tirto.id - Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) karena terbukti melanggar kode etik berat dalam putusan hakim MK nomor 90/PUU-XXO/2023. Lantas, apakah nasib Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres yang diuntungkan dalam putusan MK itu akan terpengaruh?
Jabatan Answar Usman sebagai Ketua MK dicopot berdasarkan keputusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dibacakan pada Selasa, 7 November 2023. Namun, meski Anwar Usman dicopot dari jabatannya, dia tidak diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
Putusan hakim MK pada 16 Oktober 2023 menuai komentar negatif dari berbagai pihak, sebab dalam keputusan itu MK mengubah klausul “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Perubahan klausul itu dianggap sebagai karpet merah yang sengaja dipersiapkan agar Gibran bisa maju sebagai cawapres. Pasalnya, putusan itu memang sangat menguntungkan Gibran.
Gibran yang saat ini masih berusia 36 tahun namun sedang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta bisa bertarung dalam Pilpres 2024.
Ketua MK yang merupakan Paman dari Gibran dan ipar dari Presiden Jokowi lantas dilaporkan oleh sejumlah pihak atas dugaan pelanggaran kode etik.
Lalu, untuk menindaklanjuti laporan dari berbagai pihak itu, pada 24 Oktober 2023 dibentuk MKMK yang memiliki tugas untuk mengelolah dan menelaah laporan yang diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran.
Setelah MKMK membacakan keputusan mereka terhadap nasib Anwar Usman atas pelanggaran etik berat itu. Kini muncul pertanyaan mengenai pengaruhnya terhadap pencawapresan Gibran dalam Pilpres 2024.
Apakah Putusan MKMK Pengaruhi Gibran Sebagai Cawapres?
Putusan MKMK pada Selasa kemarin tidak akan mempengaruhi putusan MK nomor 90/PUU-XXO/2023. Dengan kata lain, Gibran yang dianggap sebagai pihak yang paling diuntungkan dalam putusan itu tetap bisa maju sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
Menurut Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, putusan MK bersifat mengikat terlepas kontroversi yang menyelubunginya.
“Putusan MK itu final dan mengikat. Begitu kata konstitusi. Bahwa keputusan itu kita tidak suka, itu soal lain. Bahwa keputusannya diambil melalui cara, misalnya, melanggar aturan, nah itu soal lain lagi,” kata Jimly setelah membacakan putusan pelanggaran etik di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
Namun Jimly mengatakan, undang-undang yang telah diubah dalam putusan MK masih bisa diuji kembali. Tetapi karena proses Pemilu 2024 sudah berjalan, maka regulasinya akan mengikuti putusan MK tersebut.
Sehingga, jika pun putusan MK itu diuji ulang lagi dan dikabulkan, peraturan itu akan mulai berlaku pada Pemilu berikutnya yang akan berlangsung pada 2029.
“Undang-undang yang sudah berubah karena putusan MK itu boleh diuji kembali…Kalaupun itu nanti dikabulkan, tetapi aturan main mengenai pemilu ini sudah berjalan, pilpresnya sudah berlangsung, tahapannya sudah jalan. Kalau prosesnya sudah berjalan, ya harus diberlakukan di pertandingan berikutnya,” jelas Jimly.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra