Menuju konten utama

Analisis Pengamat Soal GNPF dan FPI Tak Diundang Jusuf Kalla

Pengamat politik menilai, Jusuf Kalla menganggap GNPF dan FPI tak punya legitimasi di hadapan negara. Tapi mengabaikan dua organisasi itu sama saja pemerintah gagal memahami keragaman ormas Islam belakangan ini.

Analisis Pengamat Soal GNPF dan FPI Tak Diundang Jusuf Kalla
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj , mantan Rais Aam PBNU Ma'ruf Amin berbincang seusai menyampaikan hasil pertemuan para ormas terkait peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Rumah Dinas Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (26/10/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama tak diundang oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuan wakil Ormas Islam pada Jumat (26/10) kemarin.

Menurut pengamat politik Ubedilah Badrun, setidaknya ada dua kemungkinan penyebab Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak mengundang kedua organisasi tersebut.

“Pertama, JK sengaja untuk menunjukkan kepada publik bahwa FPI dan GNPF Ulama tidak memiliki legitimasi di hadapan negara. [Organisasi] yang memiliki legitimasi di hadapan negara adalah ormas NU dan Muhammadiyah,” kata dia ketika dihubungi Tirto, Minggu (28/10/2018).

Kedua, lanjut Ubedilah, JK kurang update dalam memetakan perkembangan terakhir kekuatan sosial keagamaan di Indonesia. Selain itu, ada efek dari ketidakhadiran dua ormas tersebut. “FPI dan GNPF Ulama sejak tiga tahun terakhir tidak hanya semakin memiliki jaringan yang luas tetapi juga dukungan yang luas dari masyarakat. Artinya mengabaikan mereka sama saja mengabaikan sebagian umat Islam di Indonesia,” ucap Ubedilah.

Dia juga berpendapat pemerintah nampaknya miskin ide untuk membuka dialog dengan FPI dan GNPF Ulama, ada semacam kesulitan memposisikan diri sebagai penjaga persatuan atas keragaman organisasi sosial keagamaan saat ini.

“Selain itu ada semacam arogansi subyektif kekuasaan seolah penguasa yang merasa paling benar, sementara FPI dan GNPF Ulama itu salah. Seharusnya pemerintah yang berkuasa melindungi semua organisasi keagamaan yang ada di Indonesia,” terang Ubedilah.

Cara melindungi dan merawatnya, lanjut dia, adalah dengan membuka dialog seluas-luasnya dengan mereka. “Jika cara dialog pemerintah tidak mau juga melakukannya, maka patut diduga memang pemerintah memiliki banyak kekeliruan dalam memahami keragaman organisasi sosial keagamaan,” jelas dia.

Hadir dalam pertemuan itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, dan Ketum Persis Maman Abdurrahman.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Mensesneg Pratikno, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Ketum MUI KH Ma'ruf Amin, Sekjen MUI, dan Bendahara Umum PP Muhammadiyah Anwar Abbas juga tampak hadir dalam pertemuan itu.

Selain itu, hadir pula Helmi Faisal yang merupakan Sekjen PBNU, Azzumardi Azra selaku cendekiawan dan Imam Addaruqutni.

Baca juga artikel terkait PEMBAKARAN BENDERA TAUHID atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Agung DH