tirto.id - Ustaz Abdul Somad (UAS) mengungkapkan pendapatnya soal hukum imunisasi Measles Rubella (MR) bagi umat Muslim yang belakangan ini banyak ditolak di sejumlah daerah. UAS menyatakan pendapatnya itu dalam sebuah ceramahnya. Video ceramah itu kemudian tersebar di media sosial baru-baru ini.
Pernyataan UAS tersebut menanggapi pertanyaan dari salah satu jemaah yang mempertanyakan kehalalan imunisasi Measles Rubella (MR), sebab belum ada sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
UAS semula menjawab pertanyaan itu dengan bilang, "Tidak usah disuntikkan [...] Tidak disuntik katanya nanti mati. Saya dari kecil sampai sekarang, tidak ada suntik, tak mati-mati."
Akan tetapi, UAS lalu melanjutkan, apabila ada umat Islam yang khawatir anaknya mengalami sakit atau meninggal karena tidak mendapatkan imunisasi MR, maka hukumnya diperbolehkan.
"Kalau takut mati, boleh [imunisasi MR]" kata UAS.
Dalam pandangan UAS, meski Vaksin MR mengandung unsur babi, akan tetapi kondisi darurat bisa membolehkan umat Islam mendapat imunisasi MR.
“Suntik Rubella itu babi. Antara mati dan babi pilih mana? Babi atau mati?” Dia lalu menganalogikan (qiyas).
“Masuk hutan, pilihannya ada dua, makan babi atau mati? Maka boleh makan babi,” demikian Ustaz Somad menganalogikan.
UAS menjelaskan, sampai saat ini belum ada Vaksin MR yang tidak mengandung unsur babi. Karena itu, apabila ada umat Muslim yang khawatir anaknya sakit atau meninggal karena Rubella, mereka diperbolehkan melakukan imunisasi MR. "Dalilnya? Darurat," ujar UAS.
Tirto menghubungi UAS untuk meminta penjelasan lebih banyak mengenai pendapatnya soal hukum mubah (boleh) imunisasi MR. Akan tetapi, hingga artikel ini ditulis pesan WhatsApp dari Tirto belum dibalas UAS.
Pendapat UAS tersebut selaras dengan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang hukum mubah imunisasi dengan Vaksin MR. Komisi Fatwa MUI menerbitkan keputusan itu pada 20 Agustus lalu.
Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa Vaksin MR produksi Serum Institute of India (SII), yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan, mengandung unsur babi sehingga sebenarnya hukum penggunaannya haram. Namun, MUI menegaskan penggunaan Vaksin MR produksi SII pada saat ini dibolehkan. Jadi, hukum imunisasi MR adalah mubah (boleh).
Alasan MUI: ada kondisi keterpaksaan atau darurat syar’iyyah. Sebab, hingga kini belum ada Vaksin MR yang halal dan suci. Sementara, sesuai keterangan para ahli, ada dampak bahaya pada kesehatan apabila imunisasi MR tidak dilakukan.
Polemik Imunisasi MR Berlanjut Meski Sudah Keluar Fatwa MUI
Perdebatan tentang hukum imunisasi MR bagi umat Muslim mencuat 2017 lalu saat pemerintah mulai menggelar vaksinasi MR ke sejumlah provinsi. Langkah ini untuk membentuk kekebalan pada semua anak-anak di Indonesia terhadap penyakit campak dan campak Jerman.
Tahun lalu, program imunisasi MR digelar di enam provinsi di Pulau Jawa. Tahun ini, pemerintah menargetkan program imunisasi MR digelar di 28 provinsi di luar Pulau Jawa, pada September dan Agustus.
Sayangnya, meski sudah ada fatwa MUI, belakangan polemik mencuat lagi dan justru dipicu oleh sikap beberapa pemerintah daerah. Contohnya, Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau menyatakan menunda program imunisasi MR.
"Untuk sementara ini ditunda dulu dan sampai hari ini kami masih menunggu intruksi Gubernur, setelah intruksi kami terima barulah kami lakukan rapat kembali bersama DPRD dan instansi terkait bagaimana selanjutnya," ucap Kadiskes Inhil, Zainal Arifin pada Selasa (11/9/2018) seperti dilansir Antara.
