Menuju konten utama
Periksa Data

Anak Muda Tunda Menikah di Indonesia, Fenomena Baru?

Usia kawin pertama di Indonesia semakin meningkat dari dekade sebelumnya, tapi masih terhitung lebih muda dibanding negara Asia lain.

Anak Muda Tunda Menikah di Indonesia, Fenomena Baru?
Header Periksa Data Terkait Peningkatan Pemuda Tunda Penikahan di Indonesia. tirto.id/Ecun

tirto.id - Jelang akhir 2022 lalu, sebuah unggahan dari GoodStats mengenai kencenderungan pemuda untuk tidak segera menikah, sempat menarik perhatian. Akun ini menjabarkan data status anak muda Indonesia yang dalam 10 tahun terakhir semakin banyak yang belum menikah.

Benarkah data ini?

Rilisan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Pemuda 2022 menunjukkan, tren peningkatan persentase pemuda dengan status belum kawin memang terus berlanjut dalam 10 tahun terakhir, meski ada naik-turun tipis. Hanya ada sekitar 34 persen pemuda dengan status kawin pada tahun 2022, turun sekitar 10 persen dibanding 2013.

Perlu diketahui bahwa pemuda, menurut Undang-Undang No.40 tahun 2009, adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun.

Jika ditarik hingga empat dekade terakhir, tren pernikahan di Indonesia memang terlihat mengalami pergeseran. Rata-rata umur kawin pertama (UKP) di Indonesia mengalami kenaikan sampai sekitar tiga tahun jika membandingkan UKP tahun 1970 dengan 2017.

Angka tersebut bisa dilihat dari hasil Sensus Penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2017 yang dicatat Perserikatan Bangsa-Bangsa). Adapun dalam setiap survei tersebut, rentang usia status perkawinan pertama penduduk yang dihitung adalah mereka yang berusia antara 15-49 tahun atau masuk kategori usia reproduksi.

Pada Sensus Penduduk tahun 1971, rata-rata UKP perempuan adalah 19,3 tahun sementara laki-laki 23,8 tahun. Bandingkan dengan SDKI 2017 yang mendapati rata-rata UKP perempuan di 22,5 tahun dan laki-laki 27,1 tahun. Secara umum, tampak adanya tren kenaikan UKP setiap dekadenya.

Jelang Sensus Penduduk 2020, pada 2017 lalu BPS juga sempat memperkirakan kalau akan lebih banyak perempuan lajang di sensus yang akan datang tersebut. Sayangnya sejauh ini belum ada hasil resmi dari BPS terkait data hasil Sensus Penduduk 2020.

Namun, melihat dari Statistik Pemuda 2022, BPS mencatat persentase UKP berdasar sejumlah kriteria. Secara keseluruhan terdapat 65,82 juta anak muda di Indonesia. Dari jumlah total itu, sepertiganya menikah pertama kali pada usia 19-21 tahun, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022 yang dikumpulkan BPS.

Menariknya, ketika dibagi berdasar jenis kelamin, ada perbedaan yang cukup besar. Persentase UKP pemuda perempuan terbesar tetap di antara 19-21 tahun, tetapi proporsi UKP pemuda laki-laki justru berada di antara usia 22-24 tahun. Ini menunjukkan kecenderungan laki-laki melakukan perkawinan pada usia yang lebih tua ketimbang perempuan.

Selanjutnya, jika melihat wilayah tempat tinggal, baik pemuda perkotaan maupun perdesaan, kelompok usia 19-21 tahun masih menjadi kelompok paling dominan dalam umur kawin pertama.

Namun, selisih UKP 19-21 tahun dengan 22-24 tahun di kota hanya berbeda sekitar 1 persen. Selain itu, persentase pemuda perkotaan yang menikah pada rentang usia 25-40 tahun juga mencapai 21 persen, lebih tinggi dibanding di perdesaan, sekitar 13 persen.

Perbedaan signifikan baru terlihat dalam klasifikasi berdasar kelompok pengeluaran, yang menggambarkan status kesejahteraan rumah tangga. Pemuda dengan kelompok pengeluaran 40 persen terbawah, didominasi mereka dengan UKP di bawah 22 tahun, mencapai 64,66 persen.

Sementara di spektrum yang berseberangan, kelompok pengeluaran 20 persen teratas, dominan oleh mereka yang menikah antara usia 22-30 tahun (63,53 persen).

Dalam catatannya, BPS mengutip International Center for Research on Women (ICRW) yang mengatakan, adanya perspektif keluarga dengan status ekonomi rendah yang tidak mampu memenuhi biaya pendidikan cenderung melihat pernikahan segera anak perempuan sebagai jalan keluar untuk menjamin masa depannya.

Menekan Angka Perkawinan Anak dan Usia Ideal Perkawinan

Pergeseran usia perkawinan pemuda ini bisa dilihat dari beragam sisi dan alasan. BPS dalam analisisnya menyebut hadirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai salah satu alasan penurunan persentase usia status kawin pemuda tersebut.

Kebijakan ini memang menaikkan usia minimal perkawinan untuk perempuan menjadi 19 tahun, sama seperti laki-laki. BPS juga menyebut secara umum terdapat 21,5 persen pemuda yang usia kawin pertamanya tidak sesuai dengan regulasi yang ada, yakni lebih muda dari yang diizinkan berdasarkan undang-undang.

Selain menyimpang dari aturan, perkawinan usia anak juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Belum lagi pemenuhan sejumlah hak dasar anak yang tidak terpenuhi. Sebut saja hak tas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.

Soal menghindari pernikahan dini ini juga sempat disampaikan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam kampanye yang mereka inisiasi, pernikahan sebaiknya dilakukan di atas usia 20 tahun. Menurut rekomendasi BKKBN, perempuan disarankan melepas masa lajang minimal usia 21 tahun, sementara laki-laki minimal 25 tahun.

Rekomendasi ini juga diberikan BKKBN berdasar empat faktor risiko; pertama, usia psikologis yang masih labil akan mempengaruhi pola pengasuhan anak. Kedua, kematangan usia dan mental dapat berdampak pada gizi serta kesehatan anak. Tiga, pernikahan dini dapat menempatkan remaja putri dalam risiko kesehatan atas kehamilan dini. Empat, adanya potensi kanker leher rahim atau kanker serviks pada remaja di bawah 20 tahun yang melakukan hubungan seksual.

Ketua BKKBN Hasto Wardoyo juga menjelaskan kalau terdapat usia ideal bagi perempuan untuk mengandung, yakni antara 20-35 tahun. Hal ini untuk mencegah kematian ibu dan bayi, menurut Hasto dikutip dari Kompas.com

Sementara itu Girls Not Bride, organisasi internasional yang bergerak dalam pencegahan perkawinan anak, menyebut bahwa menjaga agar anak perempuan tetap bersekolah adalah cara terbaik mencegah perkawinan anak.

Rata-rata, kemungkinan seorang perempuan menikah pada usia anak, menurun sebanyak enam persen untuk setiap tahun tambahan seorang perempuan melanjutkan pendidikan menengah.

Intinya, menunggu usia yang matang dan benar-benar siap untuk menikah disebut menjadi rekomendasi pertimbangan utama. Sebuah studi oleh Nick Wolfinger, Sosiologis di University of Utah pada 2015 memperkuat argumen ini.

"Menikah terlalu dini terlalu berisiko, begitu juga menikah terlambat. Usia akhir 20-an dan awal 30-an adalah usia yang tepat," ujarnya dalam publikasi di Institute of Family Studies.

Dalam risetnya dia menganalisis data Survei Nasional Pertumbuhan Keluarga (Amerika Serikat) antara 2006-2010 dan 2011-2013. Hasilnya, mereka yang menikah antara 28 dan 32 tahun menjadi kisaran usia dengan persentase perceraian paling kecil.

Tren Melajang di Negara Lain

Dilihat dari rata-rata usia kawin, baik perempuan dan laki-laki di Indonesia, memang terlihat ada tren bahwa orang-orang menunda usia menikah dari dekade sebelumnya. Namun, fenomena terebut tidak hanya terjadi di Indonesia.

Analisis dari data PBB yang dilakukan oleh Statista, yang mencakup 83 negara pada medio 2015-2018, menunjukkan bahwa rata-rata usia menikah cenderung lebih tinggi di negara maju. Perbedaan usia antara pria dan wanita juga biasanya, meski tidak selalu, lebih kecil di negara maju.

Di negara-negara berkembang, ada tren rata-rata usia menikah pertama lebih muda, dengan jarak rata-rata usia menikah pria dan wanita juga lebih lebar di banyak kasus. Secara umum juga disebutkan, rata-rata usia menikah laki-laki selalu lebih tua dibanding perempuan.

Tren melajang sampai usia 30-an juga banyak terjadi di negara-negara barat dan beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea, dan tetangga dekat, Singapura. Bahkan jika membandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia lain, rata-rata UKP Indonesia tergolong masih muda.

Hanya ada India dengan rata-rata usia kawin pertama termuda di antara sejumlah negara besar Asia dan negara-negara Asia Tenggara.

Menurut analisis data Statista pula, umur rata-rata menikah tertinggi ada di Korea, yakni 31,5 tahun untuk perempuan dan hampir 34 tahun untuk laki-laki.

Karena itu, tak heran, rata-rata usia kawin pertama perempuan Indonesia, 22,3 tahun, termasuk muda dibanding dengan Malaysia (25,7 tahun) dan Singapura (27,9 tahun).

Hal ini juga terlihat dalam tren rata-rata umur kawin pertama laki-laki. Dibanding rata-rata umur kawin pertama laki-laki di Indonesia, laki-laki di Singapura dan Korea menikah di usia yang lebih tua, yakni di atas 30 tahun.

Dalam artikelnya di The Conversation, Dosen Psikologi Universitas Pelita Harapan Karel Karsten Himawan mengatakan di negara-negara tersebut konsep pernikahan mulai dianggap sebagai institusi yang usang dan kurang relevan dengan kebutuhan individu masa kini.

Sementara di Indonesia, status pernikahan tetap menjadi identitas sosial yang dianggap penting. Dia juga menyebut masyarkat Indonesia sebenarnya adalah masyarakat yang obsesif terhadap pernikahan.

"Menikah dianggap sebagai satu-satunya cara bagi orang dewasa untuk mendapatkan kepuasan hidup yang sejati. Pernikahan bahkan sering dianggap sebagai tolok ukur kedewasaan, bukan hanya dalam hal usia, tetapi juga mental dan karakter," tulisnya dalam artikel tersebut.

Lebih lanjut Karel juga menyebut kalau masyarakat Indonesia, laki-laki pun perempuan masih mengidealisasikan pernikahan hipergami, yaitu pernikahan dengan lelaki dengan status sosial, ekonomi, dan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi dari perempuan.

Kondisi ini kemudian berdampak perempuan dengan karier dan kemampuan ekonomi ataupun status sosial lebih tinggi punya peluang yang makin kecil untuk bisa mendapat pasangan dengan atribut yang lebih tinggi darinya. Sementara peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan kerja tak terelakkan seiring dengan kesetaraan gender yang terjadi.

Namun, kembali lagi dengan kondisi masyarakat yang cenderung mendorong orang untuk menikah, sebagian orang kemudian pasrah dan memutuskan menikah tanpa pertimbangan matang ataupun menerima perjodohan.

Uniknya, berdasar data BPS pada 2017 terkait indeks kebahagian, mereka yang lajang diindikasikan lebih bahagia dibanding mereka yang sudah menikah.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Periksa data
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty