tirto.id - Restorative Justice atau keadilan restoratif merupakan pendekatan dalam penegakan keadilan yang berusaha untuk memperbaiki kerugian dengan memberikan kesempatan bagi mereka yang dirugikan dan mereka yang bertanggung jawab atas kerugian, untuk bermusyawarah terkait kebutuhan mereka pasca kejahatan.
Seperti itulah definisi terkait keadilan restorasi yang dicetuskan dalam ‘Pertemuan Menteri Federal-Provinsi-Wilayah yang Bertanggung Jawab atas Keadilan dan Keamanan Publik’ di ST. JOHN'S, Newfoundland dan Labrador, di Kanada pada 15 – 16 November 2018 lalu.
Proses Restorative Justice merupakan ruang di luar persidangan yang diperuntukkan bagi korban, pelaku, dan masyarakat yang terkena dampak kejahatan untuk berkomunikasi.
Dalam proses tersebut mereka membahas tentang penyebab, keadaan, dan dampak kejahatan itu, serta mencari jalan penebusan kebutuhan mereka yang terdampak.
Konsep pendekatan keadilan restoratif (Restorative Justice) merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya.
Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif patut diperhitungkan kembali.
Penyelesaian perkara ini, menurut Iba Nurkasihani, barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri.
Memperhitungkan Keadilan Restoratif
Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana. Namun dalam praktiknya seringkali jauh dari tujuan hukum pidana itu sendiri.
Pada proses penegakan hukum pidana, kerap kali putusan yang dijatuhkan hakim mendapat perlawanan dalam bentuk pengajuan banding.
Hal tersebut dilakukan oleh terdakwa maupun Jaksa yang merasa bahwa putusan hakim tidak mencerminkan keadilan.
Dalam perkembangan penegakan hukum saat ini, proses penegakan hukum yang bertujuan untuk memberikan keadilan retributive atau distributive sedang bergeser menjadi pemulihan kepada keadaan semula atau keadilan restoratif.
Sejalan dengan siaran pers Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang dimuat oleh kejaksaan.go.id, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Dr. Fadil Zumhana menyampaikan penjelasan mengenai “Mengasah Kearifan Lokal dalam Rangka Membangun Kampung Restorative Justice,” bahwa hukum tidak hanya berarti peraturan resmi yang dibuat oleh pemerintah, namun juga termasuk adat istiadat yang berlaku di masyarakat yang harus diakui keberadaannya oleh negara.
Hukum adat diterima oleh masyarakat sebagai norma yang dipatuhi, sehingga setiap terjadi sengketa dalam bentuk apapun (baik pidana atau perdata), tindakan penyelesaian yang diambil oleh tokoh adat selalu diterima oleh masyarakat tanpa ada keberatan dari pihak manapun.
Prinsip keadilan restoratif pada hakekatnya sangat sejalan dengan penegakan hukum adat yang bertujuan mengembalikan keseimbangan semesta yang terganggu akibat adanya sengketa atau kejahatan di masyarakat. Sehingga perlu diberdayakan dan diterapkan dalam penyelesaian perkara-perkara yang sifatnya ringan.
Penyelesaian Perkara Melalui Keadilan Restoratif
Pada 21 Juli 2020, Jaksa Agung Republik Indonesia menetapkan Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Yang mana metode ini mengambil jalan penyelesaian perkara berdasarkan kearifan lokal sesuai norma-norma serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang dikenal dengan istilah hukum adat (landsrecht).
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana yang diajukan oleh jaksa yang diberi wewenang.
Proses ini turut melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat/pihak lain yang terkait. Dengan bertujuan untuk pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Dalam Peraturan Kejaksaan nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Jaksa yang diberikan wewenang akan bertindak sebagai fasilitator penyelesaian sengketan di luar persidangan.
Adapun perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan menempuh Restoratif Justice ialah perkara yang; a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Jalannya proses ini ditujukan untuk mencari keadilan. Keputusan hasil Restorative Justice memiliki kekuatan dan diakui di hadapan hukum.
Apabila pendekatan ini tidak mencapai hasil mufakat, penyelesaian tindak pidana akan dikembalikan ke meja hijau.
Penulis: Auvry Abeyasa
Editor: Yandri Daniel Damaledo