tirto.id - Sebagaimana kejadian besar lain di bumi, pandemi Covid-19 turut memengaruhi banyak karya, mulai dari artwork, tulisan, hingga musik. Para artis jauh-jauh hari telah membuat beragam ilustrasi bertemakan pandemi dengan kesan yang menguatkan (atau mematahkan) hati, sementara para penulis hampir pasti memasukkan kata 'pandemi' kala menyusun esai-esai terkini.
Di ranah musik, Puscifer, band alt-rock/post-industrial asal Amerika Serikat (AS), menjadi salah satu yang pertama kali mengabadikan pandemi Covid-19 ke dalam karya. Video klip untuk lagu 'Apocalyptical' dirilis pada 8 Mei 2020, diambil di Los Angeles yang sepi tersapu pandemi.
Saya bukan pendengar taat Tool maupun A Perfect Circle, dua band di mana nama Maynard James Keenan 'lebih dikenal'. Puscifer-lah penghubung saya pada karya-karya sang mastermind band-band tersebut.
Bersama Puscifer, Maynard seperti mampu membuat apa saja: merendahkan orang lain dengan kreativitas tiada batas (seperti pada 'The Remedy', juga 'Apocalyptical') hingga menciptakan suasana manis lewat lagu yang bercerita tentang perjumpaan dengan anaknya yang baru lahir ('Agostina').
Band dengan nama sekonyol Puscifer juga mampu menghadirkan harapan. Ia hadir pada 'Bedlamite', lagu penutup konser mereka di suatu gurun saat pandemi. Konser itu direkam dan diedit sebelum ditayangkan terbatas pada streaming event—salah satu siasat yang dilakukan para musisi untuk bertahan di tengah pandemi.
Puscifer, dengan segala sumber dayanya, merupakan salah satu band yang tetap sanggup menampilkan pertunjukan berkualitas, dan mungkin meraup untung. Lantas, bagaimana dengan musisi lain?
Segelintir yang Tetap Untung
"Saat dunia menghadapi pandemi Covid-19, kita diingatkan akan kekuatan abadi musik untuk menghibur, menyembuhkan, dan mengangkat semangat kita," ujar Frances Moore, Chief Executive Officer International Federation of the Phonographic Industry (IFPI).
Pasar rekaman musik dunia meningkat sebesar 7,4 persen pada 2020, menandai pertumbuhan positif selama enam tahun berturut-turut, demikian catat IFPI, badan industri rekaman musik global. Total streaming musik tumbuh 19,9 persen tahun-per-tahun dan meraih pendapatan sebesar 13,4 miliar dolar AS, atau setara 62,1 persen dari total pendapatan rekaman musik global. Sementara pemasukan dari rekaman fisik terus mengalami penurunan hingga 4,7 persen dan pemasukan dari performance rights turun hingga 10,1 persen akibat pandemi.
Lalu bagaimana pembagian 'kue' pertumbuhan ini? Seberapa menghasilkan para musisi?
Nama-nama veteran di industri ini barangkali masih bisa hidup tenang dan nyaman. The Times dalam publikasi tahunan 'The Rich List' mencatat orang-orang seperti Paul McCartney, Mick Jagger, dan Keith Richards, misalnya, menorehkan peningkatan pemasukan hingga 20-25 juta pound sterling sepanjang 2020. Selain menjual publishing rights, pemasukan dari katalog mereka yang diputar khalayak pada platform streaming musik masihlah merupakan sumber pemasukan yang besar.
Musisi seperti Puscifer dan jutaan nama yang lebih kecil tentu tidak bakal mencapai angka-angka fantastis seperti yang diterima para personel The Beatles dan Rolling Stones. Dengan katalog dan publikasi yang tidak besar, serta jumlah pendengar yang tidak semasif itu, para musisi lain harus bersiasat lebih licin ketimbang sebelumnya.
Selain streaming konser terbatas dan berbayar, mereka mencari celah dari platform mana saja demi bisa bertahan. Amanda Palmer dan Zola Jesus, misalnya, memanfaatkan hal-hal yang tak disentuh para musisi tua-dan-mapan dengan berkreasi di Patreon—para konten kreator mendapatkan pemasukan bulanan serta terhubung langsung dengan para penggemar tanpa perantara.
Selebihnya, terutama musisi negara dunia ketiga yang tidak populer-populer amat, barangkali lebih tragis. Mereka mengais berapa pun yang bisa didapat dari layanan streaming musik, sembari mencicil materi baru saat sedang tidak kelewat terkuras habis energi dan akalnya, dan menanti gig serta konser kembali diperbolehkan.
Opsi yang Lebih Artist-friendly
Layanan streaming musik seperti Apple Music rata-rata membayar 0,0056 dolar AS per satu kali pemutaran, sementara Spotify 0,0032 dolar AS. Ini berarti pemegang hak sebuah lagu mendapatkan 3,2 dolar AS saja (setara Rp46 ribu) untuk 1.000 kali pemutaran. Sebuah lagu kira-kira harus diputar sebanyak 95 ribu kali agar pencipta mendapat pemasukan setara UMP DKI Jakarta (Rp4,4 juta).
Dengan pembagian seperti itu pun Spotify mengklaim tidak mendapatkan untung yang gila-gilaan. Perusahaan asal Swedia itu bahkan mencatat kehilangan pemasukan sebesar 24 juta dolar AS pada kuartal kedua 2021 dan gagal mencapai target pertumbuhan yang ditetapkan sendiri. Para eksekutif perusahaan itu mengaku tak terlalu memusingkan hal tersebut dan mengatakan masih berfokus pada kelanjutan pertumbuhan dengan menarik para pelanggan baru dan investasi pada siniar (podcast).
Kembali ke pembagian keuntungan kepada para musisi, saat yang mainstream terlampau eksploitatif, maka platform yang mampu membayar lebih layak mencuat ke permukaan. Resonate melalui stream2own, misalnya, mengklaim, "Apa yang dilakukan layanan lain dengan 200 plays, kami lakukan dengan 9 plays saja." Sementara SonStream menawarkan pay-as-you-go, di mana pengguna membayar para musisi langsung dari jumlah stream ketimbang berlangganan.
SoundCloud punya cara yang lain lagi. Biaya berlangganan atau pendapatan iklan akan dibagi kepada para musisi yang benar-benar didengarkan pengguna, alih-alih dibagikan ke musisi paling populer di platform. Mereka memberikan contoh, pada model lama, seorang musisi yang memiliki 124 ribu pengikut akan menghasilkan 120 dolar AS sebulan, sementara dengan royalti yang didukung penggemar ia akan menghasilkan 600 dolar AS.
Selain ketiga nama itu, ada pula Bandcamp, platform yang kerap dijuluki sebagai 'Anti-Spotify'.
Sang Juru Selamat(?)
"Saya tidak menganggap ini sebagai layanan streaming. Saya menganggap kami sebagai toko rekaman dan komunitas musik," kata Ethan Diamon, CEO Bandcamp. Bandcamp bertahan pada tujuan awalnya sejak didirikan, yakni mendahulukan kepentingan para musisi.
Pernyataan tersebut terkonfirmasi lewat keterangan Greg Anderson, personel band drone metal Sunn O))) yang juga salah satu pendiri label rekaman musik-musik kegelapan Southern Lord. Ia mengklaim band dan labelnya mendapat lebih banyak pemasukan dari Bandcamp ketimbang dari seluruh layanan streaming musik lain.
Ketika pemasukan layanan streaming seperti Spotify bergantung pada iklan dan data, Bandcamp beroperasi dengan sistem pembagian pemasukan dengan para artis dan tidak mengumpulkan informasi para pengguna. Sedari awal, Bandcamp mempersilakan artis dan label untuk mematok harga sebebasnya untuk rilisan-rilisan mereka. Bandcamp juga mempersilakan para musisi untuk menerima pesanan fisik (seperti CD dan merchandise), entah itu dari rumah, label rekaman, atau distributor.
Untuk para pengguna, Bandcamp menyediakan wadah untuk mengulas rilisan yang telah didengarkan, membuat rekomendasi yang dikurasi oleh manusia (alih-alih algoritma), hingga esai-esai yang berpusat pada karya para musisi dalam laman Bandcamp Daily.
Layanan yang lazimnya mengambil bagian 10-15 persen dari penjualan rilisan ini pun kian menjadi antitesis dari Spotify sejak menyelenggarakan Bandcamp Fridays, hari di mana mereka tidak mengambil keuntungan sama sekali dari pembelian-pembelian para pengguna. Dengan kata lain, semua pembelian pada hari-hari yang ditentukan itu 100 persen masuk ke kantong artis atau label.
Ketika sumber pemasukan tersisa sangat sedikit, streaming musik pun diharapkan mampu membayar lebih layak para musisi, perkara yang masih terus diperjuangkan serikat-serikat musisi seperti Union of Musicians & Allied Workers (UMAW) dan Keep Music Alive alliance.
Untuk saat ini, Bandcamp masih menjadi semacam juru selamat. Barangkali akan terus seperti itu lantaran tidak semua pendengar musik bakal menyewa satu warnet penuh untuk streaming secara simultan lagu-lagu dalam katalog, misalnya. Atau yang lebih masuk akal, sampai para layanan streaming musik arus utama menemukan format baru untuk menyeimbangkan keberlangsungan mereka sekaligus hidup para musisi, tulang punggung industri ini.
Sulit untuk berharap mendapatkan nada-nada yang menghibur jika musisinya sendiri tidak mendapat bayaran yang layak, bukan?
...
Gelap menyingkir kala matahari terbit di kota eksperimental Arcosanti, Arizona, saat dua vokalis Puscifer, Maynard James Keenan dan Carina Round, membawakan 'Bedlamite', lagu terakhir mereka pada konser itu. Saya tak pernah menyangka band dengan nama sekonyol Puscifer mampu memberikan harapan di situasi yang tak bisa lebih tidak pasti ini, kendati lagunya sendiri mungkin tidak murni tentang harapan. Mungkin sekadar merendahkan orang lain lagi, seperti yang telah beberapa kali ditulis oleh Maynard James Keenan.
Dari pucuk instalasi, Maynard dan Carina menyanyikan dengan manis, dan berulang:
Write your own fable
Believe it'll all work out
It's gonna be alright
Everything will be alright.
Ya, mungkin saja.
Editor: Rio Apinino