tirto.id - Zaman sedang dalam ketidakpastian ketika seorang peniup terompet bernama Kho Tjien Tiong berada di Purwodadi. Dia sedang ikut rombongan Orkes Keroncong Bunga Mawar yang dipimpin Raden Suprono. Orkes ini laris ditanggap di banyak tempat dan sempat menyemarakkan corong RRI Solo.
Di Purwodadi itu, sekitar 1946, Kho Tjien Tiong bertemu primadona panggung bernama Raden Ayu Srimulat. Sejak Kho Tjien Tiong kecil, Srimulat sudah jadi bintang panggung pertunjukan. Srimulat hampir dua dekade lebih tua dan lebih berpendidikan. Kho Tjien Tiong, yang berasal dari keluarga miskin yang pernah bekerja di percetakan, kemudian menjadi dekat dengan Srimulat.
Tak sekadar adu asmara, mereka juga mulai membangun kelompok penghibur yang namanya diambil dari nama sang raden ayu yang dianggap menjual. Kelompok ini didirikan pada 8 Agustus 1951 di Solo. Mulanya, seperti dicatat Achmad Syaeful Anwar dalam disertasi bertajuk "Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008" (2012: 54), kelompok ini dinamakan Gema Malam Srimulat. Sempat pula memakai nama Srimulat Review. Baru ketika memasuki 1957, nama Aneka Ria Srimulat dipakai.
Gema Malam Srimulat kemudian hijrah ke Surabaya. Pada 1951 pula Raden Ayu Srimulat menikah dengan Kho Tjien Tiong—yang belakangan dikenal sebagai Teguh Slamet Rahardjo. Di bulan yang sama dengan pendiriannya, Gema Malam Srimulat tampil di Blitar, Jawa Timur.
Kamis, 30 Agustus 1951, tepat hari ini 69 tahun lalu, menjadi malam penting dalam sejarah Aneka Ria Srimulat. Seperti dicatat Tempo (29/8/2011), mereka mengadakan penampilan perdana di sebuah pasar malam Blitar. Kala itu mereka mementaskan musik keroncong yang diselingi lakon lawakan berdurasi 40 menit. Lawakan tersebut dimainkan oleh Ranudikromo, Sarpin, Djuki, Suparni, dan Wadino alias Bandempo.
”Terhitung selama hampir dua minggu pentas di Pasar Malam Blitar, Gema Malam Srimulat mencatat sukses besar,” tulis tulis Herry Gendut Janarto dalam Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi (1990: 31).
Pementasan di Blitar tidak mudah dilupakan. Bukan hanya karena kesuksesannya, tapi juga lantaran pada 31 Agustus 1951 para anggota Aneka Ria Srimulat menjadi saksi meletusnya Gunung Kelud.
Setelah Blitar, seperti disebut Tempo (30/4/1974), mereka bermain dari pasar malam ke pasar malam di kota-kota Pulau Jawa.
Dari Musik ke Lawakan
Mulanya, apa yang hendak disuguhkan Aneka Ria Srimulat adalah musik. Lawakan hanyalah selingan. Apa yang terjadi kemudian adalah Aneka Ria Srimulat jauh lebih dikenal sebagai kelompok lawak dibandingkan orkes musik.
Raden Ayu Srimulat mulanya memimpin Aneka Ria Srimulat. Di tahun 1957, seperti dicatat Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984: 1065), Teguh mengambil alih pimpinan dan mengubah pola pertunjukan.
”Kami di sini kebanyakan berasal dari ketoprak dan ludruk, mencoba menempuh jalan kami sendiri dengan membuang dagelan blangkon,” kata Teguh kepada Tempo (30/4/1974).
Apa yang dimaksud Teguh dengan dagelan blangkon adalah dagelan hafalan yang sudah direncanakan, yang dianggap tidak akan bisa bertahan lama. Jadi, dengan membuang dagelan macam itu, para pelawak harus kreatif dalam berimprovisasi di atas panggung.
”Bila dalam musik ada improvisasi, mengapa dalam lawak tidak?” kata Teguh dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.
Teguh membuat ceritanya, tapi para pelawaknya akan berimprovisasi menghidupkan suasana di panggung. Teguh tahu, penontonnya tidak suka dengan cerita yang berulang-ulang. Di antara cerita-ceritanya ada juga cerita yang diambil dari film. Tradisi tidak mengulang-ulang (yang sifatnya dekat dengan hafalan) akhirnya jadi tradisi di Aneka Ria Srimulat.
Pada 1961 Aneka Ria Srimulat mulai bercokol di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Kelompok lain yang bercokol di THR adalah Ludruk Beringin Jaya, Ketoprak Sri Budaya, dan Wayang Orang Sri Wandowo. Namun Aneka Ria Srimulat lebih sohor dari mereka.
Setelah Raden Ayu Srimulat tutup usia pada 1 Desember 1968, Aneka Ria Srimulat tidak mati. Bahkan orang lebih sering menyebut kelompok penghibur, yang lebih mirip komunitas pelawak, itu dengan sebutan Srimulat. Bagi banyak orang Indonesia abad silam, nama Srimulat lebih terkenal sebagai kelompok pelawak ketimbang nama seorang ratu panggung.
Kawah Candradimuka
Aneka Ria Srimulat—yang belakangan disebut Srimulat saja—telah menjadi kawah candradimuka bagi banyak pelawak di Indonesia. Tidak semua pelawak yang besar di Srimulat berdarah Jawa. Di Srimulat pernah ada Paul Polii (1926-2003), yang dari nama belakangnya jelas berdarah Minahasa. Paul kerap berperan sebagai Drakula pengisap darah, seperti Bela Lugosi di film-film Hollywood sebelum Perang Dunia II. Ada juga pelawak berdarah Ambon, namanya George Sapulete.
Srimulat juga ikut meramaikan dunia perfilman Indonesia sejak 1970-an. J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005: 106) mencatat PT Srimulat Film merilis film berjudul MayatCemburu (1973). Para pemainnya antara lain Sumiati, Johny Gudel, Herman Hidayat, Bandempo, Paimo, Brontojudo, Radjilah, Ruspentil, dan Kardjo AC/DC. Ide cerita berasal dari Teguh, begitu pun skenarionya. Sutradaranya Awaludin.
Film lainnya adalah Walang Kekek (1974). Sutradanya R. Iskak. Ide cerita dan skenarionya juga dari Teguh pula. Para pemainnya, selain yang pernah ikut film Mayat Cemburu, ada pula Jujuk Juwariah, Nurlela, dan Bambang Gentolet. Di luar nama-nama itu, tidak sedikit anggota Srimulat yang terjun ke dunia film. Asmuni, misalnya, pernah bermain di banyak film.
Pada era 1990-an hasil didikan Srimulat setidaknya kerap muncul di televisi setiap minggu dalam sinetron Si Doel Anak Sekolah garapan Rano Karno. Ada Basuki (yang ayahnya juga pernah ikut Srimulat), Bendot yang bekas serdadu, dan Nunung.
Di era ini Doyok dan Kadir bermain dalam sinetron Kanan Kiri OK bersama Diana Pungki. Sementara Eko DJ, Gogon, Polo, Tarzan, Tessy alias Kabul Basuki (bekas anggota KKO), Mamiek Slamet (kakak Didi Kempot), dan Leysus sering muncul di televisi.
Pernah ada acara Ketoprak Humor di sebuah televisi swasta yang memasang personel Srimulat. Di era agak kekinian lagi, Nunung dan Tukul Arwana sangat sohor dalam dunia hiburan Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan