tirto.id - Pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di Jakarta kini boleh bernapas lega. Pemprov DKI memperbolehkan setiap warga menjadikan rumahnya sebagai tempat usaha lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 30 tahun 2018 tentang Izin Usaha Mikro dan Kecil.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno mengatakan, Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) saat ini tak lagi relevan lantaran banyak zona perumahan yang berubah fungsi menjadi tempat usaha.
Pernyataan itu disampaikan berdasarkan pengamatannya di beberapa kawasan perumahan di wilayah ibu kota. “Ada daerah yang zonasinya perumahan, tetapi isinya sudah toko semua. Jadi, ada banyak,” kata Sandiaga awal Februari lalu.
Kendati demikian, Pergub yang diteken pada 16 April 2018 itu akan mewajibkan para pelaku usaha mikro dan kecil mendapatkan izin (IUMK) dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) di tingkat kelurahan. Akan tetapi, hingga saat ini, sosialisasi aturan baru itu belum dilakukan di seluruh kelurahan di Jakarta.
Lurah Kebon Sirih, Indarto, misalnya, mengaku sudah tahu ihwal adanya aturan baru soal perizinan tempat usaha tersebut. Namun, kata dia, proses urus-mengurus itu belum dimulai dan disosialisasikan kepada warga melalui ketua-ketua RT dan RW.
"Nanti lah, akan kami mulai. Jadi mereka bisa minta rekomendasi ke saya, terus dicek tempat usahanya. Kalau sesuai diberikan, dan mereka urus ke PTSP kelurahan,” kata Indarto saat dihubungi Tirto, Kamis malam (3/5/2018).
Di samping itu, beberapa pengusaha kecil dan menengah di kawasan perumahan juga tak merasa ada hal yang istimewa dari kebijakan yang diteken Anies Baswedan itu. Asep (31 tahun), pemilik warung sekaligus konter pulsa di kawasan Warung Jati Timur, Kalibata, Jakarta Selatan misalnya, mempertanyakan soal kewajiban kepemilikan izin tersebut.
Sebab, kata dia, selama lima tahun menjalankan usahanya, ia pernah mendengar ada kewajiban soal perizinan, tetapi tidak pernah ada sosialisasi dari lurah setempat. Asep juga menilai bahwa pengawasan soal tempat usaha di perumahan tidak pernah berjalan. Sehingga, ada atau tidaknya izin tersebut tak berpengaruh bagi para pemilik toko seperti dirinya.
“Dulu sih pernah ada aturan untuk usaha kalau di rumah, ya. Tapi syaratnya apa saja, kami enggak ada yang tahu. Sekarang ada lagi yang baru. Yang dulu saja belum buat,” kata Asep kepada Tirto.
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumkndo) Ikhsan Ingratubun menilai, niat pemerintah untuk melegalkan usaha di zona perumahan perlu disambut baik. Alasannya, hal itu bisa memberikan kepastian hukum bagi usaha mikro dan kecil yang telah lama menjadi penggerak perekonomian akar rumput.
Namun, Ikhsan menganggap aturan berupa Pergub itu menabrak ketentuan yang sudah ada dalam Perda Nomor 1 tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Rencana Zonasi (RDTR).
“Seharusnya DPRD dan Pemprov segera membuat dan mengesahkan Perda Zonasi [yang baru] sehingga peraturan yang dibuat oleh pemerintah [Pemprov DKI] merupakan satu kesatuan yang saling dukung, bukan yang bertentangan,” kata dia.
Aturan untuk Pedagang Keliling Dinilai Berlebihan
Masalah lain dalam penerbitan Pergub soal usaha kecil dan menengah itu terletak pada aturan soal pedagang keliling. Hal itu tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “lokasi usaha keliling hanya melaksanakan aktivitas usahanya pada lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai aturan perundang-undangan."
Menurut Ikhsan, izin untuk pedagang keliling memang dibutuhkan, tetapi bukan untuk mempersempit ruang gerak para pencari nafkah tersebut. Sebab, Pergub itu tidak memberi kewenangan kepada lurah untuk mengatur pedagang melainkan untuk pengawas.
Karena itu, Ikhsan menyarankan agar Pergub IUMK itu direvisi dan hanya diperuntukkan untuk usaha di perumahan yang sifatnya menetap, agar bisa mengakomodasi apa yang tak tercantum di dalam Peraturan Daerah.
“Jelas harus ada perubahan. Pergub itu, kan, merujuk kepada orang yang berusaha di rumah bisa dapat izin,” kata Ikhsan.
Aming, seorang pedagang tahu bulat di wilayah Kebon Sirih, Jakarta Pusat, terkejut dengan aturan baru yang bakal mengatur lokasi pedagang keliling itu. Biasanya, kata Aming, dagangan khas Tasikmalaya itu ia lego berkeliling sejauh 10 kilometer menggunakan mobil los bak, mulai pukul lima sore hingga sembilan malam.
“Kalau belum habis, kelilingnya bisa lebih jauh,” kata Aming saat ditemui Tirto di Jalan Jaksa, Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Ia mengaku tak keberatan jika Pemprov DKI mewajibkan izin usaha bagi para pedagang kecil seperti dirinya. Hanya saja, menurut Aming, pengaturan wilayah itu terlalu berlebihan dan bisa berdampak pada omzet serta waktu penjualan yang biasa ia tempuh hingga dagangannya habis.
Apalagi, pengaturan wilayah dagang keliling dalam Pergub itu masih sumir dan tidak dijelaskan lebih lanjut batasan wilayahnya. "Misalkan, rumah saya, kan, Tanah Abang, jualan bisa sampai Menteng Atas sana, urus izin ke siapa? Sosialisasinya juga belum ada ya? Terus nanti kalau enggak punya izin sanksinya apa? Kan enggak tahu,” kata dia.
Izin Usaha Keliling Disebut untuk UMK Binaan
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas PM-PTSP Edy Junaedi menyampaikan, kewajiban memperoleh izin bagi usaha mikro, kecil dan menengah sebenarnya telah diatur dalam Perda Nomor 1 tahun 2014 tentang RDTR-PZ. Lantaran itu, Pergub yang dikeluarkan Pemprov DKI bukan dalam rangka mempersulit UMK seperti warung, usaha laundry, katering dan sebagainya.
Pada prinsipnya, kata Edy, aturan itu justru bertujuan untuk mengakomodasi para pengusaha kecil dan menengah yang beroperasi di luar zona yang diperuntukkan untuk usaha. Sebab, program One Kecamatan One Center Enterpreneurship (OK-OCE) yang dibawa Anies-Sandi mengusung konsep garasi inovasi, di mana setiap rumah dimungkinkan menjadi tempat-tempat usaha.
Di dalam Perda, zona perumahan memang dibagi ke dalam sebelas kategori (sub-zona R1 hingga R11). Dari 11 zona tersebut, tak semua zona diperbolehkan menjadikan rumah sebagai tempat untuk usaha. Ia menyebut, contohnya, "sub-zona R-1 sampai R-4 boleh untuk kegiatan usaha kecil dan menengah. Tapi R-5 itu enggak boleh. Di R-6 sampai R-11 itu boleh."
Terlebih, kata Edy, perizinan akan memberi kemudahan bagi para pengusaha UMKM mendapatkan suntikan modal berupa kredit dari Bank. "Itu kenapa mereka perlu mengurus izin. Karena apa? Kalau mereka punya izin bank, mau berkembang, bank itu bisa memberikan kredit. Kalau mereka enggak punya izin, mana ada bank yang mau kasih,” ucap Edy.
Terkait aturan soal pedagang keliling, Edy menyebut bahwa hal itu hanya diwajibkan bagi usaha mikro dan kecil yang merupakan binaan Dinas Koperasi dan UMKM. "Nah ini sepahaman saya begitu. Karena Dinas koperasi UMKM, kan, punya lokasi-lokasi binaan,” kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz