tirto.id - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai keputusan Presiden Joko Widodo menempatkan dua petinggi partai Golkar di Kabinet Kerja, yakni Airlangga Hartarto dan Idrus Marham, tidak terlepas dari faktor tahun politik. Menurut Burhanuddin, partai berlambang pohon beringin itu kini memiliki posisi tawar yang kuat.
“Berdasarkan keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menolak judicial review presidential threshold, maka Golkar menjadi partai dengan persentase kursi terbesar kedua untuk bisa mengusung calon presiden di 2019,” kata Burhanuddin di Hotel Ibis, Jakarta pada Rabu sore (24/1/2018).
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto hingga kini belum mundur dari kabinet usai dirinya resmi terpilih sebagai Ketua Umum DPP Golkar. Sedangkan Idrus Marham baru-baru ini ditunjuk oleh Jokowi menjabat Menteri Sosial. Idrus belakangan memang tak lagi menjabat Sekjen Golkar di susunan baru kepengurusan partainya. Tapi, dia menempati posisi baru pada pengurus harian DPP Golkar, yakni sebagai Koordinator Bidang Hubungan Eksekutif-Legislatif.
Posisi Idrus Marham dan Airlangga yang merangkap jabatan di kabinet dan partai menuai kritik karena berkebalikan dengan janji politik Jokowi. Pada 2014 lalu, Jokowi pernah menegaskan bahwa sosok menteri yang dipilihnya tidak boleh merangkap jabatan supaya dapat benar-benar fokus bekerja di pemerintahan.
Burhanuddin menilai ada kesan perbedaan perlakuan yang ditunjukkan Jokowi terhadap partai-partai pendukungnya saat ini ketimbang pada awal pemerintahannya. “Waktu itu kan ada komitmen penuh agar menterinya meletakkan jabatan tanpa terkecuali,” kata dia.
Burhanuddin menambahkan sikap yang ditunjukkan oleh Jokowi saat ini merupakan kemenangan besar bagi Partai Golkar.
“Dia (Partai Golkar) berhasil memberi kenyamanan pada Jokowi, bahkan lebih dari kenyamanan yang diberikan PDI Perjuangan,” ungkap Burhanuddin.
Mengenai peta koalisi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) di 2019 mendatang, Burhanuddin berpendapat akan tergantung pada seberapa besar elektabilitas Jokowi. Menurut dia, Jokowi masih memiliki waktu selama 6-7 bulan sebelum masa pendaftaran Pilpres pada Agustus 2018 untuk mendongkrak elektabilitasnya.
“Misal elektabilitas Pak Jokowi makin kuat, tentu makin banyak partai yang berada di barisan pendukungnya. Tapi kalau elektabilitasnya 50-60 persen, artinya masih sangat mungkin untuk dikalahkan,” ucap Burhanuddin.
Kendati demikian, Burhanuddin berpendapat posisi Jokowi masih relatif aman. Adapun faktor yang memengaruhinya, tak lain karena sudah ada beberapa partai yang mendeklarasikan dukungannya.
“Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura. Tiga partai ini sudah cukup untuk memenuhi syarat 20 persen sesuai dengan presidential threshold,” kata Burhanuddin.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom