tirto.id - Herman baru saja dapat peringkat empat dalam lomba renang 100 meter gaya dada pada Agustus 1932. Itu sudah lumayan untuk bocah sekolah dasar Schakel School pribumi yang usianya hampir 12. Seorang bocah Eropa menghampiri Herman seusai lomba renang.
“Herman, coba datang kemari. Bagaimana kamu bermimpi mau mengalahkan saya jika engkau cuma seorang katai?” kata John Rouwendal, si bocah Eropa itu, kepada Herman.
Katai adalah sebutan agak merendahkan untuk orang dengan tubuh pendek. Herman memilih tertawa kecut menahan diri agar tidak terjadi insiden yang bisa bikin malu keluarga Belanda Roukenz yang menampungnya sebagai anak kos.
Tapi justru Stientje Roukenz yang marah dan menempeleng John Rouwendal. Stientje yang baru saja juara dua lompat indah 3 meter itu lalu naik sepeda dan pulang sebelum banyak orang sadar tentang kelakuan John Rouwendal. Herman yang terngiang dengan kata katai kemudian menantang John Rouwendal untuk adu renang.
Demi mengalahkan John, Herman juga kirim surat ke klub renang yang diikuti John di Bandung. Dalam surat itu, Herman bertanya bagaimana latihan renang John. Setelahnya Herman dapat jawaban: John latihan renang tiga kali seminggu, di mana tiap latihan lamanya dua jam. Herman pun ambil keputusan dia tidak hanya latihan tiga kali seminggu, tapi latihan empat jam setiap hari.
Selama fokus berlatih renang, latihan atletik dan senam distop sementara. Hanya latihan tinju yang masih berjalan. Setelah setahun, Herman pun siap untuk bertanding di pertandingan resmi. Berangkatlah Herman bersama keluarga Roukenz ke Surabaya dan menginap di hotel Oranye untuk ikut lomba renang. Herman memilih hanya ikut lomba renang 100 meter gaya dada dan renang 100 meter gaya bebas.
Ketika sedang berlatih, Herman sempat bertemu lagi dengan John, yang lagi-lagi mengatainya katai dan merasa diri tak mungkin dikalahkan Herman. Herman hanya diam dan fokus pada tujuannya ketimbang adu mulut. Pada 30 Agustus 1933 bertemulah Herman dengan John di renang gaya bebas 100 meter. Jika perenang lain selalu bernapas sekali tiap kayuhan tangan kanan dan kiri, maka Herman putuskan tiap 4 kayuhan dia ambil napas. Dengan fisik prima dan strateginya, Herman mampu melaju di kolam.
“Satu persatu lawan saya lampaui dan saya tiba di garis finish pertama,” aku Herman puluhan tahun kemudian dalam autobiografinya, Meniti Siri’ dan Harga Diri (2014: 89). Kecepatan yang dicapainya 61 detik, sementara John hanya 63 detik. Dengan kemenangan ini, harga diri dan siri’ sebagai orang Bugis berhasil ditegakkannya di arena olahraga. Herman yang dimaksud dalam kisah ini adalah Andi Mattalatta, anak Raja Barru ke-17 Pawiseng Daeng Ngerang Arung Mangempang.
Tak Mau Jadi Raja
Andi Mattalatta adalah pemuda pribumi yang bisa dikatakan tidak ketinggalan zaman pada 1930-an. Sebelum 1940, Mattalatta muda yang dipanggil Herman ini adalah satu dari sedikit orang yang memiliki kamera. Selain itu, cabang-cabang olahraga yang digeluti orang Belanda dijajal olehnya. Mulai dari renang, sepatu roda, senam, atletik, tinju, balap sepeda, bulutangkis, dan lainnya.
Olahraga sudah diperkenalkan Raja Barru ke-17 kepadanya setidaknya sejak usia 4. “Di usia empat tahun saya sudah belajar naik kuda ayah saya,” aku Mattalatta (2014: 131).
Sepengakuan Mattalatta yang pernah menggeluti tinju kelas bulu 55 kg, dia pernah meng-KO petinju Batavia bernama Kid Usman (petinju kelas ringan 60 kg) pada 1938. Ketika dirinya belajar di MULO Makassar, dengan bantuan sepeda dari seorang Jepang bernama Kitajima, Mattalatta pernah juga jadi juara balap sepeda di Makassar.
Menurut Moehamad Jasin dalam Memoar Sang Polisi Pejuang (2010: 61), Andi Mattalatta, bersama dirinya, juga Saleh Lahade dan Her Tasning, pernah aktif di Voor Onze Jaugd (VOJ). Di situ Jasin—yang belakangan menjadi komandan Brimob—menjadi ketuanya.
Selain olahraga, Mattalatta suka berakrobat pula akibat kegemarannya menonton film koboi dan Tarzan. Dari film koboi, Mattalatta bisa meniru akrobat waktu berkuda, memutar tali laso, juga mencambuk ala koboi. Di antara film kesukaannya adalah Bufallo Bill dan Paone Bill. “Film-film ini membangkitkan naluri saya untuk berbuat sama dengan tokoh-tokoh di dalamnya,” aku Mattalatta (2014: 132).
Andi Mattalatta juga ikut serta di kepanduan dan pernah bermusik Hawaiian bersama Jack Mallapasi dan Muhammad Nur Palopo. Betapa lengkapnya masa muda Andi Mattalatta.
Dia lalu diarahkan menjadi pangreh praja atau, jika perlu, jadi raja di Barru seperti ayahnya. Namun jadi raja kemudian menjauh dari kepalanya. Apalagi dia punya kawan macam Syamsudin dan Jasin dalam organisasi. Seperti yang diceritakannya, suatu hari datanglah seorang tua ke rumahnya. Namanya Paiso. Dia pernah dibuang ke Digoel sebagai PKI.
“Ananda Herman, bagaimana bisa engkau mau menjadi alat penjajah padahal engkau seorang nasionalis? Kalau engkau nanti menjadi raja di Barru, engkaulah yang memungut belasting dan landrante dan kemudian engkau menyerahkannya kepada Belanda yang mengirim uang-uang itu ke pemerintah di Negeri Belanda,” kata Paiso, seperti diingat dan terus terngiang di kepala Mattalatta.
Menurut Paiso, yang merupakan kakek dari aktor-politikus Sophan Sophiaan, menjadi raja berarti mengisap keringat rakyat.
Berkat ucapan Paiso itu, Mattalatta lalu bilang ke Ince Nurdin yang menganggapnya sebagai cucu. Ince Nurdin kemudian melaporkan ketidakinginan Mattalatta untuk jadi raja. “Saya pun merasa lega,” aku Mattalatta. Selulus dari MULO pada 1937 dirinya bekerja sebagai bendahara di Kebangunan Sulawesi.
Waktu Belanda dengan mudah disikat tentara Jepang, Andi Mattalatta adalah salah satu saksi keruntuhan Hindia Belanda. Kala itu Mattalatta sempat merasa terancam. Namun beruntung, Kitajima muda yang dikenalnya dulu sudah jadi perwira penting dalam militer Jepang di Makassar dengan pangkat letnan kolonel. Di zaman Jepang, Mattalatta pun jadi pelatih olahraga. Sambil dijadikan tenaga paramiliter untuk pemuda dalam Takubetsu Booei Teisintai dengan pangkat letnan. Setelah Jepang kalah, Mattalatta termasuk pemuda yang berdiri di belakang Republik Indonesia.
Jadi Tentara setelah Indonesia Merdeka
Setelah aktif di Pemuda Pejuang Nasional Indonesia (PPNI) di Sulawesi Selatan, Mattalatta ikut berjuang pula di Jawa. Mattalatta pernah menjadi Kepala Staf Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) (1988: 195), antara 1949 hingga 1950 Mattalatta pernah menjadi komandan batalion di Brigade 16 di sekitar Gombong, Yogyakarta, dan Kepanjen.
Seusai revolusi Mattalatta pernah dikirim menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Di masa ini Mattalatta melihat kekurangan prajurit TNI dalam operasi melawan RMS yang daerahnya dikelilingi perairan yang dalam. Rendahnya kemampuan renang membuat banyak prajurit tenggelam.
“Jadi, prajurit mati bukan karena terkena peluru RMS, tetapi mati tenggelam karena tidak tahu berenang,” aku Mattalatta (2014: 562).
Setelah jadi perwira Andi Mattalatta aktif di olahraga air di Makassar. Sejak 1954, dia menekuni ski air dengan menyimpan alat ski dan perahu motor di bekas Gedung De Harmonie Makassar. Dia juga ikut mendirikan Persatuan Olahraga Perahu Motor dan Ski Air (POPSA).
Setelah operasi militer sulit itu, Mattalatta cukup lama berdinas di Sulawesi Selatan. Dari Komandan Batalyon 705 di Parepare hingga menjadi Panglima Tentara dan Teritorial Hasanuddin sejak 1957 sampai 1959. Di masa ini Permesta ramai di Sulawesi. Mattalatta berpangkat terakhir mayor jenderal. Di masa pensiun, Andi pernah menjadi anggota DPR dan DPA.
Hingga meninggal pada 16 Oktober 2004, tepat hari ini 15 tahun lalu, kehidupan ayah dari penyanyi Andi Meriem Mattalatta ini memang tak bisa lepas dari olahraga. Dia pernah menjadi ketua Persatuan Ski Air Seluruh Indonesia (PSASI) dan pernah juga menjadi Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Kini namanya diabadikan sebagai nama stadion utama di Kota Makassar.
Editor: Ivan Aulia Ahsan