tirto.id - Beberapa hari lalu Didit Hediprasetyo jadi salah satu tamu dalam pesta ulang tahun selebritas Paris Hilton yang dirayakan di sebuah klub malam. Foto Didit terpampang di akun Instagram Hilton. Didit terlihat berpose dengan Paris dan beberapa tamu lain. Salah satunya model lingerie Victoria Secret, Jasmine Tookes. Instastory Didit hari itu pun diisi foto-foto bersama Paris di ruang pesta.
Diditadalah anak capres paling misterius di Indonesia. Ia sudah berprofesi sebagai perancang busana sejak 2007, tapi sampai hari ini sosoknya jarang sekali tampil di media massa gaya hidup dalam negeri. Ulasan yang cukup panjang tentang Didit justru ditemukan di beberapa media berbahasa Inggris dan Perancis. Itu pun bisa dihitung dengan jari.
Pada 8 Januari 2019, Tirto meminta kesempatan wawancara dengan Didit via surat elektronik. Namun, hingga hari ini surat tersebut tak direspons.
Sekitar satu dekade lalu, ia memutuskan menetap di Paris. Dalam wawancaranya dengan Couturenotebook, Didit menyatakan alasannya tinggal di ibukota dunia abad ke-19 itu. “Kalau aku hanya berkarya di Indonesia, aku hanya jadi orang yang bersikap terlalu nasionalis dan berpikiran cupet. Aku rasa para desainer Asia harus memamerkan karya di luar negeri untuk menunjukkan kesanggupan melayani klien global.”
Keyakinan untuk menetap dan berkarya di Paris muncul setelah seorang kawan yang berprofesi sebagai humas bidang mode menyarankan Didit untuk menampilkan karya pada ajang Paris Couture Week 2010. Saat itu Didit kurang percaya diri. Pasalnya, ia merasa belum punya rekam jejak yang cukup untuk tampil dalam peragaan busana sekelas Couture Week, salah satu satu pekan mode terpenting dunia. Akhirnya dengan bantuan sang kawan, ia memamerkan 45 rancangan busana di Hotel de Crillon, sebuah bangunan mewah nan legendaris di Paris.
Menurut Didit, koleksinya saat itu mendapat respons positif. Oleh karena itu, usai peragaan busana pertama, pria lulusan Parson School of Design New York dan Paris ini rutin menggelar peragaan busana di hotel tersebut. Seiring waktu, ia tak hanya berlaga di Couture Week tetapi juga di Paris Fashion Week, ajang peragaan busana yang menampilkan busana siap pakai.
Pria dengan nama lahir Regowo Hediprasetyo ini masuk di dunia fesyen Paris di saat adibusana (Haute Couture) tengah dipertanyakan lagi oleh para pelaku industri mode, termasuk di dalamnya Fédération française de la couture, asosiasi pelaku bisnis adibusana yang diresmikan pada 1945.
Sebelum 2010-an, adibusana dimaknai sebagai cara pembuatan baju yang mengedepankan keterampilan dalam eksplorasi teknik, material, dan motif. Semakin elegan dan rumit maka dianggap semakin baik.
Fédération française de la couture menekankan bahwa para perancang busana hanya boleh mengaku sebagai perancang adibusana bila mempekerjakan minimum 20 orang, memproduksi setidaknya 25 baju untuk satu musim—misal musim gugur/musim dingin, atau musim semi/musim panas—dan mendapat persetujuan dari Kementerian Perindustrian Perancis.
“Sebagian besar proses pembuatan adibusana dilakukan dengan tangan. Harganya dimulai dari ratusan sampai ratusan ribu dolar untuk sepotong busana,” tulis Alexander Fury dalam “What Does Couture Actually Mean” yang terbit di The New York Times (2017).
Dengan demikian, bisnis adibusana kasarnya adalah bisnis ‘bakar duit’. “Adibusana adalah simbol status dan cara desainer untuk menunjukkan keterampilan dan kreativitas mereka,” kata Valerie Steele, direktur museum di Fashion Institute of Technology, New York.
Presiden label busana Chanel Bruno Pavlovsky pun berpendapat bahwa jenis baju adibusana hanya bisa menyenangkan hati segelintir orang.
Interpretasi baru atas couture akhirnya datang dari presiden asosiasi, Pascal Morand. Kepada Fury, ia mengatakan bahwa yang dipentingkan dalam adibusana adalah kreativitas dan kecakapan.
Pandangan baru ini membuat jenis baju yang ditampilkan dalam adibusana jadi lebih “normal”, dalam artian tidak rumit dan bisa dikenakan di segala situasi. Walhasil, para perancang yang desainnya terinspirasi streetwear seperti Demna Gvasalia, Virgil Abloh, Kim Jones, dan Jacquemus akhirnya dianggap sebagai desainer adibusana.
Didit jadi termasuk di dalamnya. Gaya rancangannya terbilang sederhana, tidak neko-neko. Adibusana versi Didit bisa terwujud dalam setelan celana panjang kulit dan blazer, terusan panjang polos, setelan suit tanpa lengan, hingga bralet—seperti yang terlihat dalam koleksi musim semi 2017.
“Aku ingin menggaet klien muda dan menawarkan kepada mereka jenis adibusana yang modern. Aku membayangkan klienku bisa memakai rancangan adibusana ketika hendak pergi ke kedai kopi hingga ke pantai,” kata pria yang menjadi konsultan busana tim sukses Prabowo-Sandi ini.
Pernyataan Didit terbukti lewat koleksi musim panas 2019, rancangan terbaru Didit. Pada koleksi ini ia merancang celana pendek berbahan renda dan atasan transparan. Dua busana yang bisa digunakan para kliennya untuk pergi ke pantai.
Dalam wawancara dengan SWA lima tahun lalu, ia bilang bahwa ranah adibusana memberinya peluang besar untuk melakukan eksplorasi teknik. Sosok yang mengidolakan tokoh Alexis dalam serial televisi 1980-an Dynasty ini bilang bahwa dirinya selalu tertarik dengan teknik drapery. Mudahnya, bayangkan busana yang dikenakan para dewi mitologi klasik dalam patung-patung Yunani Kuno. Kegemaran untuk membuat busana semacam itu terbukti dalam koleksi musim semi 2013.
Beberapa tahun lalu, cucu Soeharto ini sempat bilang ingin memperluas bisnis melalui lini busana siap pakai yang bakal dijual dengan harga terjangkau. Tapi sampai sekarang, belum ada tanda-tanda impian tersebut bakal terwujud.
Di ranah mode, Didit terlihat seperti desainer yang tidak butuh sorotan. Ia nampak nyaman dengan jumlah pengikut akun media sosial yang bisa dibilang tidak spektakuler—45 ribuan pada 19 Februari 2019. Ia juga bukan tipe desainer yang kerap meminjamkan busana kepada para pesohor atau influencer agar karyanya makin terkenal.
Selebritas yang cukup sering mengenakan karyanya pada acara-acara formal ialah Anggun C Sasmi, Nadya Hutagalung, Velove Vexia, dan Dian Sastrowardoyo. Mereka dikabarkan berteman dengan Didit.
Editor: Windu Jusuf