tirto.id - “Sekarang sudah terlambat buat kami. Kami tak akan punya anak lagi. Saya merasa tak berdaya.” Liu Guofa sedih. Sekitar tujuh tahun lalu, ia kehilangan putra satu-satunya. Waktu itu sang putra meninggal di usia 17 tahun.
Kepada The Guardian, ia menyampaikan keluh kesahnya sebagai orang tua di Cina. Punya anak lagi di umurnya yang waktu itu 46 tahun dengan status pengangguran terasa seperti keputusan bodoh. Kini, ia menguatkan diri sendiri untuk hidup sendiri dan melarat di usia tuanya. Tanpa dukungan dan cinta sang anak yang dulunya diharapkan jadi penopang hidup di masa tua.
Liu bukannya tak mau punya anak banyak di saat ia masih bisa kerja keras dan menghidupi mereka. Bukan pula tak bersyukur punya anak semata wayangnya itu. Ia hanya mengikuti aturan, yang melarang mereka punya anak lebih dari satu. Karena aturan tersebut, ia harus menjelang masa tuanya dalam kesendirian bersama sang istri.
“Paksaannya tanpa ampun,” kata Liu. “Saat kami muda, kami tak boleh punya anak kedua. Kami akan dipecat dari pekerjaan dan rumah kami akan diruntuhkan kalau berani-beraninya melanggar kebijakan cukup punya satu anak.”
Di Cina, sejak 1970-an memang ada aturan yang melarang warganya punya anak lebih dari satu. Paling banyak dua, itu pun dengan banyak sekali ketentuan. Kalau tidak, ada denda yang akan memberatkan hidup sebuah keluarga.
Aturan itu dibuat karena ledakan jumlah penduduk yang terjadi di Cina, dan melampaui angka 800 juta pada 1970. Tahun 2015, aturan ini dicabut. Pemerintah mengeluarkan aturan baru lainnya, yang mempropagandakan agar warganya punya dua anak. Sebabnya, populasi orang tua di Cina sudah terlalu banyak dari pada kelahiran yang ada. Sehingga kalau para orang tua itu meninggal, dan jumlah anak-anak di Cina sangat sedikit, maka negara itu akan mengalami masalah regenerasi yang mengancam eksistensinya sebagai negeri adidaya.
Tapi, dicabutnya aturan punya satu anak itu sudah terlambat. Tidak hanya bagi orang-orang macam Liu yang sudah terlalu tua secara biologis untuk punya anak, dan mampu membiayainya, tapi juga bagi negara.
Aturan punya anak tak lebih dari satu itu juga berdampak pada stabilitas negara. Angka mereka yang berusia pekerja alias usia produktif menurun drastis. Sebabnya, tak semua satu anak yang dilahirkan dalam sebuah keluarga akan panjang umur. Seperti anak Liu.
Menurut data PBB, mereka yang berusia 15-39 menurun jadi 915,8 juta pada 2014. Turun sekitar 3,7 juta dari tahun sebelumnya. Sehingga rasio ketergantungan pada usia tua meningkat. Artinya, ekonomi dan pembangunan negeri adidaya itu terancam jika generasi tua meninggal, sementara jumlah generasi mudanya menurun.
Untuk itu, pada 2016 Cina menargetkan 3 juta kelahiran setiap tahunnya selama lima tahun ke depan. Ini sebagai upaya mereka mengakali ketergantungan pada usia angka tua, dan krisis regenerasi yang mengancam.
Aturan untuk punya dua anak berhasil meningkatkan angka kelahiran di Cina tahun lalu. Tak main-main, ia jadi angka kelahiran tertinggi yang pernah terjadi di Cina: mencapai angka 1,31 juta. Tapi, sayang masih jauh dari target.
Salah satu penyebab kegagalan target ini adalah keengganan banyak keluarga di sana untuk punya dua anak. Berdasarkan komisi keluarga berencana di Cina, sekitar 75 persen keluarga enggan mengikuti aturan tersebut. Penyebab utamanya karena masalah ekonomi.
Salah satunya Peng Yajun, seorang karyawan di Guangdong, Cina. Kepada South China Morning Post, yang mewawancarainya 2015 lalu saat kebijakan dua anak baru disiarkan, ia mengaku kelak tak mampu membiayai dua anak. “Aku anak tunggal, aku tak mungkin mampu biayai sekolah dua orang anak ditambah biaya mengurus orangtuaku sendiri,” katanya.
Mungkin maksud Peng, kalau saja dulu orang tuanya punya lebih dari satu anak, ia bisa kongsi membiayai masa tua orangtuanya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti