tirto.id - Selalu ada yang baru dari Anies Baswedan dalam setiap debat. Setelah dikritik terlalu retoris di debat pertama, dan argumennya dituding terlalu sepi data untuk ukuran seorang akademisi, ia kembali dengan kantong penuh data dalam debat kedua. Ia bahkan kelewat siap, sehingga luput menjawab visi-misi karena kehabisan waktu menyemburkan data yang menyerang petahana. Sayangnya, data-data itu pun banyak yang tidak tepat. (Baca: Menguji Angka-Angka yang Dipakai Anies-Sandi dalam Debat)
Tak seperti debat kedua, ketika ia berapi-api mengkritisi pasangan inkumben Basuki Tjahya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat dengan beraneka data, kali ini Anies tampil lebih tenang. Ia bahkan tak menyalahkan Ahok, ketika mengumbar tentang keburukan kota Jakarta yang tidak ramah pada anak-anak, perempuan, dan warga disabilitas, tetapi sangat ramah pada narkoba.
“Izinkan kami menegaskan bahwa jakarta hari ini adalah kota yang tidak ramah anak, tidak ramah perempuan, tidak ramah warga difabel, dan amat ramah pada narkoba. Kami akan membalikkan itu semua, menjadi kota yang ramah anak, ramah kaum difabel, ramah kaum perempuan, dan tidak ramah sama sekali pada narkoba. Itu yang akan kami lakukan. Kenyataan menujukkan (ini), dan ini bukan salah Pak Gubernur, ini fakta yang sudah lama ada di tempat ini,” ungkapnya dalam kesempatan pertama berbicara.
Anies juga sepertinya sudah sedikit lebih bijak menghafal data-data yang dibawanya. Misalkan, untuk argumen di atas, dua di antaranya didukung dengan fakta yang akurat. Pertama tentang Jakarta yang buruk memperlakukan perempuan di sektor transportasinya. Anies bilang, Jakarta adalah kota terburuk nomor lima. Peringkat itu bahkan lebih mengecewakan dari kota lain di Asia, seperti Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila. Menurut survei yang dilakukan Thomson Reuters Foundation pada 2014, Indonesia memang di bawah negara-negara tersebut dan berada pada peringkat lima, sebagai kota paling berbahaya untuk transit bagi perempuan.
Supaya tudingannya tentang Jakarta yang buruk memperlakukan anak-anak lebih kuat, Anies juga mengutip data yang menyebut kalau 84 persen anak-anak di sekolah Jakarta mengalami kekerasan. Data itu selaras dengan yang ditemukan Tim Riset Tirto. LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) mendapati 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Survei itu dilakukan pada 9000 sampel, dalam rentang 2013 hingga 2014.
Sementara untuk menguatkan argumen tentang ramahnya kota Jakarta pada narkoba, Anies menyebut pertumbuhan narkoba naik sampai 35 persen dalam satu tahun. Sebenarnya tak jelas pertumbuhan apa yang ia maksud, entah pertumbuhan kasus narkoba atau jumlah tersangka.
Tapi dari data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta yang ditelusuri Tirto, angka yang Anies sebut lebih dekat pada pertumbuhan kasus narkoba yang mencapai 34,57 persen pada 2015. Sebab jumlah angka tersangka narkoba pada tahun yang sama naik hingga angka 49,62 persen. Terlalu jauh dari angka yang disampaikan Anies.
Tapi kekeliruan kecil itu berlanjut. Data-data yang selanjutnya dikeluarkan mulut Anies selalu terpeleset sedikit saja dari angka yang sebenarnya.
Misalnya, Ia keliru menyebut jumlah penduduk Jakarta. Dalam penjelasan menjawab pertanyaan Djarot tentang program menyediakan rumah tanpa uang muka, Anies menyebut jumlah penduduk Jakarta sebanyak 10.150.000. Sementara data BPS menyebutkan jumlah warga Jakarta pada 2015 adalah 10.177.924.
Kekeliruan selanjutnya lebih parah. Ia salah menyebut nomor Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang ia buat sendiri kala masih menjabat posisi menteri. Sebagai saran kepada Ahok untuk menangani kekerasan pada anak-anak, Anies menyuguhkan Permendikbud Nomor 83 Tahun 2015, yang berisi aturan tentang pembentukan gugus pengendalian kekerasan di sekolah. Sayang, aturan yang dimaksudnya malah bertitel Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
Ia juga keliru menyebut jumlah koridor 13 Transjakarta. Anies menyebut jumlah halte pada koridor 13 Transjakarta ada 10. Ini jawaban mengenai program transportasi ramah, aman, nyaman dan terjangkau serta tata ruang yang baik. Menurut data dari transjakarta.co.id pada koridor 13 ada 12 halte. Padahal Anies menunjukkan foto-foto halte transjakarta saat lantang mengumbar datanya.
Data terakhir yang Anies paparkan pun tak sepenuhnya presisi. Ia menyebut, lebih dari 30 persen warga Jakarta tak punya rumah sendiri. Sementara persentase jumlah warga Jakarta yang sudah berumah tangga tapi tak punya rumah sendiri dari BPS adalah 48,91. Anies benar karena menggunakan kata ‘lebih dari’.
Setidaknya ia lebih beruntung sedikit ketimbang Sandiaga Uno, pasangannya dalam putaran pemilu ini. Satu-satunya data angka yang disebut Sandi justru keliru. Ia bilang ia mengutip data McKinsey Global Institute Cityscope yang menyebut kalau 75 persen populasi dunia akan hidup di perkotaan, termasuk Jakarta. “Dan 90 persen hampir dari ekonomi dunia juga akan terjadi di urban (perkotaan) areas),” ungkap Sandi.
Dari data yang Tim Riset Tirto temukan, 75 persen yang dimaksud McKinsey Global Institute Cityscope bukanlah angka populasi dunia yang akan hidup di perkotaan, melainkan angka pertumbuhan konsumsi dunia. Sementara angka kegiatan ekonomi yang terjadi di dunia, selisih sedikit dari yang diucapkan Sandi, yakni 91 persen.
Selebih dari itu, Sandi tampil cuma dalam tiga kali kesempatan berbicara. Dan kesempatan itu cuma dipakainya untuk mengulang-ulang program OK-OC yang mereka usung, persis seperti debat-debat sebelumnya. Sandi juga kembali bercerita dan lantang menyebut nama-nama warga miskin Jakarta yang berdasarkan pengakuannya mengeluhkan lapangan pekerjaan yang sempit. Ini juga persis seperti debat-debat sebelumnya.
Namun, pasangan ini punya sesuatu yang baru dalam debat terakhir kemarin. Mereka jadi peserta yang membawa bahan presentasi paling banyak. Anies membawa beberapa papan diagram, foto halte. Sementara Sandi membawa sepatu buatan lokal, yang ia janjikan akan bermasa depan cerah dalam bimbingan program OK-OC.
Bahan-bahan ini mungkin jadi simbol yang ingin ditunjukkan Anies, kalau ia akan selalu menunjukkan progres dalam setiap peforma. Setelah dikritik sepi fakta, kemudian membawa data-data keliru, kini Anies membuktikan diri kalau ia bisa tampil lebih baik. Setidaknya dalam debat kali ini, lebih banyak data-data Anies yang benar.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti