tirto.id - “Jika Jokowi menang, tidak akan ada lagi azan, tidak ada pengajian untuk anak-anak, tidak ada perempuan berkerudung; perempuan bisa menikah dengan perempuan, pria dengan pria,” kata tiga perempuan yang berkampanye dari pintu-ke-pintu di Karawang, Jawa Barat. Mereka adalah anggota Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Sandi (Pepes), organisasi relawan perempuan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Setelah video kampanye itu beredar, polisi setempat menyelidiki ketiga perempuan tersebut atas dugaan penyebaran "hoaks” dan "kampanye hitam" yang melanggar UU ITE (UU Informasi dan Transaksi Elektronik). Kasus ini menjadi fokus diskusi di masyarakat tentang partisipasi perempuan—dan bagaimana partisipasi tersebut dimanfaatkan—dalam kampanye Pemilu 2019 di Indonesia. Lebih penting lagi, kasus itu telah menjadikan salah satu kelompok kunci dalam pemilihan ini menjadi sorotan publik: emak-emak Indonesia.
Siapa yang dimaksud dengan emak-emak dan mengapa mereka begitu ramai diperbincangkan?
Istilah emak yang berasal dari kata "ibu" dalam dialek Betawi Jakarta, mengacu pada perempuan kelas menengah—tangguh, ulet, dan keras kepala dalam melakukan apa yang mereka yakini benar. Dalam beberapa tahun terakhir, emak-emak menjadi fenomena budaya dan subjek berbagai meme media sosial dan video viral. Berkat peran kecil mereka yang semakin penting dalam kampanye akar rumput, partisipasi perempuan berhasil menjelma sebagai tema penting dalam Pemilu 2019.
Calon wakil presiden Sandiaga Uno secara lihai dan gesit mengambil keuntungan dari popularitas emak-emak ini untuk menggaet pemilih perempuan.
"Kami ingin berjuang untuk partai emak-emak. Kami ingin harga-harga pangan terjangkau,” seru Sandi, seperti dikutip CNN Indonesia.
Tim kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons dengan menciptakan nama lebih formal untuk kelompok perempuan mereka: Ibu Bangsa. Dan dimulailah upaya-upaya untuk menargetkan pemilih perempuan dengan cara baru dan tidak konvensional, bahkan mungkin belum pernah ada dalam kampanye pemilu Indonesia.
Secara umum, para pendukung perempuan adalah mereka yang aktif dalam organisasi masyarakat dan memiliki jejaring sosial yang kuat. Hal itu membuat mereka dianggap sebagai prajurit yang sangat efektif dalam kampanye di akar-rumput.
Untuk memahami fenomena ini dengan lebih baik, saya mengikuti beberapa anggota kelompok partisan perempuan dari kubu Jokowi dan Prabowo ketika kampanye berlangsung. Saya ingin melihat apakah para relawan kampanye perempuan ini adalah suara baru untuk isu-isu perempuan dalam konteks demokrasi Indonesia, apakah mereka mendorong reformasi yang sangat krusial bagi perempuan—ataukah mereka hanya sekadar diperalat oleh tim kampanye yang lazimnya didominasi oleh laki-laki.
Politik Emak-Emak Prabowo-Sandi
Pada Agustus 2018, sekelompok perempuan kelas menengah di Jakarta mendeklarasikan pembentukan Pepes. Inisiatif ini dikoordinasi oleh Wulan, seorang pendukung Prabowo sejak Pemilu 2014 dan merupakan pelatih bisnis untuk OK-Oce, program kewirausahaan yang digadang oleh Sandiaga Uno ketika menjabat sebagai Wakil Gubernur Jakarta.
Pepes mengklaim beranggotakan lebih dari 3.000 yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka sangat terbuka dengan orang baru; siapa pun dapat bergabung dengan mengisi formulir daring atau memberikan fotokopi KTP ke anggota Pepes lainnya. Sejalan dengan strategi kampanye Prabowo-Sandi, mereka menggunakan isu tidak stabilnya harga bahan pokok dan kesempatan kerja yang terbatas sebagai kritik utama mereka terhadap rezim pemerintah saat ini.
Target utama mereka adalah kelompok yang terkena dampak paling besar dari masalah ini, yakni perempuan berpenghasilan menengah ke bawah. Mereka percaya bahkan perempuan yang tidak peduli politik akan menuntut perubahan ketika masalah ekonomi ini terus digaungkan.
Emak-emak di kubu Prabowo sangat giat menyasar pendukung Jokowi serta sarang PDI Perjuangan, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Kami tidak bekerja terlalu keras di Jakarta dan Jawa Barat. Itu area basis Prabowo. Kami hanya menyebarkannya di lingkungan taklim [kelompok belajar Islam] dan lingkungan kami. Dalam dua bulan ke depan, kami akan fokus pada Jawa Timur dan Jawa Tengah, area merah [mengacu pada warna partai PDI Perjuangan],” kata Wulan.
Pepes masuk dari satu rumah ke rumah lain di kampung dan daerah terpencil untuk mempromosikan program Prabowo-Sandi, berbicara dari hati ke hati dengan para perempuan tentang bagaimana pemerintahan saat ini tidak membawa perubahan dalam kehidupan mereka. Alih-alih memakai kata "blusukan" yang erat dengan Jokowi, mereka menggunakan istilah "kepung" (keliling kampung).
Mereka aktif di media sosial dan terus memberi kabar terbaru tentang kegiatan mereka dengan tagar yang berani seperti #PEPESKepung dan #PEPESDatangKelar. Mereka bertindak layaknya "buzzer politik" —fenomena internet yang belakangan menjadi bagian dari kampanye langsung—yang sigap menyangkal tuduhan terhadap kandidat dukungan mereka dan menyerang lawan.
Mereka juga mengklaim bahwa mereka diikuti oleh intel dan seringkali menghadapi kesulitan birokrasi ketika di lapangan. Hal itu, menurut mereka, menegaskan dampak mereka di masyarakat.
"...Pekerjaan kami dimana-mana itu diawasi ... BPN (Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi) pernah memanggil saya, meminta saya untuk lebih berhati-hati ... Mereka memberi tahu kami bahwa kelompok relawan tidak perlu melaporkan [rencana kampanye mereka] kepada pihak berwenang. Tetapi mereka menyarankan kami untuk melakukannya, mengingat pejabat lokal yang tidak netral. Itu hanya terjadi pada kita; kelompok relawan Prabowo-Sandi lainnya tidak mengalami masalah seperti itu," demikian Wulan bercerita.
Pepes tergabung dalam Gerakan Rabu Biru (GRB), gerakan gabungan 16 kelompok partisan. GRB menerima semua orang, apa pun gendernya, meskipun sebagian besar anggota aktifnya adalah perempuan. Meski sering diundang ke kegiatan mereka, Pepes kurang nyaman dengan gerakan tersebut.
Kelas sosial adalah alasan utamanya: GRB menargetkan perempuan kelas menengah ke atas yang tidak memiliki pengalaman yang sama dengan emak-emak. GRB biasanya mengadakan acara di mal dan memiliki fokus yang berbeda ketika berbicara tentang kebijakan Prabowo-Sandi.
“Harga barang yang tidak stabil memang mempengaruhi [anggota GRB secara finansial] tetapi tidak separah anggota kami, itu sebabnya bahasa kami [dalam Pepes] berbeda [dari GRB]," Wulan menguraikan pendapatnya. Meski demikian, Pepes melihat perbedaan itu sebagai strategi yang baik; kedua tim dapat menargetkan pasar yang berbeda.
Janji Prabowo-Sandi untuk Perempuan
Kampanye Prabowo-Sandi jelas ketiban manfaat dari aktivisme perempuan atas nama mereka. Namun, apakah mereka memiliki agenda kebijakan yang bermakna bagi perempuan?
Meski Prabowo dan Sandi mengklaim berada di pihak emak-emak, mereka tidak secara eksplisit memasukkan isu gender dalam visi-misi mereka. Sebaliknya, mereka fokus pada penyelesaian masalah ekonomi seperti tidak stabilnya harga bahan pokok dan keterbatasan lapangan pekerjaan untuk memerangi ketidaksetaraan gender. Sejalan dengan prioritas kampanye Prabowo, aspirasi emak-emak atas harga bahan pokok yang stabil telah ditampung dengan baik dalam visi-misi Prabowo-Sandi.
Masih banyak masalah yang tidak terbahas oleh tim kandidat ini. Salah satu yang paling penting adalah perlindungan terhadap kekerasan terhadap perempuan—masalah yang memang telah diusung oleh partai Prabowo, Gerindra.
Anggota Parlemen Gerindra Rahayu Saraswati (Sara) Djojohadukusumo, yang mengampanyekan lawan perdagangan perempuan, adalah salah satu penggiat paling aktif untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tengah bergulir di DPR RI. Dalam perdebatan RUU PKS, Gerindra mengambil posisi berlawanan dengan koalisinya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS menolak RUU tersebut, menganggapnya mempromosikan hubungan seks pra-nikah dan hubungan sesama jenis.
Hubungan canggung antara faksi-faksi dalam koalisi politik Prabowo ini—beberapa lebih terbuka pada kebijakan gender progresif, yang lain jauh lebih konservatif—mungkin bisa menjelaskan mengapa masalah gender tidak mendapat tempat spesial dalam kampanye emak-emak. Dalam sebuah wawancara, Sara Djojohadikusumo, yang juga seorang juru bicara kampanye Prabowo-Sandi, mengakui masalah ini:
"Ya, kami tidak menempatkan perlindungan perempuan secara terang-terangan tetapi kami akan melakukannya ... Kami [Gerindra] tidak dapat mendorong semua agenda kami ke koalisi. Kita harus memilih pertempuran kita. Saya tidak ingin ini menjadi masalah partisan; kita semua harus mengerjakan ini. Itu di luar partai politik, di luar urusan pemenangan Pilpres ”.
Kelompok Partisan Perempuan Jokowi
Berbeda dengan emak-emak Prabowo-Sandi, kelompok partisan perempuan Jokowi beragam dan terorganisasi secara sporadis. Mereka tampak mengusung berbagai isu. Tim kampanye nasional Jokowi telah membentuk Direktorat Penggalangan Pemilih Perempuan, dipimpin oleh Ida Fauziah, anggota parlemen senior dari PKB, partai yang erat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Lembaga ini memfasilitasi pendukung perempuan di seluruh Indonesia.
Merentang dari kelompok kecil yang terdiri dari 15 orang hingga organisasi nasional dengan ribuan anggota, para pendukung perempuan di kubu Jokowi ini relatif beragam.
"Semuanya bottom-up! Ada begitu banyak komunitas di tingkat lokal. Beberapa dari mereka datang ke kami [TKN], lalu kami daftarkan ke KPU, tetapi banyak yang tidak. Itu muncul dari inisiatif mereka sendiri, kami hanya memfasilitasi mereka, jika mereka ingin tahu lebih banyak tentang ide-ide Jokowi atau karakternya," kata Ida Fauziah dalam sebuah wawancara.
Ida memiliki pesan kampanye untuk perempuan ideal yang akan memilih Jokowi: perempuan keren, energik, religius dan nasionalis (Perempuan KEREN). Tidak seperti emak-emak Prabowo, mereka tidak menggunakan media sosial sebagai alat utama kampanye. Mereka mengandalkan jaringan perempuan yang sudah mapan untuk masuk ke kampung-kampung.
Beberapa kelompok perempuan pro-Jokowi menggunakan perspektif gender yang lebih eksplisit sebagai nilai jual mereka kepada pemilih perempuan. Salah satunya adalah sayap perempuan Bravo 5, sebuah organisasi relawan yang didominasi oleh jaringan mantan anggota militer yang didirikan oleh menteri senior Luhut Pandjaitan untuk kampanye Jokowi di 2014.
Sayap perempuan nasional Bravo 5 dipimpin oleh saudara perempuan Luhut, Kartini Sjahrir, tokoh intelektual feminis. Menariknya, sayap ini secara eksplisit mengadvokasi pemberdayaan perempuan dan isu-isu berbasis gender. Mereka berpendapat perempuan tidak boleh dibatasi untuk urusan rumah tangga saja.
Pada peluncuran sayap perempuan Bravo 5, Kartini menegaskan empat alasan untuk mendukung Jokowi:
“Pertama, peningkatan dalam layanan kesehatan dasar, terutama untuk kesehatan reproduksi perempuan ... [JKN, sistem layanan kesehatan nasional] menyediakan layanan pengiriman gratis termasuk konsultasi sebelum dan sesudah kelahiran. Kedua, sistem pendidikan gratis yang menjamin anak perempuan mendapatkan pendidikan dan mencegah pernikahan anak. Ketiga, lebih banyak peluang untuk program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan dan bantuan bagi penyandang cacat melalui Program Keluarga Harapan. Keempat, reformasi agraria yang memberi lebih banyak keuntungan bagi perempuan adat.”
Kelompok relawan perempuan pendukung Jokowi lainnya fokus pada isu ekonomi. Misalnya adalah Pertiwi, kelompok relawan perempuan lain yang didirikan oleh Putri K. Wardhani, presiden direktur perusahaan kosmetik Mustika Ratu. Pertiwi telah mendukung Jokowi sejak ia mencalonkan diri dalam Pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012 silam. Kumpulan ini menyasar perempuan kota yang berpendidikan, sambil memberikan pendampingan sosial bagi perempuan dari kelas ekonomi bawah.
Daya tarik utama dari kampanye Pertiwi adalah kebijakan keuangan mikro Jokowi yang sedang berjalan, MEKAAR, yang membantu akses permodalan dan industri rumah tangga, dengan klaim telah membantu lebih dari 4 juta perempuan miskin. Bagi Pertiwi, masalah lain, seperti kekerasan rumah tangga dan kekerasan seksual, bukanlah prioritas mereka karena isu tersebut telah digarap oleh organisasi lain.
Jokowi juga didukung kelompok perempuan Islam terbesar di pihaknya, Muslimat, sayap perempuan NU. Baru-baru ini, Jokowi menghadiri peringatan Muslimat bersama 100.000 anggota dan perempuan NU terkemuka seperti Yenny Wahid dan gubernur Jawa Timur Khofifah Indra Parawansa. Keduanya telah menyatakan dukungan untuk Jokowi.
Tim Jokowi mengklaim rekam jejaknya akan kesetaraan gender memungkinkannya menarik pemilih perempuan. Mereka menyoroti keberhasilan sistem layanan kesehatan nasional dalam mengurangi angka kematian ibu dan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikan. Jokowi sendiri menyebutkan jumlah menteri perempuan di kabinetnya sebagai bukti ia mendukung kesetaraan gender.
Politik yang Merendahkan?
Dapat dilihat bahwa kelompok partisan perempuan pro-Jokowi memiliki beragam agenda, dari layanan kesehatan dan pendidikan hingga peluang ekonomi bagi perempuan untuk bekerja dari rumah. Emak-emak Prabowo, bagaimanapun, lebih tersentralisasi dan mempromosikan agenda yang lebih terbatas dan jelas: mengatasi masalah ekonomi bagi perempuan.
Apa yang menyatukan kedua kampanye adalah taktik mereka yang mengeksploitasi wacana usang terkait peran perempuan sebagai ibu dan ibu rumah tangga. Contoh terang dari taktik tersebut terlihat dari bunyi visi-misi Jokowi-Ma'ruf Amin untuk 2019-2024 (PDF) terkait isu-isu perempuan:
“Perempuan adalah kunci keberhasilan negara ... Kita harus mendorong perempuan untuk memiliki posisi penting dalam keluarga dan masyarakat. Sebagai ibu dari bangsa, perempuan mendidik anak-anak, meningkatkan mentalitas bangsa, menjaga moral keluarga, dan menggerakkan ekonomi keluarga dan masyarakat. "
Akademisi feminis Susan Blackburn, dalam bukunya Women and State in Modern Indonesia, mengeksplorasi bagaimana Orde Baru menyebarkan peran gender yang diharapkan dari laki-laki dan perempuan di Indonesia. Menjadi perempuan yang ideal berarti menjadi ibu dan istri, yang tanpa pamrih mendukung pekerjaan suaminya sambil mendidik anak-anak untuk menjadi warga negara yang baik.
Ideologi gender negara seperti itu melucuti perempuan, dari seorang individu yang bebas menjadi seseorang yang identitasnya dimiliki orang lain: suami atau anak-anak. Mereka bisa aktif dalam ruang publik selama mereka mewakili keluarga, bukan diri mereka sendiri. Wacana itu diteruskan dari generasi ke generasi dan, dalam kasus perempuan, dibungkus lebih kuat dalam gagasan kodrat, atau sifat bawaan seorang perempuan.
Yang mengecewakan, wacana era Orde Baru ini terus hidup dan berhembus kencang dalam pemilu 2019. Perbincangan ramai baru-baru ini soal "emak-emak" versus "ibu bangsa" menunjukkan bahwa kedua kubu sering melihat masalah perempuan terbatas pada masalah rumah tangga. Masalah penting lain diabaikan, misalnya perlindungan dari kekerasan dan kesetaraan gender di tempat kerja. Dalam hal ini, mobilisasi para pendukung perempuan justru berpotensi kian merendahkan perempuan.
Kelompok partisan perempuan adalah cermin dari gejala ini. Mereka mengadvokasi masalah-masalah yang berputar di sekitar peran mereka semata-mata sebagai ibu dan ibu rumah tangga seperti harga bahan pokok. Hal ini tercermin dari apa diungkapkan pendukung Prabowo: "Masalah perempuan sangat luas ... Perhatian utama kami adalah keseimbangan ekonomi rumah tangga, sedangkan perlindungan hak-hak perempuan menempati urutan kedua."
Di sisi lain, relawan perempuan Jokowi mengatakan: “Kami tidak memasukkan kekerasan terhadap perempuan karena banyak organisasi telah menanganinya. Kami pergi ke lapangan untuk mengidentifikasi apa yang dibutuhkan orang, dan itu bukan salah satu masalah yang muncul."
Mengemukanya peran kelompok partisan perempuan ini dapat dirayakan sebagai contoh keterlibatan politik yang sebagian besar digerakkan sendiri oleh pihak perempuan Indonesia. Namun, isu yang mereka perjuangkan masih terjebak dalam ideologi gender yang dicanangkan negara dalam budaya patriarki, yang mengasumsikan masalah perempuan identik dengan masalah ibu.
Kedua tim kampanye perlu berhati-hati dalam menggambarkan perempuan sebagai individu yang memiliki agensi, bukan hanya dalam peran mereka dalam menjaga keluarga mereka. Tampaknya Indonesia masih harus menempuh jalan panjang sebelum isu gender menjadi pusat debat kandidat, inisiatif kebijakan publik, dan wacana kampanye.
--------------------------
Sebelum diterjemahkan oleh Levriana Yustriani, tulisan ini terbit dalam bahasa Inggris di New Mandala dengan judul "What Will Indonesian Women Win This Election?". Penulisnya, Dyah Ayu Kartika (Kathy), adalah peneliti pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD Paramadina), Jakarta. Selama Pemilu 2019, ia menjadi New Mandala Indonesia Correspondent Fellow yang menulis isu gender.
Penulis: Dyah Ayu Kartika
Editor: Maulida Sri Handayani