tirto.id - Kasus perceraian di Indonesia yang dilaporkan selalu meningkat tiap tahunnya, kerap menuai permasalahan terutama terhadap masa depan dan hak asuh anak.
Beranjak dari hal tersebut, diperlukan adanya pemahaman terkait aturan hak asuh anak setelah perceraian, terutama bagi kedua orang tua yang sama-sama memiliki kemungkinan mendapatkan hak asuh anak.
Dalam aturan hak asuh anak setelah perceraian, terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi hak asuh anak jatuh secara mutlak kepada sang Ibu, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sang Ayah juga memiliki kemungkinan mendapatkan hak asuh anak.
Akan tetapi, tak banyak kasus yang pada akhirnya justru kedua orang tua lebih memilih menelantarkan anaknya sebab tak mengetahui dasar maupun kewajiban seperti apa yang harus dipenuhi untuk sang anak.
Dalam kasus itu, dikutip jurnal.ar-raniry.ac.id, masa perceraian bukan diartikan sebagai penghilangan hak dan kewajiban orangtua bagi anaknya, kewajiban memelihara masih harus tetap dilangsungkan hingga sang anak dewasa dan berdiri sendiri.
Untuk memperkuat hal tersebut, akhirnya lahir perlindungan hukum terhadap anak yang ditujukan untuk memastikan serta menjamin terpenuhinya hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh anak.
Selain itu, pengambilan keputusan untuk masa depan sang anak harus mengedepankan kebutuhan yang diinginkan.
Aturan Hak Asuh Anak Setelah Perceraian
Dilansir pa-semarang.go.id, dalam sebuah relationship atau hubungan rumah tangga yang kurang harmonis hingga berujung perceraian, kerap menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak mereka, terlebih ketika kedua orang tuanya sudah menemukan pasangan baru masing-masing.
Dalam hal ini, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pengadilan harus campur tangan untuk menentukan pilihan yang tepat terkait hak asuh anak pascaperceraian dengan tujuan demi masa depan yang lebih baik untuk sang anak.
Berdasarkan pandangan Islam, sesuai Pasal 156 UU Nomor 1 Tahun 1974, diberikan ketentuan bahwa anak yang belum dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk, berhak mendapatkan hadhanah atau hak asuh kepada ibunya, akan tetapi jika ibunya telah meninggal, maka hak asuhnya akan diberikan kepada wanita garis lurus ke atas dari sang ibu.
Namun, jika tidak ada yang mampu, maka hak asuh tersebut dapat diberikan kepada ayah. Garis lurus ke atas dari sang ayah juga bisa mendapatkan hak asuh anak jika sang ayah merasa tidak mampu atau sudah tidak ada.
Perlu digaris bawahi juga, jika dari kedua kelompok baik ayah maupun ibu tidak ada yang sanggup, maka berdasarkan ketentuannya, hak anak dapat diberikan kepada saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
Secara tradisi, garis wanita atau sang ibu lebih diprioritaskan karena berkaitan dengan masalah yang bersifat psikologis seperti kasih sayang dan kelembutan.
Selain itu, menurut repository.radenfatah.ac.id, pada dasarnya ibu lebih diutamakan ketimbang siapa pun termasuk sang ayah dalam hal hak asuh anak yang belum bisa membedakan yang benar dan buruk/baligh.
Mengacu pada pasal 156 huruf (a), terdapat urutan pemegang hak asuh anak, di antaranya:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2) Ayah
3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu
6) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ayah.
Sementara itu, jika mengacu pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 102 K/Sip/1973, Nomor 126 K/Pdt./2001, dan Nomor 239 K/Sip/1968, diputuskan bahwa hak asuh anak diprioritaskan untuk ibu kandung atas dasar pertimbangan masa depan anak, terlebih bagi anak yang masih di bawah umur (12 tahun ke bawah).
Selain itu, pertimbangan Mahkamah Agung meninjau dari segi psikologis di mana sang anak terutama yang belum dewasa, sangat membutuhkan kasih sayang dan perawatan ibu meskipun sudah bercerai.
Meskipun pada dasarnya hak asuh anak diprioritaskan kepada sang Ibu, pihak Ayah juga masih memiliki kemungkinan mendapatkan hak asuh anak yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti persetujuan bersama antara ibu dan ayah terkait pertimbangan hak asuh akan diberikan kepada siapa.
Hal itu akan dikabulkan oleh hakim, termasuk jika kesepakatan hak asuhnya bagi sang Ayah.
Pihak ayah kandung juga memiliki kemungkinan dapat hak asuh anak jika terdapat saksi yang memberatkan pihak ibu dalam hal memperoleh hak asuh anak serta jika pihak ibu terindikasi dapat menelantarkan maupun tidak bertanggung jawab terhadap anaknya.
Faktor lainnya yang dapat memengaruhi hak asuh anak didapatkan sang ayah yakni dari segi ekonomi yang lebih baik, kemudian kedekatan anak dengan ayahnya, serta beberapa pertimbangan lainnya yang tidak memungkinkan jika anak diasuh oleh sang ibu.
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Dhita Koesno