tirto.id - Anda perlu tahu kalau kanker ovarium adalah salah satu the silent killer di Indonesia, karena bukan perkara mudah untuk menangani kanker ovarium.
Menurut laman Kementrian Kesehatan, penanganan kanker ovarium adalah tantangan terbesar untuk para dokter onkologi ginekologi, di antara seluruh kanker ginekologi.
Pada stadium awal, kanker ovarium ini tidak memberikan gejala yang spesifik. Kanker ovarium baru memberikan gejala pada stadium lanjut saat kanker telah menyebar ke organ di sekitarnya. Selain itu, 60% penderita yang telah menjalani kemoterapi akan kambuh lagi dan resisten terhadap kemoterapi.
Lantaran sulit untuk mendeteksi gejala pada stadium awal, angka kematianya pun amat tinggi di Indonesia.
Menurut data Global Cancer Incidence, Mortality and Prevelance (Globocon), seperti dilansir dari laman Kementrian Kesehatan, kanker ovarium atau kanker indung telur adalah jenis kanker ketiga yang paling banyak diderita oleh perempuan Indonesia. Pada 2020, jumlah kasusnya mencapai 14.896 kasus dan angka kematiannya mencapai 9.581 kasus.
Kanker ovarium sendiri adalah tumor ganas pada alat reproduksi perempuan yang sulit ditemukan gejala klinisnya pada stadium awal. Kanker ini paling banyak diderita oleh perempuan usia post menopause antara 50-70 tahun.
Menurut laman UNAIR News, kanker ovarium timbul dari berbagai jenis sel yang terdapat pada ovarium. Lebih dari 905 kanker ovarium berasal dari sel epitel permukaan ovarium yang disebut sebagai karsinoma ovarium. Sedangkan sebagian kecil berasal dari sel benih yang disebut sebagai tumor sel germinativum, dan dari sel stroma pada ovarium.
Faktor risiko penyebab kanker ovarium
Agar lebih waspada terhadap kanker mematikan ini, Anda harus tahu berbagai faktor risiko yang diduga amat berperan dalam munculnya kanker ovarium pada perempuan. Berbagai faktor risiko kanker ovarium seperti dilansir dari laman Kementrian Kesehatan itu adalah:
1. Pertambahan usia
2. Angka paritas rendah
3. Gaya hidup yang tidak sehat (merokok, obesitas, konsumsi makanan tinggi kolesterol)
4. Memiliki riwayat kista endometriosis
5. Memiliki riwayat keluarga dengan kanker ovarium, kanker payudara, kanker usus besar
6. Mutasi genetik, misalnya BRCA (gen yang menakan sel tumor)
Gejala kanker ovarium
Pada stadium awal, kanker ovarium memang tidak menunjukkan gejala yang mudah dikenali. Namun, ketika Anda terkena kanker ovarium, pada umumnya, Anda akan mengalami hal-hal yang umum semacam ini seperti dilansir dari Mayo Clinic:
1. Perut kembung atau perut membengkak
2. Mudah merasa kenyang
3. Berat badan turun
4. Rasa tidak nyaman pada area panggul
5. Sering merasa lelah
6. Rasa sakit di punggung
7. Perubahan kebiasaan buang air besar, seperti sembelit
8. Sering buang air kecil
Untuk pengobatan kanker ovarium, hal yang paling baik dan seharusnya dilakukan adalah dengan melakukan deteksi dini, seperti melakukan pemeriksaan ginekologi, atau melakukan USG transvaginal.
Sebab, kalau kanker ovarium sudah bisa dideteksi dari awal, menurut Dokter Spesialis Onkologi, Oni Khonsa, seperti dilansir dari Antara, kanker ovarium dapat ditangani, dan 94 persen pasiennya dapat hidup lebih dari lima tahun setelah didiagnosis.
Menurut dr. Oni Khonsa, saat kanker ovarium masih berada di stadium awal, kanker masih terbatas di ovarium, sehingga penanganannya dan pengobatannya memiliki kemungkinan besar untuk berhasil.
Menurut laman Kementrian Kesehatan, untuk mengobati kanker ovarium, perlu dilakukan operasi pengangkatan massa tumor dan organ terkait untuk penegakan staging dan kemoterapi, yaitu terapi menggunakan obat anti kanker (sitostatika) yang bertujuan membunuh sel kanker.
Setelah operasi, pasien kanker ovarium perlu melakukan perawatan luka operasi dengan mengonsumsi makanan mengandung kalori dan protein tinggi.
Pasien juga perlu menjaga daerah luka operasi untuk tetap kering dan tidak lembab, serta menjaga kebersihan tubuh, dan minum obat seusai anjuran dokter.
Kemudian, selama proses kemoterapi, pasien harus makan secara teratur dan hanya mengonsumsi makanan sehat dengan nutrisi seimbang.
Selain itu, pasien harus menghindari makanan atau minuman yang mengandung kafein dan kolesterol tinggi. Pasien juga harus istirahat cukup, menghindari stres, memperbanyak minum air putih, serta rutin melakukan pengobatan sesuai jadwal yang dianjurkan dokter.
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Nur Hidayah Perwitasari