Sebenarnya, MUI Riau sudah menegaskan umat Islam diperbolehkan melakukan imunisasi MR. Ketua MUI Riau Nazir Karim menyatakan hal ini dalam Diskusi Publik di Kota Pekanbaru, 10 September lalu.
"Memang vaksin itu hasil pemeriksaan [kandungannya], memang haram. Tapi dalam agama Islam, ada ketentuan yang [jika] sangat terpaksa, darurat dan tak ada yang lain, maka hal-hal yang haram zatnya bisa digunakan. Jatuhnya hukumnya mubah," kata Nazir seperti diberitakan Antara.
Pada Rabu kemarin, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Mimi Nazir juga menyatakan ada 100-an anak di Riau yang kini hidup dengan kondisi cacat akibat sindrom congenital rubella akut (CRS).
Sementara, sampai Juli 2018, kata dia, telah terdeteksi 972 kasus campak di Riau. Tiga daerah yang terbanyak memiliki kasus campak: Siak (29,2 persen), Pekanbaru (26,7 persen) dan Dumai (13,1 persen). Pada 2017, Dumai termasuk kategori kejadian luar biasa (KLB) kasus campak.
Mimi juga mengakui realisasi imunisasi MR di Riau terendah kedua setelah Aceh. Hingga September 2018, capaian imunisasi MR hanya 18,47 persen dari target 1,955 juta anak usia 9 bulan - 15 tahun di Provinsi Riau. "Masih jauh dari target," ujarnya.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah pun sampai hari ini masih menunda vaksinasi MR. Fatwa mubah dari MUI tidak membuat penundaan itu dicabut. Pemprov Aceh masih menunggu fatwa dari Majelis Permusywaratan Ulama (MPU) Aceh. Hal ini memicu kekhawatiran akan ada “tsunami Rubella” di Aceh jika imunisasi MR tak digelar di daerah ini.
Menanggapi sikap sejumlah pemda yang menghambat program imunisasi MR, pemerintah pusat menegaskan bisa melakukan intervensi. "Jangankan intervensi, ambil alih pun juga bisa," kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Soni Sumarsono kepada reporter Tirto, Rabu (12/9/2018).
Berdasar laporan bersama Kemenkes, WHO dan UNICEF, setiap tahun ada lebih dari 11.000 kasus suspek campak di Indonesia. 12–39 persen di antaranya campak pasti dan 16–43 persen kasus adalah rubella pasti. Sementara pada 2010-2015, ditemukan 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Diperkirakan angka ini lebih rendah dari sebenarnya. Data surveilans selama lima tahun terakhir juga menunjukkan 70 persen kasus rubella terjadi pada populasi di bawah usia 15 tahun.
Campak bisa sangat berbahaya bila disertai komplikasi pneumonia, diare, meningitis, bahkan dapat menyebabkan kematian. Sementara Rubella pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala. Namun, jika virus Rubella menular ke ibu hamil di kehamilan trimester pertama dapat mengakibatkan keguguran atau bayi lahir dengan cacat bawaan.
Sedangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada 7 September lalu, merilis penjelasan tentang proses panjang penerbitan Fatwa MUI soal imunisasi MR. Proses itu berlangsung sejak 24 Juli 2018 sampai Komisi Fatwa MUI mengeluarkan keputusan hukum mubah imunisasi MR, pada 20 Agustus.
Sebelum fatwa ini terbit, digelar serangkaian pertemuan antara MUI dengan Kemenkes, PT Biofarma, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Komnas Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dan ITAGI. Serum Institute of India (SII) juga menyuplai informasi soal kandungan dan proses produksi Vaksin MR ke MUI.
Setelah fatwa ini keluar, Kemenkes menggelar pertemuan melibatkan Komisi Fatwa MUI, Biofarma, IDAI, KPAI, UNICEF, WHO dan para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Kemenkes mengklaim semua pihak di pertemuan itu, termasuk pimpinan dinas-dinas kesehatan, sudah bersepakat untuk bersinergi mendukung sosialisasi fatwa MUI dan program imunisasi MR.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Abdul Aziz