tirto.id - Nilai tukar rupiah masih belum bisa bangkit dari tekanan dolar Amerika Serikat (AS). Pada pembukaan perdagangan Selasa (2/7/2024), rupiah yang ditransaksikan antarbank mengalami pelemahan hingga 0,30 persen atau 49 poin dari penutupan perdagangan hari sebelumnya, yaitu Rp16.321 per dolar AS.
Senior Technical Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama, menyebut bahwa salah satu faktor penyebab pelemahan rupiah adalah ketidakpastian kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).
Meski demikian, berdasar Dot Plot Juni 2024, The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate—FFR) satu kali di kisaran 4,9-5,4 persen pada September-Desember 2024.
“Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa The Fed tidak memperkirakan tingkat suku bunga akan seperti itu, tepat untuk mengurangi kisaran target sesegera mungkin sampai memperoleh keyakinan yang lebih besar bahwa inflasi bergerak secara berkelanjutan menuju 2 persen,” ujar Nafan saat dihubungi Tirto, Selasa (2/7/2024).
Seiring dengan hal tersebut, Nafan juga memperkirakan bahwa Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuannya dalam Rapat Dewan Gubernur pada Juli mendatang. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian keuangan global.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia yang sebesar US$139 miliar pada Mei 2024 juga dinilai masih bisa membuat kurs rupiah stabil. Hal itu didukung juga oleh kebijakan BI yang melakukan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap berada dalam target 2,5 ± 1 persen pada 2024.
“Dan berlanjut ke tahun 2025 dengan sikap kebijakan moneter yang prostabilitas,” imbuh Nafan.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi