tirto.id - Bunyi ketok palu Hakim Dwiarso Budi Santiarto mengakhiri drama sidang dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian. Setelah 6 bulan lebih (sejak 13 Desember 2016) ketok palu menjadi tanda vonis dua tahun penjara sekaligus mengharuskan Ahok ditahan saat itu juga.
“Langsung dilaksanakan penahanan, tidak ada tawar-menawar,” kata Ali Mukartono, Jaksa Penuntut Umum di Aula Kementan, Jakarta (9/5).
Sekalipun vonis hakim sudah muncul, Ahok belum berstatus sebagai narapidana (orang yang tengah menjalani masa hukuman atau pidana dalam lembaga pemasyarakatan). Pasalnya, Ahok dan kuasa hukumnya melakukan banding. Inilah yang menyebabkan vonis kepada Ahok belum berlaku inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Proses peradilan di Indonesia memiliki tiga tingkat. Pertama, Pengadilan Negeri. Tahap yang baru saja dilalui Ahok dengan vonisnya hari ini.
Pada tahap ini, kuasa hukum terdakwa masih punya kesempatan untuk mengajukan banding ke tahap berikutnya, yakni Pengadilan Tinggi. Jika kemudian pada tahap Pengadilan Tinggi masih diputuskan bersalah, maka terdakwa masih bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat ketiga. Di sinilah keputusan baru bisa disebut inkracht.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan bahwa “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah (1) putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; (2) putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau (3) putusan kasasi.
Karena Ahok dan kuasa hukumnya mengajukan banding, maka keputusan PN Jakarta Pusat belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Karena itulah status Ahok belum menjadi narapidana.
Konsekuensinya, maka Ahok menjadi tahanan rumah tahanan (Rutan). Kelak jika hukuman Ahok berstatus inkracht, barulah Ahok menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas).
Inilah yang kemudian menjadi perbedaan mendasar dari Rutan dan Lapas. Sekalipun sekilas sama, keduanya sebenarnya memiliki fungsi yang berbeda. Rutan merupakan tempat bagi terdakwa maupun tersangka yang ditahan sementara sebelum keluar putusan pengadilan yang bersifat tetap (inkracht). Sedangkan penghuni Lapas merupakan narapidana yang sedang menjalani masa hukuman sesuai keputusan inkracht.
Meski begitu, Rutan maupun Lapas juga memiliki persamaan, seperti misalnya masih dalam satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktoral Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keduanya juga menggunakan penggolongan umur, jenis kelamin, dan jenis kejahatan yang dilakukan.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS