Menuju konten utama

Penelitian Soal Hydroxychloroquine Obat Covid-19 Diragukan

Klaim hydroxychloroquine dan chloroquine untuk pengibatan corona (Covid-19). Klaim ini diragukan sejumlah peneliti lain.

Penelitian Soal Hydroxychloroquine Obat Covid-19 Diragukan
Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga (kanan) menyerahkan kotak berisi obat Chloroquine kepada Dirut RSPI Sulianti Saroso dr. Moh. Syahril di Jakarta, Sabtu (21/3/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.

tirto.id - Ratusan ilmuwan mengungkapkan keraguan mereka, atas studi yang menyatakan bahwa hydroxychloroquine dan chloroquine tidak bermanfaat untuk mengobati pasien infeksi virus corona (Covid-19).

Sebelumnya, melalui penelitian besar-besaran yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet pada 22 Mei lalu, akhirnya membuat WHO menghentikan uji klinis terhadap obat antivirus ini.

Hydroxychloroquine, menjadi salah satu obat yang diujicoba untuk virus corona antara lain karena dukungan dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Presiden AS Donald Trump.

Namun, para peneliti studi tersebut, seperti diikutip dari AFP pada Jumat (28/5), tetap mendukung kesimpulan penelitian mereka. Mereka meyakini hydroxychloroquine dan cloroquine, yang jamak dipakai sebagai obat antimalaria, tidak memperlihatkan manfaat bahkan meningkatkan kemungkinan pasien meninggal.

Penelitian yang dipimpin oleh Mandeep Mehra dari Rumah Sakit Brigham di Amerika Serikat itu mengkaji data 96 ribu pasien dari ratusan rumah sakit antara Desember dan April dan membandingkannya dengan pasien dalam satu kelompok kontrol.

Hydroxchloroquine Dinilai Tidak Efektif Mengatasi Covid-19

Penelitian yang berjudul Hydroxychloroquine or Chloroquine with or without a Macrolide for Treatment of COVID-19: A Multinational Registry Analysis tersebut, sejalan dengan hasil beberapa penelitian sebelumnya dengan skala lebih kecil, seperti penelitian dalam MedRxiv, bahwa hydroxchloroquine tidak efektif dalam mengatasi Covid-19 dan bahkan kemungkinan lebih berbahaya dari pada tidak mengobati penyakit ini.

Kedua obat itu bisa berpotensi menimbulkan efek samping, terutama aritmia jantung. Aritmia merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh impuls elektrik yang berfungsi mengatur detak jantung normal mengalami gangguan atau tidak bekerja dengan baik.

Beberapa hari setelah hasil penelitian terbit, WHO menghentikan sementara penggunaan obat dalam Uji Coba Solidaritas, yang mendorong ratusan rumah sakit di berbagai negara mengikutsertakan pasien dalam uji coba pengobatan Covid-19.

Sementara pada Kamis (28/05/2020) lalu, sebanyak lebih dari 120 peneliti melalui surat terbuka menuliskan keprihatinan mereka atas penelitian tersebut. "Langkah ini membuat banyak peneliti di berbagai negara mempelajari studi yang dipertanyakan itu secara lebih rinci," bunyi pembuka surat terbuka para peneliti yang dikutip pada Minggu (31/05/2020).

Surat itu juga menuliskan, bahwa hasil pengamatan lebih rinci ini menimbulkan "keraguan akan integritas metodologi dan data".

Salah satu yang dipertanyakan dalam penelitian tersebut adalah minim informasi terkait negara dan rumah sakit yang memberi pasokan data oleh satu perusahaan analisis data bernama Surgisphere yang berkantor pusat di Chicago.

Masalah lain yang digarisbawahi adalah ketidakcocokan data Australia karena angka kematian yang dicatat rumah sakit dalam penelitian itu lebih besar dari pada data resmi pemerintah Australia.

Dalam pernyataan tertulis, seperti dilansir dari Rappler, Lancet mengatakan telah menerbitkan perbaikan atas ketidakcocokan data tersebut karena satu rumah sakit mengaku berada di benua Australia dan Asia padahal seharusnya hanya ada di benua Asia.

"Lancet mendorong perdebatan ilmiah dan akan menerbitkan tanggapan pada penelitian ini, bersamaan dengan tanggapan dari peneliti, di jurnal berikut," ujar pernyataan yang menambahkan bahwa kesimpulan penelitian itu tidak berubah.

Mehra, pemimpin penelitian, juga mengeluarkan pernyataan bahwa para peneliti itu telah melakukan kajian akademik atas penelitian mereka dan dilakukan "tanpa ada rangkaian data yang besar, ketat dan tersedia secara publik tentang hydroxychloroquine atau chloroquine".

"Seperti yang diungkap dalam studi itu, para peneliti menggarisbawahi pentingnya dan menghargai uji klinis random dan mengatakan bahwa uji klinis itu sangat penting sebelum bisa mengambil kesimpulan," ujarnya.

"Akan tetapi, hasil itu tidak bisa didapat dari uji klinis sebelum musim panas mendatang, dan mengingat situasi yang mendesak, memanfaatkan rangkaian data yang ada merupakan jalan penengah."

WHO akan Membuat Kesimpulan Juni Mendatang

Sementara itu juru bicara WHO mengatakan kesimpulan kajian komprehensif terhadap obat-obatan itu akan bisa didapatkan pada pertengahan Juni mendatang.

Di antara penandatangan surat yang mempertanyakan penelitian itu adalah pakar klinis, epidemiologi dan peneliti lain dari berbagai belahan dunia.

Francois Balloux, salah satu ilmuwan penandatangan dari University College London memandang, bahwa sudah menjadi "tugasnya" untuk membubuhkan namanya dalam meminta jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terkait studi itu dan transparansi yang lebih besar.

"Saya sangat meragukan manfaat pengobatan CQ/HCQ untuk Covid-19, dan tidak sabar drama ini berakhir," bunyi cuitannya di Twitter.

"Meski demikian, saya memandang "integritas penelitian" tidak bisa hanya diharuskan ketika hasilnya tidak mendukung pendapat awal kita."

Surat ini juga ditandatangani oleh peneliti Prancis Phillipe Parola, rekan dari profesor Didier Raoult, yang dipandang sebagai pendukung utama hydroxychloroquine dan dikritik keras terkait metodologi penelitian.

Krisis virus corona memberi tekanan besar pada sistem penerbitan karya ilmiah karena begitu banyak penelitian yang dihasilkan dan membuat proses kajian penelitian oleh ilmuwan lain dipercepat.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Agung DH