitar 43 persen dari populasi mereka. Tetapi karena varian Delta menjadi lebih umum di Inggris dalam beberapa pekan terakhir, negara itu mengalami lonjakan kasus COVID-19.

Lonjakan serupa dalam kasus terlihat di India ketika varian Delta menyebar luas. Para ahli mengatakan bahwa varian Delta ini lebih mudah menular.

Melansir BBC News, Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock akhir pekan lalu mengatakan bahwa varian Delta 40 persen lebih mudah menular daripada varian Alpha, yang sebelumnya dominan di negara itu.

Dr Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular, pada pengarahan COVID-19 Gedung Putih minggu lalu mengatakan bahwa penelitian mendukung kesimpulan bahwa varian ini lebih cepat menular.

“Jelas sekarang penularan [varian Delta] tampaknya lebih besar daripada tipe lain,” kata Fauci, merujuk pada jenis virus asli yang muncul pada awal pandemi.

Baca juga artikel terkait MASKER KAIN atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Iswara N Raditya