tirto.id - Raja Yordania, Abdullah II mengaku siap berkonflik apabila Israel apabila negara itu mengubah status situs suci Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Konteks itu dia sampaikan ketika menanggapi pemerintahan baru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Jika orang ingin terlibat konflik dengan kami, kami cukup siap,” kata Raja Abdullah II dalam wawancara ekslusif CNN bulan ini.
“Kita memiliki garis merah tertentu… Dan jika orang ingin mendorong garis merah itu, maka kita akan menghadapinya.”
Pemerintahan baru Israel di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu menimbulkan kekhawatiran tentang adanya potensi eskalasi kekerasan Israel-Palestina dan masa depan hubungan Israel dengan negara tetangga Arab dan sekutu Barat.
Sebab, mereka menduga, kabinet yang disusun oleh PM Israel Benyamin Netanyahu saat ini diisi oleh sejumlah tokoh kontroversial yang berhaluan sayap kanan.
“Kita harus khawatir tentang intifada (pemberontakan) berikutnya,” kata raja. Dalam konteks itu dia berbicara tentang meningkatnya momok pemberontakan baru Palestina terhadap Israel.
“Dan jika itu terjadi, itu adalah pelanggaran hukum dan ketertiban yang tidak akan diuntungkan oleh Israel maupun Palestina. Saya pikir ada banyak perhatian dari kita semua di wilayah ini, termasuk di Israel yang berada di pihak kita dalam masalah ini, untuk memastikan hal itu tidak terjadi.”
Seperti dikutip Israel Hayom dari kantor berita resmi Palestina, menurut juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh pada Rabu, agenda kebijakan pemerintah Israel yang akan akan datang adalah “eskalasi yang berbahaya.”
Abu Rudeineh mengeluarkan peringatan terselubung akan ada kekerasan berkelanjutan kecuali mengakui kedaulatan Palestina.
Dia meminta pemerintahan Joe Biden "untuk mewujudkan kata-katanya menjadi perbuatan karena berkomitmen pada solusi dua negara, yang tanpanya tidak akan ada stabilitas di kawasan."
Seperti dikutip dari laman Charles University, awal mula konflik itu terjadi pada tahun 1948. Kala itu, Yordania bersama dengan Suriah, Mesir, Irak dan Lebanon ikut dalam perang kemerdekaan Israel.
Namun demikian, konflik antara Yordania dan Israel berlanjut pada tahun 1949, tepatnya setelah perang Arab-Israel berakhir.
Setelah Israel menang dalam perang, Yordania dan Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata pada 3 April 1949, termasuk demarkasi perbatasan. Sejak saat itu, sengketa teritorial atas Yerusalem Timur dan Tepi Barat tetap menjadi inti dari konflik.
Editor: Yantina Debora