tirto.id - Guru Besar Farmasi UGM, Prof. Zullies Ikawati, mengatakan hydroxychloroquine memiliki efek samping serius terhadap jantung, yaitu gangguan irama jantung atau aritmia, Kamis (30/4/2020).
"Dari laporan di Amerika, memang ada kematian akibat penggunaan HCQ (hydroxychloroquine). Hal itu mungkin saja, karena memang ada efek samping serius dari obat ini terhadap jantung, yaitu gangguan irama jantung atau aritmia," kata Zullies saat dihubungi redaksi Tirto.
"Tetapi kita belum bisa memastikan apakah penyebab dari kematian pasien adalah semata-mata karena obat HCQ-nya, karena laporannya baru terbatas," lanjut Zullies.
Zullies menambahkan, pasien COVID-19 yang berisiko mengalami gangguan irama jantung akibat penggunaan hydroxychloroquine adalah mereka yang sudah lanjut usia dan memiliki penyakit tertentu.
"Yang lebih berisiko terhadap gangguan irama jantung akibat penggunaan HCQ adalah mereka yang usia lanjut, punya riwayat penyakit kardiovaskuler/stroke, ada penggunaan obat lain yang juga berisiko mempengaruhi jantung, ada riwayat QT interval prolongation/aritmia, dan dari hasil pemeriksaan EKG awal ada prolong QT interval," ujarnya.
Sehingga, menurut Zullies penggunaan hydroxychloroquine pada pasien COVID-19 harus dipantau dan diawasi secara ketat.
"Pada pemakaiannya harus dipantau secara ketat dengan pemeriksaan EKG setiap hari," katanya.
"Upaya mitigasi sudah dilakukan dengan rekomendasi untuk melakukan pemeriksaan ECG setiap hari, apalagi jika pasien sudah memiliki riwayat gangguan kardiovaskuler sebelumnya, atau menggunakan obat-obat lain yang juga menyebabkan gangguan irama jantung," lanjutnya.
Menurutnya, sejauh ini WHO masih merekomendasikan hydroxychloroquine pada pasien COVID-19 sehingga penggunaannya masih masuk dalam panduan terapi dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
"Sejauh ini WHO masih merekomendasikan penggunaan HCQ maupun CQ, mungkin sampai diperoleh informasi yang definitif. Namun demikian, FDA memang sudah memperingatkan untuk waspada dalam penggunaan obat ini, dan juga klorokuin," kata Zullies.
Zullies juga menegaskan, bahwa hydroxychloroquine yang merupakan obat untuk malaria ini bisa saja memiliki efek samping pada siapapun, termasuk penderita malaria yang mengonsumsi obat tersebut.
Namun, jika pasien tidak memiliki faktor risiko seperti penyakit penyerta bisa jadi efek samping tersebut tidak akan timbul.
"Pada prinsipnya, efek samping HCQ bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada penderita malaria. Tetapi jika penderita malaria tidak ada faktor risiko di atas, bisa jadi efek samping tersebut tidak selalu muncul. Sekali lagi, efek samping itu juga tidak selalu terjadi pada setiap orang, bisa jadi karena faktor genetik atau sensitivitas seseorang terhadap obat itu berbeda," pungkas Zullies.
Studi soal penggunaan hydroxychloroquine pada pasien COVID-19
Sebelumnya, sebuah studi yang dilakukan di Columbia VA Health Care System, Universitas South Carolina dan Universitas Virginia menyebutkan, tidak menemukan manfaat hydroxychloroquine, yang ada justru tingkat kematian yang lebih tinggi pada pasien yang menggunakan hydroxychloroquine.
Studi soal hydroxychloroquine yang mengulas grafik medis veteran itu diposting Selasa lalu di medrxiv.org. Penelitian ini didanai oleh National Institutes of Health dan University of Virginia.
Penelitian ini dilakukan terhadap 368 pasien, 97 pasien yang menggunakan hydroxychloroquine memiliki tingkat kematian 27,8 persen. Sementara 158 pasien yang tidak menggunakan obat tersebut memiliki tingkat kematian 11,4 persen.
"Asosiasi peningkatan kematian secara keseluruhan diidentifikasi pada pasien yang diobati dengan hydroxychloroquine saja. Temuan ini menyoroti pentingnya menunggu hasil studi prospektif, acak, terkontrol sebelum adopsi yang luas dari obat ini," tulis para penulis tersebut.
Para peneliti juga melihat apakah pengambilan hydroxychloroquine atau kombinasi hydroxychloroquine dan antibiotik azithromycin memiliki efek, dan apakah pasien perlu menggunakan ventilator.
"Dalam penelitian ini, kami tidak menemukan bukti bahwa penggunaan hydroxychloroquine, baik dengan atau tanpa azitromisin, mengurangi risiko ventilasi mekanik pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19," tulis para penulis.
Editor: Agung DH