tirto.id - Isu reklamasi teluk Jakarta kembali bergulir setelah munculnya kabar soal penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dilakukan "diam-diam" oleh Pemprov DKI ke pengembang Pulau C dan D--sekarang pulau Kita dan Maju.
PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group yang menguruk berton-ton pasir reklamasi dan mendirikan bangunan di atasnya, masih tutup mulut dan menolak memberikan konfirmasi kepada media.
Sementara Anies Baswedan, gubenur terpilih DKI Jakarta yang berjanji menghentikan pembangunan pulau itu, enggan memberikan penjelasan atas kabar yang beredar.
Anies memang punya hak untuk menunda penjelasan atau bahkan bungkam atas kabar yang beredar. Namun, simpang-siur informasi tersebut akan memunculkan syak wasangka yang justru membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah DKI.
Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, misalnya, masih mempertanyakan keseriusan Anies dalam merealisasikan janji mengubah proyek reklamasi untuk kepentingan warga Jakarta.
Perkaranya sederhana saja. Hingga saat ini, Pemprov DKI tak kunjung membatalkan Peraturan Gubernur soal Panduan Rancangan Kota (PRK) atau Urban Design Guide Lines (UDGL) Pulau C, D dan E yang dikeluarkan Gubernur Basuki pada Oktober 2016, serta pulau G yang dikeluarkan setahun setelahnya.
Padahal pergub tersebut cacat hukum dan telah banyak dikritik baik oleh kalangan aktivis NGO, pengamat hukum, hingga ombudsman RI.
Beberapa alasan di antaranya, karena beleid itu tidak didahului oleh dua Peraturan Daerah yang menjadi alas hukumnya. Pertama, soal Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS); kedua, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPZWP3K).
Selain itu, penerbitan UDGL untuk pulau C, D dan E juga berpotensi cacat hukum. Sebab, panduan penyusunan UDGL baru dirancang setahun setelahnya, yakni melalui Pergub 137/2017.
Dalam Pasal 32 Pergub tersebut, tertulis bahwa, "Panduan Rancang Kota yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Gubernur ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Gubernur ini;..."
Artinya, penyusunan UDGL tiga pulau itu, disusun tanpa panduan yang jelas. Karena itu, wajar jika Elisa, dalam twiternya, meragukan komitmen Anies untuk menepati janjinya sendiri.
"Jika serius ingin membuat Pulau C dan D untuk kepentingan publik, @DKIJakarta harus batakan dulu Pergub Panduan Rancang Kota Pulau C, D dan E. Karena PRK yg sekarang itu isinya COPY-PASTE masterplan developer," tulis Eilsa dalam akun resmi Twitternya.
Mengapa pencabutan Pergub tentang UDGL Pulau-pulau itu penting dilakukan? Susan Herawati, Sekjen KIARA --NGO yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat pesisir-- mengatakan, beleid itu merupakan dasar bagi pemerintah DKI untuk mengeluarkan IMB.
Jika rancangan kota itu masih dilegalkan, pengembang masih akan punya ruang gerak untuk pembangunan. Karena itu, lagi-lagi, ia melihat penyegelan reklamasi serta penerbitan Pergub soal Badan Reklamasi hanya gimick Anies untuk meredam penolakan warga atas proyek tersebut.
"Kami melihatnya hanya sebatas gimmick atau janji palsu di atas pulau palsu. Hal tersebut lebih pada soal janji politik ketika ingin menjadi gubernur DKI, setidaknya ia dianggap tidak melanggar janji soal reklamasi. Tapi wataknya tetap sama, orientasi bisnis dan pro kepada pemilik modal," ucap Susan kepada reporter Tirto.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz