tirto.id - The Atlantic pada awal Januari lalu merilis sebuah artikel tentang gerakan ISIS di Indonesia. Edward Delman, penulis artikel itu, menelisik sejarah gerakan radikal dan pemberontakan berbasis agama di Indonesia. Mulai dari Darul Islam pada 1949 hingga Jemaah Islamiyah yang melakukan serangan teror Bom Bali pada 2002. Edward Delman menemukan fakta menarik, mengapa negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, sedikit sekali jihadis Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah.
Laporan per September 2014 yang dilakukan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta menunjukan, ISIS sangat agresif melaukan rekrutmen dan propaganda di Indonesia. Hal serupa juga dijelaskan oleh USAID yang menyebut 1.000 sampai 2.000 orang pada 2015 berbaiat pada ISIS. Sebenarnya apa yang membuat warga Indonesia bergabung dengan ISIS? Dan apa kaitan baiat ini dengan radikalisasi anak muda di tanah air?
Pandangan generasi muda muslim Indonesia pada ajaran islam saat ini menarik untuk diketahui. Untuk itu tirto.id pada Mei lalu melakukan riset terkait tema tersebut. Ada 600 responden yang ikut serta dalam riset persepsi ini. Usianya berkisar pada 15-30 tahun tentu saja semuanya beragama islam. Pertanyaannya berkisar dari apakah ISIS itu, apakah ada kesesuaian antara ISIS dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Dari penelitian diketahui bahwa: mayoritas responden (31 persen) menyatakan bahwa ISIS merupakan organisasi terorisme. Sebagian responden juga menyebut ISIS dianggap tidak merepresentasikan agama islam. Sebanyak 16 persen responden menganggap bahwa ISIS membajak nama Islam. Hanya sebagian kecil responden yang menganggap ISIS sebagai gerakan islam.
Sebanyak 90,17 persen responden menyatakan bahwa ajaran ISIS tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal serupa juga pernah disampaikan oleh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi muslim terbesar di Indonesia. Ketua Umum NU Said Aqil Siradj menyebut ISIS menyimpang dari ajaran islam. “Mereka seenaknya membunuh orang, anak-anak, menyembelih wartawan. Mana ada ajaran Islam seperti itu,” katanya, seperti dilansir dari Antara. Menurut dia, Islam yang memiliki konsep rahmatan lilalamin atau membawa rahmat bagi seluruh alam sangat anti dengan radikalisme dan aksi terorisme yang menimbulkan ketakutan bagi manusia.
ISIS dianggap representasi buruk dari Islam, karena menunjukkan tindakan brutal dan kekerasan. Tapi Masyarakat Indonesia tidak asing dengan konsep lembaga yang mengusung ajaran islam. Di tanah air ada organisasi masyarakat yang mengatasnamakan ajaran islam. Seperti Front Pembela Islam, Front Umat Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Menariknya dari riset yang dilakukan oleh Tirto.id diketahui bahwa banyak responden yang setuju akan keberadaan FPI.
Berdasarkan riset ini, sebanyak 38 persen repsonden menyatakan setuju dengan keberadaan FPI atau organisasi sejenis lainnya. Diasumsikan bahwa ragu-ragu memiliki kecenderungan untuk jawaban “setuju”, maka lebih dari 50 persen responden menyatakan mendukung adanya keberadaan FPI atau organisasi sejenis.
Dari riset ini juga diketahui jika sebanyak 34 persen responden menyatakan ragu untuk menerapkan konsep khilafah di Indonesia. Sementara 26 persen lainnya menyetujui untuk menerapkan khilafah di Indonesia. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa secara umum (60 persen), masyarakat Indonesia cenderung mulai menyetujui untuk menerapkan konsep khilafah di Indonesia. Sebanyak 48,7 persen responden yang menyetujui penerapan konsep khilafah di Indonesia berusia 20-25 tahun.
Kelompok usia mayoritas yang menyatakan tidak menyetujui penerapan konsep khilafah di Indonesia juga berasal dari usia 20-25 tahun. Begitu pula dengan responden yang menyatakan masih ragu untuk menerapakan konsep khilafah, sebanyak 50,5 persen berasal dari kelompok usia 20-25 tahun. Hal ini menunjukan bahwa dikelompok usia tersebut pemahaman generasi muda islam akan konsep bernegara mulai terbentuk.
Sebelumnya, seperti yang dilaporkan BBC Indonesia, terungkap hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo --yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50 peren pelajar setuju tindakan radikal.
Data itu menyebutkan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3 persen siswa dan 14,2 persen membenarkan serangan bom.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Rakor Fungsi Intelkam Tahun 2015 di Mabes Polri-Jakarta menyebut bahwa konsep khilafah adalah hirasatuddin wa siyasatuddunya atau memelihara agama dan mengatur dunia. Namun demikian, Islam tidak merinci nama dan bentuk pemerintahan tertentu. "Islam hanya menetapkan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti asas keadilan, persamaan, musyawarah dan lain sebagainya," katanya.
Dalam pandangan Menag, konsep kepemimpinan dalam fiqih pun sangat lentur dan fleksibel, mengikuti dinamika perkembangan masyarakat. Dahulu, lanjut Menag, seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, para fuqaha memperbolehkan dan mengakui keragaman sistem pemerintahan. Sementara apa yang dilakukan ISIS, menurut Menag tidak mencerminkan ajaran islam sama sekali.
“Pilihan yang ISIS berikan adalah pindah agama, membayar pajak keamanan (jizyah) atau dibunuh. Sebuah pilihan yang tidak mencerminkan ajaran Islam yang menjunjung tinggi toleransi dalam kehidupan beragama," kata Menag.
Bagaimana anak muda Indonesia memandang relasi antar umat beragama? Dalam riset, tirto.id mengambil contoh tentang pembangunan rumah ibadah.
Riset tirto.id menyebutkan, 76,8 persen generasi muda muslim menyatakan bahwa pembangunan rumah ibadah khususnya bagi golongan minoritas harus mendapatkan persetujuan warga sekitarnya. Kelompok usia yang menyatakan mendukung pembangunan rumah ibadah harus mendapatkan persetujuan warga sekitar berada di rentang 20-29 tahun.
Pendirian rumah ibadah sangat rumit peraturannya. Aturannya tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006/nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Sebelum rumah ibadah didirikan, pengelola tempat ibadah harus memiliki daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Setelah itu pengelola tempat ibadah mesti mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
Pada praktiknya, mendapatkan izin masyarakat setempat juga bukan hal yang mudah. Inilah yang akhirnya memicu friksi-friksi terkait pembangunan rumah ibadah.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti