tirto.id - Sebuah unggahan di Facebook pada awal Januari 2023 lalu menyebarkan klaim tentang penggunaan masker yang bisa menyebabkan kanker. Akun bernama "Mohd Hasby Khar El" membagikan klaim tersebut dalam bentuk narasi tulisan dan video singkat sepanjang 17 detik.
"MASKER PENYEBAB KANKER Dr. Otto Heinrich Warburg," begitu judul narasi unggahan. Dijelaskan kemudian kalau Warburg adalah penerima Nobel dan sedikit penjelasan mengenai latar pendidikannya di Jerman.
Kemudian, unggahan itu juga mengklaim bahwa Dr. Otto Warburg menyatakan bahwa masker, atau penutup hidung, mulut dan wajah, adalah salah satu penyebab kanker.
"Mereka memaksa Orang untuk menyakiti diri sendiri," bunyi pesan utama dari unggahan tersebut.
Di bagian akhir unggahan juga disertakan sejumlah jurnal dan rangkuman satu kalimat untuk mendukung klaim bahwa masker menyebabkan kanker.
Sampai Selasa (24/01/2023) unggahan tersebut telah diputar sebanyak 500 kali, disukai 77 kali dan mendapat tujuh komentar. Meski penyebarannya tidak terlalu masif, tetapi terdapat beberapa akun yang terlihat turut menyebarkan unggahan tersebut.
Lalu, benarkah informasi yang ada di unggahan tersebut, apakah penggunaan masker bisa menjadi penyebab penyakit kanker?
Penelusuran Fakta
Pertama-tama Tim Riset Tirto coba membedah isi unggahan melalui video yang dilampirkan. Video singkat tersebut hanya berisi foto-foto dan klip yang tidak secara eksplisit memberi bukti maupun penjelasan mengenai hubungan masker dengan kanker. Hampir seluruhnya berisikan kampanye negatif terhadap penggunaan masker yang bersifat provokatif.
Lanjut ke isi narasi tulisan. Informasi mengenai latar pendidikan Dr. Otto Warburg yang disampaikan adalah benar. Pun informasi bahwa dia adalah penerima Hadiah Nobel.
Namun, soal klaim bahwa Dr. Warburg menyatakan bahwa masker atau penutup hidung, mulut, dan wajah adalah salah satu penyebab kanker tidak akurat. Berdasarkan penelusuran Tirto dari situs Nobel Prize, dijelaskan bahwa temuannya yang memenangkan Nobel pada 1931 adalah mengenai sifat dan cara kerja enzim pernapasan. Dia menunjukkan kalau sel-sel kanker dapat hidup dan tumbuh tanpa memerlukan oksigen.
Tidak ada kaitan antara sel kanker dengan dengan masker yang disampaikan oleh Dr. Warburg.
Lebih lanjut, terdapat tiga jurnal yang dikutip dalam unggahan. Ketiganya adalah jurnal internasional terkait penggunaan masker.
Pertama yang dipublikasikan pada 27 Oktober 2022 di BMC Pulmonary Medicine. Riset yang dilakukan sekelompok ahli medis dari sejumlah universitas di Tiongkok ini membandingkan dampak penggunaan alat bantu pernapasan High Flow Nasal Cannula (HFNC) dan masker terhadap 176 pasien dengan risiko hipoksemia. Perlu diketahui bahwa hipoksemia adalah kondisi di mana kadar oksigen di dalam darah di bawah batas normal, menukil dari Alodokter.
Hasil dari penelitian tersebut adalah penggunaan alat bantu pernapasan HFNC dapat mengurangi insiden pengurangan saturasi oksidan dan kebutuhan intervensi saluran napas pasien dengan risiko hipoksemia saat proses anestesi tertentu.
Sementara klaim dalam unggahan menyimpulkan dari jurnal tersebut bahwa hipoksia terjadi karena kekurangan oksigen akibat pemakaian masker. Hipoksia sendiri adalah kondisi rendahnya kadar oksigen di dalam sel-sel tubuh, melansir Alodokter.
Klaim kesimpulan dalam unggahan ini tidak sesuai, karena penelitian tersebut membahas kasus yang spesifik. Pun, tidak ada kesimpulan dari penelitian yang dikutip yang menyebut risiko kekurangan oksigen akibat pemakaian masker dalam aktivitas sehari-hari.
Sementara jurnal kedua, dipublikasikan pada Juli 2022 oleh Journal of Infection in Developing Countries (JIDC). Riset dilakukan oleh tiga orang akademisi dari India. Jurnal ini membahas dampak dari penggunaan masker dalam waktu yang lama. Objek penelitiannya adalah tenaga kesehatan.
Hasil dari penelitian menyebut kalau penggunaan masker dalam waktu lama dapat memberikan efek buruk bagi wajah dan kulit, seperti jerawat, kemerahan, ruam, dan gatal. Pada sejumlah jenis masker, dengan ventilasi yang tidak memadai atau penggunaan terus menerus (8-10 jam setiap hari) juga dapat menyebabkan hipoksia alias kekurangan oksigen.
Klaim dari kesimpulan unggahan menyebut kalau pengudaraan yang tidak mencukupi dapat menyebabkan hipoksia. Terkait hal ini sesuai dengan isi jurnal dan tidak menimbulkan misinformasi. Namun, tetap tidak ada kaitan informasi yang mengaitkan penggunaan masker dengan kanker, seperti informasi yang disebut di awal narasi.
Jurnal terakhir, yang dipublikasikan di Research Square pada Agustus 2022 adalah jurnal yang sama dengan jurnal pertama hanya sedikit berbeda terjemahan dan saluran publikasinya.
Klaim dari unggahan menyimpulkan kalau, "kejadian hipoksia terjadi akibat pengoksigenan udara melalui masker (menggalakkan kanser)." Klaim ini juga tidak sesuai dengan isi narasi yang ada di jurnal.
Berdasarkan penelusuran isi jurnal-jurnal yang dikutip, tidak ada bukti yang cukup kuat untuk bisa mengatakan masker menjadi penyakit kanker. Selain itu, klaim terkait ucapan peraih Nobel, Dr. Otto Warburg, juga tidak terbukti.
Lebih lanjut, Tirto juga melakukan penelusuran terkait pernyataan masker sebagai penyebab kanker dengan mesin pencarian Google. Hasil pencarian menunjukkan bahwa teori serupa sudah pernah disebarkan sejak 2020, ketika pandemi COVID-19 mulai merebak.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah membuat bantahan terhadap informasi-informasi ini pada tahun 2020 dan 2021.
Sementara pusat informasi kesehatan masyarakat seperti Meedan Digital Health Lab juga secara spesifik menjawab ketakutan akan kanker akibat masker ini. Disebutkan kalau tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menghubungkan penggunaan masker dengan kanker. Risiko terkait pemakaian masker secara umum dinilai rendah, sementara manfaatnya lebih banyak.
Para ahli juga mengatakan karena sangat kecilnya molekul oksigen dan karbon dioksida, masker tidak mengurangi jumlah oksigen yang masuk ke dalam tubuh atau meningkatkan jumlah karbon dioksida yang tertinggal di dalam masker.
Lebih lanjut Asosiasi Paru-Paru Amerika telah memverifikasi bahwa masker tidak dapat menyebabkan kanker paru-paru dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mencatat bahwa setiap karbon dioksida yang terbentuk di masker tidak akan memengaruhi orang yang memakai masker wajah untuk mencegah infeksi dan penularan COVID-19.
Sementara menurut Ahli Onkologi Medis di Pusat Kanker Moffitt Dr. Andreas Saltos, saturasi oksigen kebanyakan pasien tidak dipengaruhi oleh masker.
"Terlepas dari penggunaan masker, kadar oksigen rendah tidak benar-benar berdampak terhadap kanker," terangnya.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang dilakukan, tidak terdapat cukup bukti untuk bisa menyebut masker sebagai penyebab kanker. Unggahan serupa juga sudah sempat muncul dan dibantah sejak 2020 lalu.
Oleh sebab itu informasi soal masker penyebab kanker yang dibagikan oleh akun Facebook "Mohd Hasby Khar EL" bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
Editor: Farida Susanty